Kisah Pandhu, remaja yang berjuang melawan gangguan kecemasan dan psikosomatis, "Anak yang alami gangguan mental perlu diobati"

Cerita Made Pandhu sebagai penyintas anxiety disorder semakin membukakan mata, bahwa kesehatan mental memang perlu ditangani dengan tepat.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Adalah I Made Suri Pandhu, seorang remaja berusia 21 tahun yang megalami anxiety disorder. Kisah hidupnya merupakan salah satu cerminan bahwa gangguan kecemasan pada anak, khususnya remaja memang bisa dialami oleh siapa pun juga.

Berbincang dengannya hampir dua jam lamanya, mampu me-rewind kembali kenangan saya semasa ramaja. Sama dengan remaja lainnya, saya pun pernah mengalami perasaan cemas, khawatir, gelisah dan takut berlebihan. Nyatanya, apa yang saya alami tidak ‘seberat’  yang dirasakan oleh Pandhu, penyintas anxiety disorder dan psikosomatis.

Terlahir dari keluarga berkecukupan, bahkan layak dikatakan ‘berlebihan’ nyatanya tak menjamin Pandhu bahagia. Sepanjang hidupnya, ia memiliki segudang pengalaman yang menantang kerena harus melawan gangguan kecemasan.

Mendengarkan kisahnya, menyisakan segudang pengalaman. Saya pun semakin yakin bahwa peran pola uasuh orangtua sangat berperan penting dalam terhadap kesehatan mental anak.

Di temani secangkir kopi panas, obrolan hangat bersama mahasiwa Universitas Tarumanegara ini pun bergulir sangat cepat. Ia menceritakan beragam tantangan yang ia hadapi. Berikut kutipan wawancara saya dengan Pandhu:

“Aku orang yang pemalu, introvert. Bisa dibilang untuk bergaul keluar itu susah. Karena memang mamahku juga selalu menginginkan anaknya di rumah ajalah. Pulang sekolah nggak ke mana-mana. Makanya kenapa aku baru bisa keluar, baru sekarang memberanikan diri keluar. Buat berkenalan dengan orang-orang aku juga malu. Apalagi sampai ngobrol, malu.”

I Made Suri Pandhu, penyintas anxiety disorder | Instagram @madepandhu

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Made Pandhu, salah satu anak yang alami gangguan kecemasan pada anak remaja

Pandhu mengaku bahwa kecemasan yang ia rasakan bermula sewaktu ia duduk di bangku Sekolah Dasar. Persiapan Ujian Nasional membuat kedua orangtua Pandhu menyimpan harapan yang tinggi. Namun, salah satu masalah terbesar yang sampai sekarang dirasakannya, ia merasa sulit dalam hal akademik.

“Dan salah satu masalah terbesar sampai sekarang, aku untuk di akademik itu nggak bisa. Sebenernya mama biasa saja, tapi gemes sama aku. Gemesnya tuh dalam arti yang nggak keras ya, mama nggak pernah mukul, tapi cuma dimarahin. Pernah waktu itu kelas 6 SD mau UN, aku dimarahin besar sama mama sampai ngerasa trauma gitu. Trauma banget, karena itu benar-benar besar marahnya,” ujar Pandhu.

Tekanan itu semakin memuncak saat Pandhu mempersiapkan ujian masuk perguruan tinggi atau SBMPTN. Latar belakang keluarga yang mengenyam pendidik Perguruan Tinggi Negeri (PTN) membuat ia merasa harus mengikuti jejak serupa.

“Aku punya keluarga yang latar belakangnya berpendidikan semua. Mama dan papa PTN, kakak aku juga PTN. Hingga aku merasa kalau aku harus kaya gitu. Tapi posisinya aku ngga bisa menyerap semua, dapat nilai yang nggak gede banget. Terus akhirnya beberapa bulan itu merasa pressure banget,” cerita Pandhu.

Artikel terkait: Agar kesehatan mental tetap terjaga, tanamkan 5 kebiasaan sederhana ini dalam keluarga

Tekanan yang berlebih ini akhirnya memuncak sampai membuat fisik Pandhu drop, namun tidak diketahui pasti apa penyebabnya. Sampai suatu malam, Pandhu merasakan jantungnya berbedar kencang hingga sesak napas.

“Aku kira aku sakit berat, serangan jantung atau apa, akhirnya aku minta buat diantar ke UGD. Aku kira aku bakal meninggal karena sensasinya benar-benar kaya udah mau lewat,” kata Pandhu.

Gejala ini sering dirasakannya, sampai pemeriksaan oleh dokter pun tidak menemukan hasil. Akhirnya ia dirujuk untuk konsultasi ke Psikiater.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

“Aku jelasin ke psikiater apa yang aku alami. Stres, ngerasa malu, nggak berguna dan nyusahin orangtua. Aku takut kalau nggak lulus, mama papa akan marah kaya waktu itu,” ucap Pandhu.

Dari situlah Pandhu mulai didiagnosis mengalami anxiety disorder oleh psikiater. Untuk mengatasinya, ia pun harus menjalani pengobatan selama beberapa tahun. Beruntung saat ini, Pandhu dinyatakan tidak perlu lagi mengonsumi obat-obatan tersebut.

Pandhu sendiri cukup memahami bahwa gangguan mental yang ia rasakan bisa dipicu oleh beragam faktor. Sayangnya, sampai saat ini masyarakat masih memikili stigma yang salah terkait dengan gangguan mental.

