Saya pernah berpikir untuk childfree, namun menjalani pernikahan dengannya meruntuhkan semua ego saya.
Pro dan kontra chlidfree yang mengemuka ketika seorang influencer mengumumkan pilihan hidupnya membawa ingatan saya kembali ke beberapa tahun lalu. Saat itu saya masih seorang mahasiswa yang supergalau, dalam hal apapun termasuk perencanaan masa depan.
Mendengar kembali istilah childfree mengingatkan saya pada pilihan hidup saya waktu itu. Saya pernah enggan memikirkan pernikahan, apalagi sampai harus memiliki anak.
Alasan sempat berpikir untuk childfree
Jika ditilik kembali, keputusan saya untuk childfree bukan tanpa alasan, melainkan didasari trauma yang terjadi sebelumnya. Orang tua saya yang baru saja lepas dari ambang perpisahan membuat saya khawatir dengan kemampuan saya untuk menjadi orang tua yang baik.
Belum lagi kegagalan hubungan percintaan membuat saya makin meragu untuk memiliki anak. Saya takut tidak memiliki kapasitas mumpuni sebagai orang tua baik dari sisi psikologis maupun finansial.
Keputusan untuk tidak memiliki anak atau childfree waktu itu memang hanya didasari ketakutan-ketakutan tanpa pertimbangan logis lainnya. Namun diakui waktu itu saya cukup serius memegang pemikiran ini.
Artikel terkait: Inilah yang Perlu Dipersiapkan Saat Mau Memiliki Anak
Membahas pilihan childfree dengan calon pasangan
Merasa keputusan saya sudah bulat, waktu itu saya sempat membahasnya dengan teman dan juga calon pasangan. Kebetulan teman saya juga memiliki pengalaman dan pendapat yang sama yaitu enggan memiliki anak karena trauma dikecewakan pasangan.
Apalagi kami berdua sama-sama sepaham soal hak tubuh perempuan. Bukan mau sok feminis, namun dalam proses memiliki anak, menurut kami perempuan akan memiliki resiko lebih tinggi selama menjalani proses kehamilan, apalagi jika hanya untuk ditinggal dan dikecewakan.
Hal berbeda saya tangkap dari calon pasangan saya. Buat dia, laki-laki harus memiliki keturunan yang bisa meneruskan darahnya dan mewarisi nama keluarganya. Saya yang mendengarnya hanya tertawa, menurut saya hal itu terdengar kolot sekali.
Artikel terkait: 7 Cobaan Awal Menikah, Parents pernah mengalaminya?
Menikah mengubah mindset saya soal childfree
Saya menikah dengan terburu-buru karena orang tua takut saya dilangkahi. Memproses perubahan status menjadi seorang istri bukan hal mudah waktu itu. Saya sempat lupa soal pemikiran childfree, sejak awal menikah saya tidak pernah menggunakan kontrasepsi.
Di tahun ketiga pernikahan, kami belum juga dikaruniai keturunan. Saya masih agak santai dan tidak terlalu memikirkan soal kehadiran anak karena sibuk bekerja. Tapi diakui kegamanangan melihat orang tua yang terus mengharap ada celoteh si kecil di rumah tangga kami mulai membuat saya goyah.
Sampai pada saat suami meneteskan air mata, keinginan saya untuk childfree seketika runtuh. Setelah malam harinya kami membahas soal keinginan memiliki anak, pagi itu saya bangun dengan suasana berbeda. Suami saya yang cuek, selalu santai bahkan kadang terlihat dingin itu menangis mengingat kami belum juga dikaruniai keturunan.
Artikel terkait: Risiko Sering Hamil dan Melahirkan, Bisa Ancam Keselamatan Ibu serta Bayi
Saya menjadi paham, bahwa keputusan untuk memiliki atau tidak memiliki anak saat ini bukan cuma milik saya sendiri. Dalam rumah tangga ini ada juga suami yang harus diajak mengambil keputusan bersama.
Hari ini kami masih berusaha untuk mendapatkan keturunan. Namun ada yang baru dari mindset saya soal memiliki anak, serta komitmen kami untuk sama-sama jadi orang tua yang bertanggung jawab.
Bahwasannya ketakutan-ketakutan saya mungkin bisa ia atasi, dan harapan-harapannya terhadap rumah tangga kami juga bisa saya penuhi. Melepas rencana untuk childfree tidak semata-mata mengorbankan diri saya untuk nantinya melahirkan dan membesarkan anak. Namun juga membangun komitmen baru akan masa depan rumah tangga kami.
Sampai momen itu hadir, saya dan suami akan belajar jadi pribadi terbaik, agar menjadi ayah dan bunda terhebat untuk putra-putri kami. Dan apabila nantinya mereka memutuskan untuk chlidfree, saya akan ceritakan lagi kisah saya ini untuk mereka.
Ditulis oleh Puspa Sari, UGC Contributor theAsianparent.com
Artikel UGC Contributor lainnya:
Tak Hanya dengan Suami, Pillow Talk Juga Bisa Dilakukan dengan Si Kecil
Bangun Komunikasi yang Efektif dengan Anak, Ini yang Saya Lakukan
Kisahku Menjalani Kehamilan yang Tak Disadari, Penuh Kekhawatiran!