Baru saja menikah dan menjadi seorang “Istri”, rasanya senang bisa tinggal di rumah milik sendiri, berdua dengan suami setiap harinya. Tapi tidak semua orang seberuntung itu ketika menikah hingga bisa hidup berdua di rumah sendiri sehingga belajar dan tahu bagaimana cara berdamai dengan mertua.
Iya, nyatanya banyak pasangan suami istri harus hidup ‘numpang’ di rumah mertua, alasannya bukan hanya karena tidak ada biaya untuk beli rumah sendiri tapi terkadang memang ada orang tua atau mertua tidak mau di tinggal oleh anak tersayangnya, apalagi kalau suami adalah anak tunggal.
Bahkan ada mertua yang setengah rela anaknya pisah rumah, setengahnya lagi ya nggak rela. Akhirnya syarat pisah rumah adalah rumah anaknya masih sebelahan atau satu lingkungan.
Yah… apa pun itu, otomatis sebagai istri harus legowo tinggal seatap dengan mertua atau sebelahan dengan mertua.
Paham dan Tahu Cara Berdamai dengan Mertua Sangat Penting
Tidak sedikit dari kita yang sudah berumah tangga selalu dengar atau lihat bahkan mengalami sendiri ketidak harmonisan hubungan dengan mertua. Salah satu dari sekian banyak alasan adalah “umur”. Ya umur!
Umur mertua dan menantu yang beda jauh, sehingga membentuk pola pikir dan cara pandang yang berbeda. Logikanya yang usianya tidak jauh pun kadang berbeda pendapat apalagi yang jauh.
Yah seperti yang saya alami, saya dan mertua tidak satu rumah tapi kami satu kota dengan jarak yang tidak begitu jauh. Setiap weekend saya dan suami sempatkan untuk ke rumah mertua, dan yang pasti ipar pun ada juga, karena weekend adalah satu-satunya waktu yang tepat untuk kumpul keluarga besar.
Saat kondisi saya sedang hamil, begitu banyak wejangan dari mertua yang didukung oleh ipar dengan pengalamannya mengenai kehamilannya dulu. Tentang ini, tentang itu. Begitu banyak yang masuk ke telinga saya.
Mulai dari jangan tidur pagi, jangan keluar malam, jangan makan di piring cacat atau piring besar, di anjurkan menggunakan atau membawa benda aneh seperti jarum, peniti atau gunting, jangan beli kerpeluan bayi sebelum usia kandungan tujuh bulan dan bahkan saat saya hamil ada gerhana, saya diminta nyumput di kolong meja, dan banyak lagi.
Rasanya terlalu panjang kalau diceritakan. Ada-ada saja ya mitos yang beredar di lingkungan kita ini.
Lalu apa yang saya lakukan dengan wejangan tersebut? Saya hanya mengangguk dan saya iyakan saja.
Kemudian saya cerita kepada suami bahwa saya tidak mungkin mengikuti kemauan Ibunya, karena itu hanyalah mitos. Beruntungnya, suami juga satu pikiran.
Mencoba Menghindari Timbulnya Konflik dengan Mertua
Untuk menghindari konflik karena tidak mengikuti wejangan Ibu, maka kami berdua sepakat untuk tidak banyak bicara, cukup iya kan saja dan melakukannya hanya di depan ibu. Yah, ini sebagai upaya atau cara berdamai dengan mertua.
Ketika menginap di rumah mertua, saya lakukan itu semua tanpa bantahan sedikit pun, saya anggap ibu mertua saya lagi melawak, heheheee… Dalam artian yang positif, ya. Bukan mengolok-olok.
Makanya setiap kali diminta melakukannya, saya malah tertawa dan mencoba menanggapi dengan santai, “Kaya orang diet, ya, mah makan di piring kecil“, “Lucu nih, penitinya dipakein ke baju jadi ada hiasan, yang bolong bisa jadi ketutup juga“, “Alhamdulillah ngadem di kolong meja masih muat meski badan besar“, “Haduh pagi-pagi udah ngantuk berat, harus ngedisco dulu nih di dapur” dan kalimat lainnya.
Saya menjalani kemauan Ibu mertua bukan karena percaya mitosnya, tapi lebih ke menghargai. Menjaga perasaan Ibu mertua saya.
Ya, selagi tidak merugikan apapun ya saya jalani, dengan ikhlas dan senang, biar mertua pun ikut senang. Terkadang orang tua sudah terlalu lekat dengan mitos turun temurunnya ditambah terbatasnya kemampuan orang tua dalam mencari informasi di dunia maya yang menurut kita mudah, sehingga sulit untuk kita tidak mengikutinya tanpa melukai perasaannya.
Karena yang mertua lakukan semata-mata agar calon cucunya baik-baik saja ketika lahir nanti, maka saya pun harus menghargai itu.
