Zaman sudah maju dan berkembang, tapi nyatanya masih banyak yang memandang sepele perempuan yang akhirnya memutuskan menjadi jadi full time mom. Terlebih, setelah menyelesaikan pendidikan tinggi.
“Lulusan universitas terkenal kok cuma ngurus anak di rumah?”
“Udah banyak lho biaya buat kuliah tapi kok cuma mentok di rumah. Nggak sayang tuh?”
Sounds familiar, huh? Ya, setidaknya iya buatku.
Walaupun bukan orang terdekatku yang bicara, tapi sempat jadi beban pikiran di awal-awal ketika menjadi full time mom atau ibu rumah tangga.
Risiko Perempuan yang Memutuskan Jadi Full Time Mom
Kalau di lingkungan perkotaan seperti di rumahku sini sih tidak ada ungkapan seperti itu, karena rata-rata para ibu di sini banyak jadi ibu rumah tangga. Mereka pun tampaknya sudah punya kesibukan masing-masing sehingga tidak terlalu sibuk dengan urusan orang lain.
Berbeda dengan kampung halamanku. Ketika sedang pulang ke kampung halaman, bertemu keluarga besar, atau bertemu teman-teman sekolah dulu, maka masih ada pandangan sebelah mata atau mungkin kasihan kepada perempuan yang memilih menjadi ibu rumah tangga.
Miliki Pandangan yang Berbeda Suatu Hal yang Wajar
Aku pikir sih itu adalah salah satu risiko yang harus kuhadapi ketika memutuskan untuk tidak bekerja. Aku pun menganggap bahwa reaksi mereka adalah sesuatu yang wajar.
Kenapa wajar? Karena aku pada dasarnya adalah anak kampung yang pernah diberikan kesempatan kuliah di universitas bergengsi.
Besar sekali harapan banyak orang akan statusku tersebut karena memang tidak banyak anak-anak di kampung yang bisa melanjutkan sekolahnya hingga ke perguruan tinggi. Apalagi sampai bisa masuk universitas ternama di Indonesia dan alhamdulillah aku termasuk yang diberikan kesempatan mengenyam pendidikan tinggi di universitas tersebut.
Tentu fakta itu adalah sebuah kebanggaan bagi keluarga besarku. Apalagi aku adalah satu-satunya anggota keluarga yang berhasil masuk ke sana. Mungkin orang tua dan saudaraku sudah terlanjur berharap akan masa depanku yang cerah gemilang.
Apalagi ketiga saudaraku yang lain juga bekerja. Ada yang jadi perawat, ada yang jadi jaksa dan ada pula yang bekerja sebagai pegawai BUMN. Semua saudara-saudariku bekerja, kecuali aku.
Orang tuaku sebenarnya tidak menuntutku harus bekerja, terutama setelah aku punya anak. Walaupun aku sadar bahwa di dalam hati kecil mereka tersimpan harapan agar suatu saat aku bisa menjadi PNS atau berkarier seperti mereka dahulu.
Aku tahu mungkin ada rasa kecewa di hati mereka dan aku pun tidak menyalahkan perasaan itu karena aku tahu mereka hanya berharap aku bisa sukses dengan kehidupanku.
Jadi Full Time Mom, Keputusan Terbaik untuk Keluargaku
Mungkin jadi masalah, definisi sukses antara diriku dan mereka mungkin berbeda. Dan kalau sudah begitu bagaimana bisa menyamakannya?
Apakah aku harus memaksakan diri untuk mengikuti harapan dan keinginan keluarga sementara aku sendiri berada pada kondisi tidak bisa memilih?
Aku tahu mungkin bagi orang terdekatku itu bukan pilihan yang mereka harapkan. Dan aku pun tidak berharap harus memuaskan keinginan orang lain. Aku pun tahu bahwa aku tidak sendiri. Banyak sekali perempuan di luar sana yang pada akhirnya memutuskan untuk menjadi seorang ibu rumah tangga.
Bagi sebagian orang lain mungkin akan menganggap menyayangkan semua itu.Tapi bagi kami itu adalah keputusan terbaik yang bisa kami ambil saat ini.
Aku sendiri sadar bahwa tidaklah mudah menjalani semua rutinitas sebagai seorang ibu rumah tangga. Ada kalanya pikiran untuk kembali bekerja membayangi hati, apalagi ketika perasaan mulai jenuh dan lelah dengan segala rutinitas yang ada.
