Sadarkah Parents bahwa bahaya hoax begitu besar sehingga anak-anak perlu dilatih untuk tidak mudah percaya dengan berita yang belum tentu kebenarannya.
“Ibu lihat video apa, sih?”
“Dia kenapa sedih dan minta maaf begitu, Bu?”
“Iya, ibu ini menyesal karena sudah berbohong. Akhirnya malah jadi bikin berita hoax, kan jadi bikin khawatir masyarakat.”
Kira-kira beginilah percakapan saya semalam bersama anak lelaki saya yang berusia 8 tahun saat saya sedang menyaksikan video pengakuan Ratna Sarumpaet saat melakukan jumpa pers di kediamannya.
Sedini mungkin, saya dan suami memang sudah melatih anak saya untuk tidak ‘termakan’ berita bohong atau hoax. Kenapa? Tentu saja untuk mengajarkannya agar bisa lebih dulu menelaah informasi yang dia dapatkan. Apakah berita itu benar atau tidak? Satu lagi, berita hoax yang sering kali disebarkan kerap kali membuat khawatir.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘hoaks’ bisa diartikan sebagai ‘berita bohong.’ Sementara dalam Oxford English dictionary, ‘hoax’ didefinisikan sebagai ‘malicious deception’ atau ‘kebohongan yang dibuat dengan tujuan jahat’.
Roslina Verauli selaku psikolog menerangkan apa saja bahaya hoax. Dalam akun Instagram miliknya bahwa berita hoax ini umumnya dilakukan dengan beberapa tujuan. Apa saja?
1. Memperoleh keuntungan finansial dengan pembohongan yang dilakukan
2. Mendiskreditkan atau menjatuhkan seseorang atau kelompok tertentu
3. Sekadar untuk bersenang-senang kerena telah mengelabui atau membodohi orang lain
4. Mencari perhatian
5. ‘Memenuhi’ kepercayaan atau prejudice akan sesuatu masyarakat
“Hoax ini merupakan eksploitasi terhadap sisi psikologis manusia yang bisa menimbulkan keresahan, kecemasan, hilangnya hormat pada tokoh otoritas, bahkan dapat memicu pertikaian dan perpecahan.”
“Maklum, dalam berita hoax yang termasuk kategori pembohongan, emosi, manusia ‘dijadikan obyek bahkan alat’ untuk memicu reaksi tertentu. Sehingga memengaruhi orang lain untuk melakukan hal-hal bodoh karena perasaan ingin membantu, bahkan takut dan turut terpicu. Tak heran teknik “social engineering” seperti penggunaan hoax untuk kepentingan tertentu sering kali sukses,” paparnya.
Bahaya hoax, untuk diri sendiri, masa depan anak dan masyarakat luas.
Penting untuk disadari bahwa bahwa bahaya hoax ini tak ubahnya seperti narkotika. Hal ini disampaikan oleh akademisi Komarudin Hidayat mengatakan momok dari penyebaran berita bohong atau hoax tak ubahnya seperti peredaran narkotik dan pornografi.
Jika dibiarkan terus menerus, ia mengatakan bahwa bahaya hoax ini bisa merugikan masyarakat. Hal ini tertuang dalam kominfo.go.id.
Bahkan katanya lagi, bahaya hoax yang tidak kalah mengerikan adalah menyebabkan pembunuhan karakter karena merupakan manipulasi, kecurangan, dan bisa menjatuhkan orang lain. “Kalau kritik silakan, tapi kalau hoax saya anti,” ujarnya.
Mantan rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta itu menambahkan, hoax merupakan tindakan kriminal di wilayah cyber. Hoax disebut hadir dari sikap mental yang mengesampingkan integritas, terutama hoax yang muncul mengatasnamakan agama.
Oleh karena itu, penting bagi kita sebagai orangtua untuk mencegah dan melatih anak-anak untuk tidak mudah percaya dan menghindari berita hoax. Apa yang bisa dilakukan?
1. Menjadi contoh bagi anak
Children see children do. Parents tentu selalu ingat hal ini bukan? Biar bagaimana pun anak merupakan foto kopi dari orangtuanya. Oleh karena itu, salah satu cara terbaik untuk mengajarkan anak-anak menghindari berita hoax tentu saja dengan menjadi contoh yang konkret.
Bukankah sebagai orangtua, kita adalah contoh paling dekat yang dilihat anak kemudian akan mereka tiru?
2. Tanamkan gemar membaca di rumah
Tidak bisa dipungkiri, bahwa sampai saat ini masih banyak orang yang hanya membaca sebuah judul dalam sebuah berita tanpa mempedulikan isi berita.
Padahal, tidak sedikit media yang membuat judul bombastis atau provokatif untuk memancing orang untuk membaca, padahal isi beritanya tidak sama sesuai.
Untuk itu, salah satu cara untuk melatih anak terhindar daru bahaya hoax adalah dengan menanamkan pada diri mereka untuk gemar membaca dan melek literasi. Di mana hal ini tentu saja perlu dimulai dari lingkungan keluarga lebih dulu, kemudian sekolah dan masyarakat luas.
3. Latih anak untuk bijak menggunakan sosial media
Tidak bisa dipungkiri, era digital seperti ini semakin memudahkan untuk mendapatkan informasi. Salah satunya tentu saja dengan arus informasi yang didapatkan lewat sosial media.
Tidak mengherankan jika banyak anak, khususnya yang sudah memasuki masa remaja dan memiliki ponsel pribadi akan percaya dengan informasi yang didapatkan dari sosial media. Faktanya, berita hoax ini justru banyak tersebar di ranah media sosial.
Untuk itu sedini mungkin, latih anak untuk lebih bijak menggunakan sosial media. Misalnya, latih anak bahwa sosial media bukan buku diary, sehingga ia bebas memposting segala sesuatu. Terlebih jika mengingat adanya jejak digital yang akan sulit dihapus sampai kapan juga.
4. Latih anak untuk lebih kritis saat menerima informasi
“Kalau dengar cerita dari orang lain, jangan mudah percaya. Cek dulu, benar atau tidak….”
Kalimat ini sering saya katakan pada anak saya. Tujuannya tidak lain untuk melatih anak saya agar tidak mudah percaya dengan apa yang dikatakan orang lain. Jika mendapat informasi, cari tahu lebih dulu apakah memangberita tersebut benar, penting atau malah sebaliknya?
Jika informasi yang didapatnya justru hanya membuatnya takut, resah, khawatir, ya, untuk apa?
Tak ada salahnya juga untuk melatih anak-anak untuk mengenali situs berita yang sah dan cermat mengenali konten-konten dengan kualitas yang tidak baik.
Baca juga:
Waspadai Hoax Game Bunuh Diri "Blue Whale Challenge" yang Bikin Panik Orangtua
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.