Sama-sama pernah mengalami Dengue Shock Syndrome (DSS), saya dan istri tidak pernah menyangka menghadapi mimpi buruk ini lagi. Parahnya, kondisi yang pernah mengancam nyawa ini justru dialami anak kami yang masih berusia delapan bulan.
Seorang ayah, Bonardo Maulana berbagi kisah saat anaknya, Gatha, mengalami Dengue Shock Syndrome sebagai peringatan untuk Parents lainnya.
Kronologi bayi kami alami Dengue Shock Syndrome
Di tengah pandemi Covid-19, keluarga kami harus menerima kenyataan pahit. Bayi kami harus terbaring lemah di Rumah Sakit lantaran Dengue Shock Syndrome (DSS).
Peristiwa ini bermula saat pekan lalu, Kamis (12/3) yang cerah di Jakarta Selatan, kawasan tempat kami menetap, suhu tubuh anak kami tiba-tiba melonjak tinggi setelah bangun tidur siang. Padahal, beberapa jam sebelumnya, dia masih aktif bermain dan sempat ke Posyandu untuk timbang badan.
Sebelumnya, kesehatannya memang sedang menurun. Hampir seminggu hidungnya berair. Namun selama pilek , tak sekali pun dia demam. Saat mengetahui badannya mulai panas, apakah memang merupakan susulan dari selesmanya?
Istri saya pun bergegas mengecek suhu tubuh dengan termometer untuk mengetahui secara persis berapa temperaturnya. Hasilnya bikin kami gelagapan. Suhunya 39 derajat C.
Baca juga: Kenali gejala Demam Berdarah Dengue (DBD) pada anak
Meski meriang, anak kami tak tampak lesu. Ia masih terleihat licah dan getol mengajak kami bermain dan berbagi canda. Bahkan saat makan sore, dia masih semangat menyantap makanan halus yang disiapkan ibunya.
Sayang, 30 menit berselang, dia muntah. Kami terhenyak, tapi belum tergerak. Kami was-was ketika ASI yang ibunya berikan tak lama setelah insiden itu juga dimuntahkan.
“Kalau mau tidur nanti masih juga muntah setelah kamu susui, kita bawa ke dokter,” kata saya kepada istri ihwal rutinitas menyusui jelang tidur malam.
Apa yang kami cemaskan terjadi. Anak kami muntah lagi setelah minum ASI sebelum tidur. Bisa jadi seluruh isi perutnya keluar.
Sebab, seperempat bagian tempat tidurnya—yang masih berbagi dengan kami—basah.
Tak perlu berpikir panjang lagi, kami mesti memutuskan langsung ke rumah sakit. Bayangan pandemi Covid-19 yang sudah menjangkiti kota sontak wara wiri di benak. Kami sangat khawatir.
Tiba di rumah sakit, UGD penuh. Pasiennya pun rata-rata masih anak-anak. Kami lalu mendaftar ke dokter anak, dan dapat nomor antrean dua. Walau begitu, kami baru masuk sejam kemudian.
Dokter mendiagnosis penyebab muntah disebabkan pilihan makanan yang tidak tepat. Kami pun dianjurkan untuk lebih hati-hati memilih makanan. Jangan sampai memberikan pemicu kembung seperti ubi dan kacang-kacangan
Dokter juga mengatakan, demam bisa datang dari pilek si anak. Kami diberi resep probiotik, obat mual, obat pengencer pilek, dan obat penurun panas.
Demam yang tak kunjung turun, salah satu gejala Dengue Shock Syndrome
Dua hari setelahnya, anak kami masih demam. Angkanya fluktuatif. Kadang mendekati 38 derajat C, kadang melewati 39 derajat C, bisa pula di 37 derajat C.
“Tunggu 72 jam ya, mas,” kata istri saya. “Kalau masih tinggi juga, kita bahwa ke rumah sakit lagi,” ucapnya dengan wajah penuh was-was.
Sebelum demam masuk jam ke-72—atau hari ketiga—anak itu menunjukkan tanda lain.
