Tidak sedikit masyarakat Indonesia mengadakan acara hajatan atau pernikahan sampai menutup sebagian atau keseluruhan jalan umum. Fenomena ini pun seringkali menjadi perdebatan di kalangan masyarakat hingga para ahli. Lantas, bagaimana sebenarnya hukum mengadakan hajatan di jalan umum dalam ajaran Islam?
Melansir dari BincangSyariah.Com, mayoritas ulama hukum mengatakan bahwa mengadakan hajatan atau pernikahan adalah sunnah bagi orang yang mampu. Sementara itu, di zaman sekarang khususnya di perkotaan, banyak yang sudah mampu mengadakan acara besar tetapi tidak memiliki tempat yang layak.
Hajatan di Jalan Umum dalam Hukum Islam
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika banyak orang yang kemudian menggunakan fasilitas jalanan umum untuk digunakan acara hajatan. Dalam hukum Islam sendiri, terdapat sebuah hadis yang membahas tentang persoalan penggunaan jalan untuk kepentingan pribadi.
Sebuah riwayat hadis dalam Shahih Muslim, mengatakan:
عنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ فِي الطُّرُقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا لَنَا بُدٌّ مِنْ مَجَالِسِنَا نَتَحَدَّثُ فِيهَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا أَبَيْتُمْ إِلَّا الْمَجْلِسَ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهُ قَالُوا وَمَا حَقُّهُ قَالَ غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الْأَذَى وَرَدُّ السَّلَامِ وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنْ الْمُنْكَرِ
Dari Abu Sa’id Al Khudri dari Nabi Saw beliau bersabda, “Hindarilah olehmu duduk-duduk di pinggir jalan!” Para sahabat kemudian bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana kalau kami butuh untuk duduk-duduk di situ memperbincangkan hal yang memang perlu?.”
Rasulullah Saw menjawab, “Jika memang perlu kalian duduk-duduk di situ, berikanlah hak jalanan.” Mereka bertanya, “Apa haknya ya Rasulullah?” Beliau lantas menjawab. “Tundukkan pandangan, jangan mengganggu, menjawab Islam, menganjurkan kebaikan, dan mencegah yang mungkar.” (HR. Muslim)
Meskipun dalam hadis tersebut hanya mengatakan larangan untuk duduk-duduk di pinggir jalan untuk kepentingan pribadi, tetapi konteks dalam hadis itu juga mengatur tentang larangan untuk mengambil hak pejalan kaki.
Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim mengatakan bahwa salah satu tujuan dari larangan tersebut karena dengan diadakannya hajatan di jalan umum, maka itu akan mempersempit akses jalan sehingga menyusahkan bagi orang lain.
Padahal seperti yang kita tahu bahwa jalanan umum adalah fasilitas yang bisa digunakan untuk semua orang. Sementara, acara hajatan atau pernikahan termasuk sebagai penggunaan jalan untuk kepentingan pribadi. Adapun jalan yang biasa digunakan untuk kepentingan pribadi ini adalah jalan kabupaten, kota, dan jalan desa.
Artikel Terkait: Kemenag RI: Hukum dan Batasan Memandang Lawan Jenis dalam Islam
Pendapat Ulama Soal Hajatan di Jalan Umum dalam Hukum Islam
Lebih lanjut, beberapa ulama seperti Sulaiman bin Manshur bin Manshur al-Ujaili al-Azhari mengemukakan pendapat yang berbeda. Dalam kitab Hasyiyah Jamal Ala Syarhi Minhaj, beliau memperbolehkan jalanan umum digunakan untuk kepentingan pribadi namun dengan satu syarat. Terlebih, jika hal tersebut sudah dianggap lumrah menurut kebiasaan warga setempat.
Sedangkan, menurut Wahbah Zuhaili dalam Al-Fiqh wa Adillatuhu, membuat acara di jalanan umum boleh asal dengan dua syarat, di antaranya adalah terdapat jaminan keselamatan dan mendapatkan izin dari instansi yang berwenang.
Artikel Terkait: Menurut Islam, Dalil Dasar Hukum Perceraian Ternyata Seperti Ini!
Bagaimana Aturan Negara Soal Hajatan di Jalan Umum?
Sebagai informasi, larangan penggunaan jalan yang mengakibatkan penutupan jalan sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 247 Undang-undang Republik Indonesia (RI) Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) serta Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pengaturan Lalu Lintas dalam Keadaan Tertentu dan Penggunaan Jalan Selain untuk Kegiatan Lalu Lintas.
Dalam aturan itu menjelaskan bahwa pelaku yang menyebabkan gangguan fungsi jalan dapat didenda dengan penjara paling lama 1 tahun dan denda maksimal Rp 24 juta.
