Di suatu Pelepasan Kelas 6 sebelum pandemi, saya merasakan keharuan luar bisa. Acara pelepasan ini akan menjadi awal cerita saya mengenai dunia sunyi Kiranti.
Seorang anak perempuan berkerudung maju ke panggung dan melakukan presentasi dengan gambar. Dia telah menggambar semua temannya di dalam kelas. Sambil menunjukkan gambar satu per satu, dia menyebut nama pemilik wajah di gambar itu. Tidak terlalu jelas lafalnya, namun tamu-tamu di acara itu mengulang nama yang disebutkannya seperti dalam chorus. Penampilan gadis itu menjadi penutup acara pelepasan kelas untuk menunjukkan dukungan kami terhadap perbedaan. Di balik kerudungnya, terpasang alat bantu dengar karena Kiranti terlahir sebagai gadis tuli.
Di hari pelepasan kelas itu saya merenungkan seberapa jauh saya telah memberinya ruang untuk tumbuh sebagai remaja. Sepanjang kehadirannya di sekolah, saya berupaya agar dia diterima teman sekelasnya, dan yang juga penting: dia menerima sekolah ini di hatinya.
Hal terakhir ini yang menjadi penyebab kehadirannya di sekolah. Lima tahun sebelumnya bundanya mengatakan bahwa Kiranti telah tiga kali kali pindah sekolah. Bundanya mengatakan bahwa di sekolah lama Kiranti kerap berdiri di pojokan sambil mendelikkan mata ke arah guru dan melipat tangan.
Artikel terkait: Aziza, Gadis Kecil yang Bangkit Memecah Sunyi dari Tuli Bawaan Lahir
Perjumpaan Awal dengan Kiranti
Saat saya bicara dengan bundanya, Kiranti hanya mengamati. Namun pada saat pulang, di boncengan motor bundanya Kiranti melambaikan tangan kepada saya.
Setelah dua kali pertemuan dengan orang tuanya, Kiranti resmi menjadi murid di sekolah dasar yang saya kelola, sebuah SD swasta inklusi. Kiranti memulai hari-harinya bersama teman-temannya yang terlahir normal. Dia mengikuti alur kegiatan, yang diawali dengan duduk di lingkaran dan setiap anak disapa dan mendapat hak untuk bicara.
Dia bermain dengan teman sekelas, sekalipun tak dapat dipungkiri bahwa dia bisa terlibat dalam “pembicaraan” yang intens bila bertemu Tora dari kelas lain yang juga mempunyai gangguan pendengaran. Secara insting Kiranti menjadi dekat dengan Tora.
Bila pulang sekolah, Kiranti dan Tora selalu main ‘kebut-kebutan’ dengan motor. Kiranti memberi kode kepada Bunda untuk ngebut, dan Tora pun meminta penjemputnya untuk mendahului motornya. Kedua anak itu tertawa tergelak-gelak.
Itu adalah kenangan manis bagi Kiranti, Bunda dan kami. Kami sama-sama kehilangan Bunda yang dipanggil Allah agar terbebas dari penderitaan sakit kankernya. Bunda mirip sosok ibu dalam film lawas, Who Will Love My Children. Lucille Fray, seorang ibu terdiagnosis kanker, mencari orang tua angkat bagi ke-10 anaknya, di saat dia merasa ajalnya tak tak lama lagi.
Bunda Kiranti pun seperti mencari sekolah yang bisa membuat putri istimewanya nyaman. Nyaman dalam menjalani kehidupannya, kehidupan dalam dunia sunyi Kiranti.
Artikel terkait: Lihat Reaksi Mengharukan Bayi Terlahir Tuli ini Saat Pertama Kali Mendengar Suara Ibunya
Dunia Sunyi Kiranti dan Hari-Hari yang Dijalaninya
Kiranti tumbuh ceria, dan tak pernah berdiam diri di sudut ruangan. Memang ada kalanya dia menunjukkan wajah tak nyaman. Tapi karena Kiranti ekspresif, kami segera dapat melakukan tindakan.
Kiranti dapat mengontrol emosi, kecuali di seputaran hari-hari haidnya. Kalau dulu dia uring-uringan di sekolah lama, itu hanya karena komunikasi yang tidak klop. Kiranti tidak dapat menyatakan isi hatinya, dan para guru itu tidak paham. Ya, mereka bekerja dengan kurikulum dan sistem yang tidak ditujukan untuknya.
Kami pun memakai kurikulum dasar yang terlalu sulit bagi Kiranti ketika sudah sampai ke hal abstrak. Akan tetapi kami bisa “ngulik” sehingga dia paham tatabahasa dasar, matematika dasar, dan lingkungan sosial. Untuk hal terakhir ini, Kiranti adalah bintangnya. Bila ada teman sekelas berulang tahun, dia menulis ucapan di papan tulis. Dia juga membuat gambar-gambar untuk guru-guru yang membuat mereka tersanjung.
Artikel terkait: Mengharukan, Anak Bisu Tuli Bersyukur Bisa Makan Nasi Putih
Kiranti Beranjak Remaja
Bunda tidak pernah tahu ketika Kiranti mulai naksir-naksiran dengan kakak kelas. Ya, Kiranti sering kedapatan mengintip Gary, kakak kelasnya dari jendela. Gayung bersambut. Gary pun jadi bertingkah berbeda.
Dia jadi sering punya alasan ke toilet agar dapat melirik Kiranti di kelas sebelah. Saya dan tim guru tidak melarang ataupun memberi peluang. Kami tidak melarang karena ini adalah kesempatan Kiranti mengembangkan perasaan yang dialami oleh banyak remaja.
Usia Kiranti dua tahun lebih tua daripada teman-teman sekelasnya, jadi wajar kalau dia mengalami masa pubertas lebih cepat daripada teman sekelasnya. Kami juga tidak melakukan pembiaran. Artinya, kami membuatnya lebih sibuk dengan kegiatan agar teralih dari godaan untuk menengok ke kelas sebelah.
Semoga Bunda bahagia dengan amanah yang kami jalankan hingga anak gadisnya lulus SD.
Ditulis oleh Endah Widyawati, UGC Contributor theAsianparent.com
Artikel UGC lainnya:
Cara dan Manfaat Melakukan Pijat I Love U saat Bayi Menangis
Add Yours, Challenge Instagram yang Berpotensi Dimanfaatkan untuk Curi Data Pribadi