Dan untuk masalah perlengkapn bayi harus nunggu kandungan usia 7 bulan, saya ikuti, tapi sekali lagi bukan untuk mitosnya, lebih karena ini untuk menjaga psikis diri sendiri. Jika buruknya Tuhan tidak mengizinkan anakku terlahir ke dunia dengan selamat, maka saya tidak akan terlalu meratapi barang-barang di rumah yang sudah di beli untuk calon anak ini.
Kita tidak tahu kondisi kehamilan kita kedepannya seperti apa, kita hanya bisa berdoa untuk keselamatan calon bayi di dalam perut, tapi yang menentukan adalah Tuhan. Melewati usia kandungan 7 bulan biasanya kandungan lebih kuat dan bisa jadi akan lahir di usia kurang dari 40 minggu.
Mau nggak mau memang harus mempersiapkan perlengkapan bayi. Celakanya, ada mertua yang benar-benar tidak mengizinkan beli apapun hingga cucunya lahir. Nah kalo begini, cucu nya lahir nanti mau dipakai apa ya?
Hmm lagi-lagi sebagin calon ibu dan mertua yang baik harus jago main petak umpet buat beli peralatan si bayi.
Mitos pun Berlanjut Saat si Kecil Lahir
Sekian minggu mengandung, akhirnya cucu yang dinanti-nantikan mertua telah lahir. Begitu senang sang Nenek hingga akhirnya muncul kembali wejangan mengenai mitos. Apalagi mitos yang harus saya jalani? Banyak! Lebih bikin pusing lagi kalau mitosnya menyakut tumbuh kembang anak.
Mitos-mitos bahkan larangan dan anjuran untuk cucu tercintanya adalah jangan dimandikan sebelum usia 1 minggu, pakaikan gurita dan koin supaya tidak buncit dan bodong. Bedong dengan erat supaya kaki lurus, cuci baju jangan di peras pakai mesin cuci, cukur habis rambut kepala sesering mungkin biar rambutnya nggak tipis.
Bahkan yang paling parah adalah disuruh kasih pisang sebelum waktunya MPASI. Begitu giliran tiba waktunya MPASI, eh, disuruh kasih madu. Biar napsu makannya meningkat tidak GTM lagi, katanya.
Hanya itu? Oh, tentu saja ini belum selesai. Ada lagi larangan lainnya seperti, jangan didudukan, jangan di berdirikan, jangan begini, jangan begitu belum waktunya, padahal stimulasi anak itu penting.
Awal jadi ibu baru dan baru saja lahiran sudah mendengar wejangan seperti itu rasanya pusing tujuh keliling, deh.
Bagaimana tidak, ketika saya sudah banyak baca ilmu parenting dari berbagai sumber terpercaya bahkan dari dokter anak, tapi yang saya terima dari neneknya adalah kebalikan dari ilmu-ilmu yang saya dapat.
Sedihnya untuk kali ini suami tidak sependapat dengan saya untuk beberapa hal, maka saya harus berjuang sendiri untuk menghindari berbagai macam aturan dan larangan itu.
Tentunya saya melanggar aturan dan melakukan yang dilarang atau semua yang tidak sejalan sesuai ilmu ketika tidak ada yang lihat. Karena kalau saya menuruti dengan memakaikan gurita, koin, bedong yang kuat justru anak saya yang tersiksa.
Kadang Merasa Lelah dengan Adanya Mitos
Cukup lelah menjalani kehamilan dan pascamelahirkan dengan mitos-mitos yang ada. Menahan ego untuk menghindari konflik dengan mertua bahkan suami sendiri. Terpenting bagi saya saat itu, sebagai ibu dan mertua di masa mendatang, saya tidak akan memberikan mitos-mitos serupa atau lainnya kepada anak dan menantu kelak, cukup berhenti di Ibu mertua saya dan cukup saya yg merasakan menjalani mitos-mitosnya.
Pentingnya kita menahan ego, karena hidup berhubungan dengan mertua atau ipar tidaklah sekali dua kali, melainkan sepanjang usia kita. Pentingnya kita menggalih dan memperdalam ilmu, karena kehidupan di setiap jamannya selalu berbeda begitu luasnya pengetahuan di dunia ini.
Sebagai orang tua kita wajib membesarkan dan mendidik anak atau cucu sesuai zamannya. Kalau memang ada perbedaan pola pandang, nggak ada salahnya kok, untuk cari tahu bagaimana cara berdamai dengan mertua. Setuju?
Ditulis oleh Dewi Rahmawati, Member VIPP theAsianparent ID
Artikel Lain yang Ditulis Member VIPP theAsianparent ID
4 Tips Mengajarkan Anak Bicara, Bisa Bunda Coba Terapkan di Rumah
Mainan Mahal atau Murah, Ini Hal yang Perlu Dipelajari si Kecil
Kehamilan dengan Hiperemesis Gravidarum Setelah Aku Alami Keguguran