Pagi ketika bangun tidur—Minggu sekitar pukul 6—tubuhnya lemas. Lethargic. Dia tidak merespons panggilan atau stimulasi-stimulasi lain. Makan sudah tidak masuk. Menyusu apa lagi.
Selama sakit, durasi menyusui memang turun drastis, hanya 10 menit. Tapi, pagi itu dia sepenuhnya menolak puting ibunya.
Khawatir kalau dia sudah mengalami dehidrasi. Sekitar pukul 10, kami melarikannya ke UGD rumah sakit di Duren Tiga itu lagi.
Nahasnya, kami diminta ke rumah sakit lain karena, menurut dokter jaga baru saja terjadi kasus berat. “Kami harus mensterilkan ruangan lebih dulu.” ujarnya. Kami bergegas ke daerah Ampera, Pasar Minggu.
Di UGD rumah sakit tempat dia dilahirkan itu, dokter jaganya memastikan si bocah sudah kekurangan cairan. Saat itu, suhunya menurun di kisaran 37,8 derajat C.
Hasil laboratorium darah menunjukkan indikator-indikator buruk. Trombosit merosot hingga 20 ribu. Hematokrit 46. Leukosit di bawah normal. “Kritis ini, Pak,” kata si dokter jaga. “Dia sudah syok, sudah harus masuk PICU”.
Tubuh saya seketika rasanya begitu ringan.
Sulitnya mendapatkan ruang PICU
Artikel terkait : Wabah DBD merenggut 104 nyawa di Indonesia, bagaimana cara mencegahnya?
Saya dan istri lemas mendengarnya. Apalagi setelah sang dokter jaga dan dokter anak yang sedang piket mengatakan kapan tepatnya hari pertama demam. “Saya yakin itu Kamis sore, Dok,” kata istri saya. “Saya yakin ini memasuki hari ketiga”.
Kedua dokter itu kaget karena kondisinya sudah semenurun itu pada hari ketiga. Karena biasanya, mereka bilang, Dengue Shock Syndrome (DSS) tak muncul secepat itu.
Dengue shock syndrome (DSS) atau sindrom syok dengue merupakan sindrom disebabkan virus dengue yang cenderung mempengaruhi anak-anak di bawah 10 tahun dan bisa menyebabkan kematian.
Agar tanda-tanda vitalnya tak memburuk, tubuhnya harus mendapat cairan. Sialnya lagi, tak semudah itu memasukkan jarum ke tubuhnya.
Tiga perawat bergantian mencoba, dan semuanya gagal. Hingga lebih dari enam kali percobaan, di tangan dan kaki. Waktu terus bergulir, anak kami kian lemas.
Dokter anak yang saat itu piket lalu berinisiatif meminta bantuan dokter anestesi untuk mengambil tindakan pasang infus pada pembuluh darah femoral. Saya tahu butuh persuasi tinggi untuk membujuk seseorang datang di hari Minggu.
Untungnya, dokter anestesi berkenan. Sebelum pukul 3 sore dia tiba.
“Pilihannya di paha atau leher. Tapi kalau di leher akan terlalu sakit buatnya. Tapi kalau paha rawan infeksi karena dekat saluran pembuangan,” kata sang dokter. Tak sampai seperempat jam, cairan infus sudah mengaliri tubuh anak kami lewat paha bagian atas.
“Sekarang tinggal ruang PICU, belum ada rumah sakit yang kosong (ruangnya),” kata seorang perawat.
Upaya tanpa henti para perawat untuk mendapatkan ruang perawatan intensif bagi anak mendapat titik terang pada sekitar jam setengah 5 sore. Sebuah rumah sakit di kawasan Manggarai sedia PICU kosong.
Tahapan mematikan dari kondisi Dengue Shock Syndrome
Karena menggunakan dana pribadi, saya harus mengurus sendiri ke sana. Sepanjang perjalanan saya mereka-ulang apa yang kemungkinan terlewat dari perjalanan demam si bocah. Ada kemungkinan satu kekeliruan, saya dan istri terlalu prosedural dalam menanggapi demam anak, tanpa melihat kondisi di lapangan.
