“Lelah jadi ibu, sangat. Saya kira dulu gampang. Segampang menikah. Setelah menikah, saya merasa berumah tangga itu mudah. Ternyata berat,” ujar salah satu ibu yang tergabung dalam komunitas theAsianparent. Ia mengungkapkan curahan hati terkait pernikahannya.
Di balik tugasnya yang mulia, para Bunda tentu sudah memahami bagaimana rasanya menjadi seseorang yang memiliki banyak peran dan tanggung jawab bagi keluarga. Mulai dari membuka mata saat bangun tidur hingga pergi tidur kembali saat malam hari. Ada sederet tugas yang sudah masuk dalam daftar to do list setiap harinya.
Rasa lelah, jenuh, dan berbagai perasaan tentu saja bisa muncul dan dirasakan semua ibu. Setidaknya hal inilah yang yang diungkapkan oleh Bunda satu ini yang mengungkapkan isi hatinya mengenai hal yang ia rasakan dalam keseharian.
Apakah Bunda juga merasa terwakili dengan curahan hati berikut ini?
Artikel terkait : Hati-hati, inilah usia pernikahan yang rawan konflik dan perpisahan!
Curahan hati pernikahan
Tepat pada 8 Januari ini seorang Bunda yang yang tidak ingin disebutkan namanya mengungkapkan betapa lelahnya menjadi ibu dengan segala hal yang dialaminya. Mulai dari berbagai hal yang dialaminya serta hal lain yang dikorbankan, ia ceritakan dalam curhatannya berikut ini.
“Hari ini 8 Januari bocil saya usianya sudah 6 bulan 21 hari. Lelah jadi ibu, sangat. Saya kira dulu gampang. Segampang menikah. Setelah menikah, saya merasa berumah tangga itu mudah. Ternyata berat. Banyak kebebasan yang kemudian direnggut. Setelah punya anak, bahkan ibu tak punya waktu untuk dirinya sendiri.
Ada bekas jahitan di perut. Nampak buruk, meski terkadang suami menyebutnya seksi. Ah, bualan untuk menyenangkan istri.
Ada mata panda yang kian hari makin menjadi hitamnya. Meski suami bilang, itu imut. Panda banyak yang suka karena matanya unik. Ah, itu dusta saja.
Karier pun kandas, ijazah tergantung rapi. Sesekali dilirik, rasanya benci pada diri sendiri.
Kok ngeluh terus? Iya. Ketika letih seharian, malam begadang, subuh bangun duluan. Tidak ada gairah hidup yang didapati lagi. Mata berkunang siang hari. Tidur saat bocil tidur? Tidak bisa. Mengantuk pasti, tapi saya tidak terbiasa tidur siang hari.
Menyusui bikin badan kering kerontang. Kasih sufor? Lihat bocil, jadi kasihan. Kita mampu menyusui kok, terkecuali ada kendala yang diperbolehkan menurut syar’i.
Apa lagi?
Suami kadang juga lelah kerja seharian, bicara untuk cerita? Dia tidak bisa diandalkan. Ibarat kata, mending ngobrol sama tembok sekalian. Jelas, tidak respon.
Meski pekerjaan rumah dibantu, suami cuci baju. Masak jenis goreng menggoreng dengan cabe, suami yang kerjakan. Saya spesialis gulai, sop, dan jenis berkuah lainnya, karena nggak dibolehin giling cabe.
Saya kurang bersyukur, iya saya akui. Jadi merasa egois sekali. Ingin sekali punya kesempatan untuk mengurus diri sendiri. Terkadang, bocil rewel kalau lagi nggak enak body. Saya muak, marah, dan nangis sendiri. Setelah ia tidur saya merasa bersalah. Saya ibu yang buruk…” tuturnya.
Walau meluapkan isi hatinya, tak lantas berbagai hal yang dialaminya ini membuat ia tidak mensyukuri anugerah yang telah diberikan.
