Hati ibu mana yang tak menangis melihat anaknya dirantai seperti binatang, begitu pula dengan Heni (50 th), yang berdomisili di Dusun Penanian, Desa Batetangnga, Kecamatan Binuang, Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Ia hanya bisa pasrah melihat anaknya diperlakukan seperti itu karena dianggap gila.
Anak ketiganya, Abdi (24 th), dirantai oleh pamannya sendiri sejak 7 bulan yang lalu, karena dianggap meresahkan warga sekitar. Namun ia tak berdaya menghentikan tindakan itu.
Hatinya pilu bila melihat kondisi anaknya yang dirantai kedua tangan dan kakinya serta digembok besi itu. Pemasungan itu membuat anaknya tidak bisa bergerak bebas dan melakukan semua aktivitasnya di ruang dapur belakang rumahnya, tempat di mana ia dipasung. Dari mulai makan hingga buang air ia lakukan di tempat itu.
“Saya juga kasihan melihat anak saya. Ia dipasung pamannya karena dinilai sering mengganggu warga, “tuturnya sambil menangis.
Dengan kondisi yang serba kekurangan, Heni hanya bisa pasrah melihat penderitaan anaknya. Sejak ditinggal mati suaminya 10 tahun silam, Heni menghidupi keluarganya dengan cara membuat sapu lidi atau memetik kangkung liar yang tumbuh di sungai untuk dijual ke pasar.
Penghasilannya yang tak seberapa itu ia gunakan untuk membeli kebutuhan pokok untuk menyambung hidup sehari-hari bersama anak-anaknya. Tak ada dana untuk mengobati Abdi.
Dulu ia pernah mendapatkan jatah beras miskin 20 liter per bulan, namun belakangan ini ia tak lagi mendapatkan beras Raskin tersebut. Petugas di kantor desa hanya menyebutkan jatah raskin sudah habis dibagikan tanpa alasan lain yang bisa dipahaminya.
Tak ada pilihan lain bagi Heni, kecuali menahan pedih setiap kali melihat kondisi anaknya yang terpasung.
Tetap berpuasa saat dipasung
Berbeda dengan penderita gangguan jiwa pada umumnya, Abdi (24 th) tampak sehat dan normal. Ia bisa diajak bercakap-cakap tanpa menunjukkan adanya gejala penyakit kejiwaan yang dideritanya.
Ia tetap menjalankan kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan. Ia makan sahur dan berbuka sebagaimana umumnya yang dilakukan muslim lainnya. Ia bahkan bisa mengungkapkan perasaannya karena diperlakukan tidak manusiawi oleh keluarganya.
“Saya puasa terus. Saya merasa tersiksa batin diperlakukan seperti ini. Seperti sudah sepuluh tahun saya di sini, padahal baru tujuh bulan,” ujarnya. Ia berharap bisa hidup bebas seperti sebelumnya.
Meski pun terlihat normal, keinginan Abdi tidak bisa dipenuhi. Sang paman tetap memasung Abdi, karena masyarakat di sekitarnya masih khawatir jika penyakitnya tiba-tiba kambuh kembali. Dikhawatirkan bila kambuh, Abdi akan mengamuk dan memecahkan barang-barang yang ada di dekatnya.
Keresahan warga ini membuat sang ibu hanya bisa pasrah. Ia hanya bisa berharap, ada perhatian dari pemerintah agar anaknya bisa segera mendapatkan pengobatan yang layak.
Baca juga:
Ternyata ini 8 manfaat puasa bagi kecantikan dan kesehatan tubuh
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.