Ada kalanya perasaan menyesal juga kerap kali singgah ketika pikiran sudah overload dengan kondisi sehari-hari di rumah.
Kadang muncul pula perasaan iri dan sering membandingkan diri ketika melihat kehidupan orang lain yang aku rasa lebih sukes. Rasanya ingin rasanya bercengkrama dengan teman-teman kantor dan melakukan proyek baru seperti dulu.
Rasanya ingin mengenakan seragam rapih dan bertemu orang-orang baru. Namun setelah memiliki tiga putri kecil seperti sekarang, kok, rasanya aku nggak yakin ya bisa sanggup menjalani semua itu seperti dulu? Bangun pagi-pagi, berjubel di kereta dan pulang setelah petang.
Terbayang lagi dalam pikiranku, ketika aku mendengar ada suara mungil dari balik pintu yang terus mencariku setiap pagi. Suara yang akan berubah menjadi tangisan pilu ketika ia tahu kalau aku pergi meninggalkannya. Rasanya kok, tak sanggup ya merasakan itu semua.
Seperti yang kukatakan, menjadi seorang ibu rumah tangga tidaklah mudah. Tapi aku memilih untuk memilih menjalani profesi yang tidak mudah ini, meski orang lain mungkin akan memandang rendah pada ‘profesi’ yang kujalani saat ini.
Aku harus mulai memahami bahwa kebahagiaanku pada akhirnya tak bisa diukur dengan pencapaian yang diperoleh orang lain. Apalagi harus menyamakan diri dengan standar kesuksesan orang lain. Kebahagiaan dan ketenanganku saat ini adalah ketika aku bisa membersamai anak-anak ketika suami sedang bekerja.
Setiap Keputusan Ada Konsekwensinya
Mungkin, suatu saat aku akan bekerja. Mungkin suatu saat aku akan mencoba mewujudkan harapan keluarga besarku yang tertunda, tapi mungkin tidak untuk hari ini. Tidak di saat binar-binar mata mungil itu masih mencariku setiap mereka bangun pagi.
Mengambil keputusan jadi full time mom memang tidak mudah, karena pada dasarnya aku juga sebenarnya masih punya keinginan bekerja seperti dulu. Tapi saat ini, aku berusaha untuk selalu mensyukuri dan tidak menyesali apa yang sudah kupilih. Semua sudah jadi risiko yang harus kujalani.
Untuk para wanita hebat, terutama para ibu yang memutuskan menjadi ibu rumah tangga ataupun wanita yang memutuskan bekerja. Kita sama-sama membuat pilihan dengan segala resiko dan pengorbanannya. Pasti tidaklah mudah untuk berani menentukan pilihanmu sendiri.
Tidak mudah untuk berlawanan arah dengan harapan orang-orang yang juga kita sayangi. Tidak mudah untuk kadang menurunkan ambisi dan mimpi. Tapi yakinlah, naluri kita sebagai seorang ibu akan menuntun kita untuk menentukan keputusan terbaik bagi diri kita dan bagi orang-orang disekeliling kita.
Tetaplah ikhlas dan berdoa semoga kita diberikan kemudahan untuk menempuh takdir terbaik, agar kelak kita tetap bisa menjalani peran sebagai isteri, ibu dan manusia yang memberikan manfaat kepada orang lain. Tetaplah berdoa agar kelak kita tetap diberikan jalan untuk mewujudkan harapan dan mimpi yang tertunda.
Tetap semangat untuk kita semua. Apapun pilihan yang kita tempuh, kita pasti punya tujuan yang sama, yaitu sama-sama ingin memberikan yang terbaik untuk keluarga.
“If people are disappointed in me, that’s their choice. I live my life the way i want, not the way someone else wants me to.” -anonymous-
*Ditulis oleh Wenti Indrianita, Member VIPP theAsianparent ID
Artikel Lain yang Ditulis Member VIPP theAsianparent ID
Pengalaman Menjalani Kehamilan dengan Diabetes Gestasional
Dari Anakku, Aku Belajar Banyak Hal
"Dinyatakan Hamil Kedua Saat Anak Pertamaku Didiagnosis Leukemia"
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.