Karena berbagai alasan, seseorang kerap telat melakukan qadha puasa atau membayar ‘hutang’ puasa Ramadan. Lalu, apa hukum telat qadha puasa? Yuk, simak penjelasannya berikut ini, Parents!
Hukum Telat Qadha Puasa hingga Ramadan Berikutnya Tiba
Sumber: freepik
Dilansir dari NU Online, jika seseorang tidak bisa menjalankan puasa Ramadan karena berbagai alasan, orang tersebut harus meng-qadha atau mengganti kewajiban puasanya pada hari-hari yang lain.
Kewajiban untuk mengganti puasa Ramadan secara tegas telah disampaikan dalam Al-Qur’an, QS. Al-Baqarah, Ayat: 183-184.
“Wahai orang-orang yang beriman. Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa) maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain.”
Namun, jika seseorang menunda qadha puasanya hingga Ramadan tahun berikutnya tiba karena kelalaian, maka seseorang tersebut akan mendapat beban tambahan.
Artikel terkait: Doa 10 Hari Pertama Ramadan, Mari Amalkan Bersama Keluarga
Tak Hanya Wajib Qadha Puasa, tapi Juga Wajib Bayar Fidyah
Seseorang tersebut tidak hanya harus meng-qadha puasa yang pernah ditinggalkannya, namun ia juga diwajibkan membayar fidyah.
Hal ini juga pernah dijelaskan dalam HR Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi:
“Siapa saja mengalami Ramadan, lalu tidak berpuasa karena sakit, kemudian sehat kembali dan belum meng-qadhanya hingga Ramadan selanjutnya tiba, maka ia harus menunaikan puasa Ramadan yang sedang dijalaninya, setelah itu meng-qadha hutang puasanya dan memberikan makan kepada orang miskin satu hari yang ditinggalkan sebagai kaffarah.”
Seseorang yang lalai untuk membayar qadha puasanya hingga Ramadan tahun berikutnya wajib membayar fidyah sebesar satu mud untuk satu hari hutang puasanya.
Sebagaimana diketahui, menurut Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, satu mud setara dengan 543 gram bahan makanan pokok seperti beras dan gandum. Sementara menurut Hanafiyah, satu mud seukuran dengan 815,39 gram bahan makanan pokok.
Beberapa Uzur (Halangan) Berpuasa
Sumber: freepik
Kembali dilansir dari NU Online, terdapat beberapa uzur (halangan) berpuasa. Secara umum, uzur tersebut terbagi dalam tiga kondisi.
Tiga kondisi ini terangkum dalam penjelasan Syekh Muhammad Nawawri al-Jawi dalam Nihayah az-Zein, Halaman 189:
“Bagi orang yang sakit terdapat tiga keadaan. Pertama, jika ia menduga akan terjadi bahaya (pada dirinya) yang sampai memperbolehkan tayammum, maka makruh baginya untuk berpuasa dan boleh baginya untuk membatalkan puasanya.
Kedua, jika bahaya itu benar-benar akan terjadi atau ia menduga kuat (terjadinya bahaya itu) atau uzur yang dia miliki akan menyebabkan kematian atau hilangnya fungsi tubuh maka haram baginya untuk berpuasa.
Ketiga, jika sakitnya hanya ringan sekiranya ia tidak menduga terjadinya bahaya yang sampai memperbolehkan tayammum maka haram baginya untuk membatalkan puasa dan wajib berpuasa selama ia tidak takut bertambah sakit.
Seperti halnya orang yang sakit (dalam klasifikasi hukum di atas), hukum ini berlaku untuk orang yang memanen, pelaut, pekerja dan profesi sejenis. Begitu juga (hal di atas) berlaku bagi orang yang hamil dan orang yang menyusui.”
Artikel terkait: Bolehkah Mandi Wajib Setelah Imsak? Ini Hukumnya dan Pandangan Ulama
Hukum Telat Qadha Puasa Ramadan karena Hamil atau Menyusui
Sumber: freepik
Dalam kitab al-Hawi al-Kabir dijelaskan juga hukum bagi ibu hamil dan menyusui yang telat meng-qadha puasa hingga Ramadan berikutnya.
“Ketika seseorang membatalkan puasa bulan Ramadan beberapa hari karena faktor uzur atau hal yang lain, maka hal yang utama baginya adalah segera mengqadha puasanya. Mengqadha ini bersifat muwassa’ (luas/panjang) selama tidak sampai masuk Ramadan selanjutnya.
Jika sampai masuk waktu Ramadan selanjutnya maka ia berpuasa fardhu, bukan puasa qadha. Ketika puasa Ramadan pada tahun tersebut telah sempurna, baru ia meng-qadha puasanya yang lalu dan dilihat keadaannya.
Jika ia mengakhirkan qadha karena ada uzur yang terus-menerus berupa sakit atau perjalanan maka tidak wajib kafarat baginya.
Jika ia mengakhirkan qadha tanpa adanya uzur, maka wajib baginya untuk meng-qadha puasa sekaligus membayar kafarat pada setiap hari (yang belum diqadha) senilai satu mud makanan, hal ini telah menjadi konsensus para sahabat.”
Berdasarkan penjelasan di atas, jika Busui atau Bumil menunda qadha hingga datangnya bulan Ramadan berikutnya karena uzur (halangan) yang benar-benar tidak memungkinkan Busui atau Bumil berpuasa, maka Anda tidak harus membayar kafarat.
Namun, jika Bumil atau Busui tidak dalam kondisi membahayakan tetapi tetap menunda qadha hingga datangnya bulan Ramadan berikutnya, hal tersebut jelas tidak diperbolehkan.
Konsekuensinya, selain berkewajiban meng-qadha puasanya, Bumil dan Busui juga wajib membayar kafarat. Kafarat yang harus dibayar yaitu satu mud makanan pokok yang diberikan pada fakir miskin untuk setiap satu hari hutang puasanya.
Semoga informasi ini bermanfaat!
Baca juga:
5 Keutamaan Sedekah Subuh dan Cara Mengamalkannya, Jangan Lupa Ajarkan kepada Anak
Yuk Ajak Anak Lakukan 10 Aktivitas Ramadan Seru dan Menyenangkan!
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.