“Soalnya sampai sekarang masih ada anggapan bahwa gangguan mental itu dianggap lebai, seseorang yang mengalaminya dibilang nggak berdoa atau kurang iman atau apa. Padahal tidak begitu, faktornya banyak, bisa juga dari genetik. Gangguan mental itu kan tidak seimbangnya kimia di dalam otak, ada yang salah dengan neurotransmitter di dalam otak.” “Mungkin, buat para orangtua, sebisa mungkin tolong hindari meremehkan masalah yang mungkin dianggap masalahnya simpel. Padahal anak sebenarnya butuh dukungan. Jangan pernah berantem di depan anak, karena anak akan mengingat sampai ia dewasa. Selain itu, orang-orang yang mengalami gangguan kecemasan juga perlu ditemani dan berobat pada orang yang ahli,”

Gejala timbulnya anxiety disorder atau gangguan kecemasan pada anak dan remaja

Psikolog Veronica Adesla, M.Psi. Psikolog, Clinical Psychologist & Head of Counseling Center Personal Growth, pernah menjelaskan kepada saya bahwa secara umum gangguan kecemasan pada anak ataupun remaja dapat ditunjukkan dengan rasa cemas dan takut yang berlebihan atau tidak sewajarnya. Umumnya, kondisi ini akan berlangsung secara intens dan berulang. Gejala ini juga bisa disertai dengan gejala fisik (psikosomatis) dan kognisi.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Saat seseorang merasa cemas, ia dapat menggambarkan reaksi otot menegang dan waspada dalam mempersiapkan atau mengantisipasi bahaya. Sehingga timbul perilaku yang sangat hati-hati untuk menghindari bahaya.

“Dikategorikan sudah parah apabila berdampak pada terganggunya kemampuan individu dalam berfungsi dan menjalankan aktivitas sehari-hari. Seperti misalnya, tidak dapat berkonsentrasi dalam belajar, bersekolah, bekerja maupun berelasi atau berinteraksi dengan orang lain,” kata Veronica.

Artikel terkait: 5 hal ini merupakan gejala gangguan mental pada anak-anak

Bagaimana dengan gangguan psikosomatis?

Sementara, gangguan psikosomatis yang dialami Pandhu juga termasuk ke dalam gangguan kesehatan mental. Psikosomatis ini sendiri sebenarnya terdiri dari dua kata, pikiran (psyche) dan tubuh (soma).

Artinya, gangguan psikosomatis merupakan penyakit yang melibatkan pikiran dan tubuh, di mana pikiran memengaruhi tubuh hingga penyakit muncul atau menjadi bertambah parah. Istilah gangguan psikosomatis digunakan untuk menyatakan keluhan fisik yang diduga disebabkan atau diperparah oleh faktor psikis atau mental, seperti stres dan rasa cemas.

Bagi penderita psikosomatis, setiap penyakit fisik yang ia rasakan pasti ada pengaruhnya dari sisi mental.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Contoh sederhana dari gangguan psikosomatis ini ialah saat seseorang merasa takut atau cemas, akan muncul tanda-tanda seperti jantung berdebar (palpitasi), denyut jantung menjadi cepat, mual atau ingin muntah, gemetar, berkeringat, mulut kering, dada sesak, nyeri otot sampai kesemutan dan lain sebagainya.

Apakah gangguan kecemasan pada anak dipengaruhi oleh pola asuh orangtua?

Ada banyak alasan mengapa pola asuh orangtua dapat memengaruhi kesehatan mental anak. Misalnya, saat orangtua sering mengkritik atau membandingkan dengan anak lain.

Meskipun terkadang kritikan atau membandingkan ini dimaksudkan untuk memotivasi anak, tanpa disadari justru malah membuat anak merasa dihakimi, tertekan, dan memiliki ekspektasi setinggi orangtuanya.

Terlebih lagi jika orangtua menerapkan pola asuh overprotective. Hal ini ditegaskan oleh dokter spesialis kejiwaan, dr. Sylvia Detri Elvira, SpKJ(K), pola asuh yang terlalu overprotective bisa berdampak pada gangguan kecemasan.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

“Pola asuh yang overprotective, artinya sayang banget sih sama anak, tapi anaknya tidak diberi kesempatan untuk struggle. Lalu yang kedua, kalau orangtua terlalu galak, terlalu antisipasi tapi nakut-nakutin. Dan yang ketiga, judging, tidak  mendengar tapi sudah menilai atau menyimpulkan sebelum mengetahui hal sebenarnya. Jadinya anaknya rendah diri, misalnya ‘nanti paling mau presentasi ga bisa nih, nilai saya jelek pas mau ujian’,” ucap dr. Sylvia.

Artikel terkait: Parents, Kenali Perbedaan Antara Stres dengan Penyakit Mental Gangguan Kecemasan Pada Anak ini

Ia juga mengatakan kalau gangguan kecemasan ada kaitannya dengan pola asuh orangtua. Meskipun faktor biologis juga berperan.

“Ada kaitannya, walaupun bergantung juga pada biologis. Faktor biologis di antaranya ialah faktor genetik, bagaimana kita lahir ke dunia ini sudah punya bentuk otak. Susunan neotransmitter di otak juga bisa berpengaruh dari bagaimana ibu saat mengandung dan menghayati kehamilannya. Ibu-ibu yang hamilnya depresi, cemas, kemungkinan anaknya di masa depannya bisa mengalami gangguan kesehatan mental,” ungkap dr. Sylvia.

Lantas bagaimana pola asuh yang baik untuk menghindari anxiety disorder?

Dr. Sylvia mengatakan sebaiknya orangtua perlu menjadi teman yang baik untuk anak-anaknya. Artinya orangtua mau mendengarkan apa yang dirasakan anak-anaknya. “Listening, mendengar apa yang anak bicarakan, juga menanamkan disiplin, nilai-nilai, tapi dengan cara yang santai dan halus sehinga anak tidak takut,” tegas dr. Sylvia.

***

Baca juga

Wajar kok ibu baru mudah panik, psikolog ini berikan tips menghadapinya!