Setelah saya selesai mengurus administrasi, anak saya tiba dengan ambulans jam 8 malam. Timbul rasa lega saat melihatnya sudah bisa bisa tersenyum lagi. Matanya mulai mengenali kami.
Jam 7 malam, trombositnya turun ke 15 ribu, tapi hematokritnya mulai turun. “Ini sudah lumayan, meski masih DSS,” kata dokter jaga UGD rumah sakit rujukan.
DSS selalu dikaitkan dengan tingkat kematian tinggi kasus demam berdarah. Koridor kritis setelah penentuan itu adalah 12-24 jam. Parahnya, tiap anak menunjukkan gejala-gejala berbeda.
Namun, satu hal pasti. Pada Dengue Shock Syndrome (DSS), pendarahan bisa terjadi kapan saja.
Kurva berbalik
Senin pagi, semalam setelah di PICU, trombosit anak kami masih turun. Angkanya sudah menyentuh 5.000. Dokter yang memantaunya memutuskan untuk ambil jalan transfusi trombosit.
“Saya mengantisipasi pendarahan dalam. Kita nggak pernah tahu itu. Perdarahan luar kan kelihatan,” ujarnya.
Sepanjang malam itu pikiran saya berlarian ke sana kemari. Bayangan akan senyum dan tawa anak saya kian jelas.
Saya mengenang masa kritis saya terserang DSS saat berusia 10 tahun. Waktu itu gejalanya sama sekali berbeda. Panas saya tak pernah turun. Selalu di atas 39 derajat C. Konstan muntah. Saya akhirnya berusaha menyingkirkan angan-angan buruk dan menggandeng optimisme.
Selasa pagi, sehari setelah transfusi, trombositnya mulai naik. “21 ribu, Bu,” kata seorang perawat di ruang PICU kepada istri saya.
Semangat kami kembali menyala. Semoga pelangi itu muncul di ujung badai, saya membatin. Indikator lain juga meningkat. Namun demikian, dia mesti menjalani transfusi lagi.
“Saya tidak mau ambil risiko,” kata dokter anak yang memantaunya.
Rabu siang, anak itu sudah boleh pindah ke ruang perawatan biasa. Dokter berharap anak kami segera pulang karena khawatir kalau ada pasien berlama-lama di rumah sakit di tengah wabah Covid-19.
“Kalau tren (trombosit) naik, besok kayaknya bisa pulang,” katanya. Esoknya, terbukti trombosit itu melesat tinggi. “Sudah di atas 100 ribu nih,” kata dokter. Kamis sore, dokter pun mengatakan kalau bayi kami boleh pulang.
Bahagia dan penuh syukur. Dua kata inilah yang mampu menggambarkan perasaan kami ketika itu.
Jangan anggap enteng demam pada anak
Di balik kekalutan melihat anak tak berdaya lantaran sakit, ada banyak pelajaran berharga yang bisa kami petik. Salah satunya, pentingnya untuk waspada jika anak demam.
Umumnya, saat demam anak harus dipantau lebih dulu hingga tiga hari. Namun, dalam kasus tertentu, seperti demam berdarah, tata laksana semacam itu semestinya bisa dilewatkan.
Pasalnya, sewaktu masih di UGD daerah Ampera, ada pasien berusia enam bulan yang positif demam berdarah walaupun hanya batuk-batuk saja tanpa demam.
Penting bagi orangtua untuk lebih waspada saat kondisi kesehatan anak menurun. Belum lagi kalau mengingat, bayi belum punya kemampuan untuk berbicara. Mengatakan apa yang ia rasakan.
Penunjuk paling akurat yang bisa dijadikan patokan adalah hasil laboratorium. Dalam kasus anak saya, ketika dia muntah-muntah hingga tiga kali, seharusnya saya meminta cek darah untuk menghindar sedini mungkin dari situasi buruk.
Semoga pengalaman yang telah saya saya lalui ini bisa menjadi pengingat bagi orangtua yang lain.
Baca juga :
Waspadai perubahan jam aktif nyamuk DBD, kenali waktu-waktunya