“Ada aturannya tidak bisa sembarangan, apalagi menyangkut jalan umum yang statusnya nasional. Ada proses perizinan, tidak bisa hanya setempat (RT/RW), tapi juga dari kepolisian. Tingkatannya ini tergantung kondisi jalan dan jumlah keramaian. Bila skalanya kecil Polsek bisa, kalau lebih harus ke izin ke Polres,” kata Kasubdit Gakkum Ditlantas Polda Metro Jaya AKBP Fahri Siregar, melansir dari Kompas.com.
Setelah proses minta izin sudah dilakukan, maka pihak kepolisian akan mengevaluasinya untuk melihat apakah daerah tersebut memiliki potensi kemacetan atau tidak. Jika punya, berarti polisi tidak memberikan izin tersebut.
“Yang biasanya masih ada toleransi itu jalan kota atau kabupaten, kalau nasional dan provinsi itu untuk acara kepentingan umum yang bersifat nasional. Kalau acara pribadi tidak bisa,” kata Fahri.
Artikel Terkait: Meski Diperbolehkan, Ini Hukum Perceraian Menurut Islam yang Sebenarnya
Menurut Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2012 pada Pasal 13 menjelaskan bahwa penggunaan jalan selain untuk lalu lintas bisa dilakukan pada jalan nasional, provinsi, kabupaten, kota, dan desa. Tetapi semuanya tetap harus mengikuti aturan yang telah diatur pada Pasal 15 Ayat 1 sampai 4, yang berbunyi:
1) Penggunaan jalan nasional dan jalan provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a dan b, dapat diizinkan untuk kepentingan umum yang bersifat nasional.
2) Penggunaan jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf c, d, dan e dapat diizinkan untuk kepentingan umum yang bersifat nasional, daerah, dan/atau kepentingan pribadi.
3) Penggunaan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yang mengakibatkan penutupan jalan dapat diizinkan, jika ada jalan alternatif.
4) Pengalihan arus lalu lintas ke jalan alternatif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dinyatakan dengan rambu lalu lintas sementara.
Kegiatan jalan yang merupakan kepentingan umum dan bersifat nasional dan daerah adalah kegiatan keagamaan, kenegaraan, olahraga, dan seni budaya seperti festival. Sedangkan kegiatan pribadi meliputi, perkawinan, kematian, dan lain sebagainya.
Tata Cara Izin Gunakan Jalan Umum untuk Hajatan
Apabila Anda ingin menggunakan jalan umum untuk acara hajatan, maka wajib mengikuti tata cara perizinan yang telah diatur dalam Pasal 17. Untuk jalan nasional, izin diberikan oleh Polri, sedangkan jalan kabupaten, kota, dan desa permohonan dilakukan paling lambat 7 hari kerja sebelum waktu pelaksanaan dengan membawa sejumlah persyaratan seperti yang tertulis pada ayat 3.
Persyaratan-persyaratan tersebut meliputi:
1. Fotokopi KTP penyelenggara atau penanggung jawab kegiatan
2. Waktu penyelenggara
3. Jenis kegiatan
4. Perkiraan jumlah peserta
5. Peta lokasi kegiatan dan jalan alternatif yang akan digunakan
6. Surat rekomendasi dari:
– Satuan kerja perangkat daerah provinsi yang bertanggung jawab dalam urusan pemerintahan perhubungan darat untuk penggunaan jalan nasional dan provinsi.
– Satuan kerja perangkat kabupaten atau kota yang bertanggung jawab dalam urusan pemerintahan perhubungan darat untuk penggunaan jalan kabupaten atau kota.
– Kepala desa atau lurah untuk penggunaan jalan desa atau lingkungan.
Di lain sisi, penggunaan jalan untuk prosesi kematian, permohonan izin dapat diajukan secara tertulis maupun lisan kepada pejabat Polri sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tanpa memperhitungkan batas waktu pengajuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Nah, itulah ulasan yang membahas aturan mengadakan acara hajatan atau pernikahan di jalan umum dalam hukum Islam dan negara. Pada intinya, Parents boleh mengadakan acara pribadi di fasilitas umum asalkan meminta izin terlebih dahulu kepada pihak yang berwenang.
BACA JUGA:
Kamar Anak Nikita Willy Mewah Bertema Unik, Yuk Intip 6 Potretnya!
Penyebab Perut dan Pinggang Terasa Panas saat Hamil Muda, Ini Penjelasan Dokter Kandungan
Resep Aglio Olio Bahan Lokal ala Devina Hermawan, Cocok untuk Bekal
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.