“Tapi Tuhan kasih amanah ke saya. Di luar sana, banyak yang ingin punya anak, tapi belum dikasih. Mungkin saya benar-benar tidak bersyukur. Saya masih benci, ketika saya rasanya belum bisa jadi berguna buat diri saya sendiri- lalu memutuskan untuk menikah.
Terkadang merasa tidak berguna, dan sulit menghilangkan anggapan saya sendiri,” pungkasnya.
Artikel terkait : Ingin pernikahan langgeng? Jangan lupakan 5 hal sederhana ini
Perubahan besar ketika menjadi ibu, ini yang perlu dilakukan
Apa yang dirasakan dan dikeluhkan di atas, mungkin saja akan dirasakan oleh Bunda yang lain. Wajar saja. Hal ini pun diungkapkan oleh psikolog pernikahan Anna Surti Ariani, S.Psi., M.Si.
Ia menegaskan, saat seorang perempuan memulai perjalanan sebagai ibu, mau tidak mau memang akan memberikan perubahan nyata. Termasuk perubahan yang dirasakan secara psikis.
Di samping rasa sayang yang muncul kepada si kecil, ibu baru akan mendapatkan tantangan besar karena harus menjalankan perubahan besar. “Jika ibu tidak menyiapkan dengan baik, tentu bisa menimbulkan risiko seperti memunculkan baby blues,” paparnya.
Psikolog yang kerap disapa Nina Teguh ini pun mengingatkan, dalam menjalankan peran barunya, seorang ibu memang membutuhkan suppport system yang datang dari keluarga terdekat, khususnya sang suami.
Sayangnya, setelah menikah tidak sedikit pada bunda yang mengeluhkan kalau para suami justru lebi tertarik untuk menghabiskan waktu dengan temannya atau melakukan hobinya.
“Setelah menikah, dan punya anak, memang akan banyak timbul pertanyaan ‘kok begini’, atau ‘kok begitu?’. Dalam menikah tentu saja akan banyak perubaan yang akan dirasakan. Kondisi ini memang wajar. Namun, meskipun akan banyak perubahan yang mucul, agar tetap bahagia, baik diri sendiri dan pernikahan, salah satu yang paling penting untuk dimiliki adalah dengan punya waktu berkualitas dengan diri sendiri,” papar Nina Teguh lagi.
Berbicara mengenai me time, psikolog Terri Orbuch mengatakan kalau memiliki waktu berkualitas dengan diri sendiri di dalam sebuah perkawinan justru lebih penting ketimbang memiliki kehidupan seks yang baik.
Selain itu, menurut Janet Hicks, Ph. D memahami keterbatasan energi dan emosi dalam menjalankan peran sebagai ibu itu penting. Me time menjadi salah satu kuncinya, Bun.
Me time yang seimbang bisa membuat Bunda menjadi lebih bahagia dalam keseharian. Kondisi psikologis Bunda ini ternyata juga sangat berpengaruh terhadap kondisi psikologis keluarga, khususnya anak.
Meskipun ‘me time’ penting, namun saat menjalankannya tentu saja ada aturan yang perlu diperhatikan :
- Pastikan bahwa Anda dan pasangan sama-sama menyadari pentingnya ‘me time’ sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kualitas ‘we time’
- Me time tidak dipergunakan sebagai pelarian dari masalah, namun sebagai cara untuk lebih mengenal dan mengembangkan diri sendiri
- Jangan lupa jujur pada pasangan jika ingin melakukan me time. Jangan sampai waktu sedang memanjakan diri sendiri justru menimbulkan rasa bersalah atau memicu konflik baru.
- Setiap pasangan memiliki pertimbangannya sendiri mengenai kapan dan berapa lama waktunya. Karena itu komunikasikan dengan pasangan. Idealnya, baik istri atau suami memiliki waktu sendiri untuk me time, dan saling membantu untuk penuhi kebutuhan tersebut.
Baca Juga :
Me time, salah satu teknik alami atasi depresi setelah melahirkan
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.