Ada Apa dengan Janda? Stigma Negatif selalu Mengikuti Meski Diam Saja

Jika seorang duda sering mendapat sebutan sebagai “duda keren” yang bermakna positif, mengapa sebutan untuk janda lebih sering berkonotasi negatif. Ada apa dengan janda?

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Istilah janda sepertinya sudah tidak asing lagi di telinga. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata ‘janda’ memiliki makna perempuan yang tidak bersuami lagi karena bercerai ataupun karena ditinggal mati suaminya. Namun, seringkali status ini mendapat stigma negatif dari masyarakat, ada apa dengan janda?

Sebenarnya memang tidak ada yang salah dengan seorang janda, ya. Entah mereka menjadi janda karena memutuskan untuk bercerai atau ditinggal meninggal oleh suaminya, seharusnya hal tersebut tidak membuat seorang perempuan dipandang sebelah mata.

Namun, kenyataannya tidak seperti itu.

Seorang janda penuh dengan stigma negatif

Saya memiliki seorang teman yang ditinggal meninggal suaminya, saat anak pertamanya baru berusia beberapa bulan. Dia bercerita, hal yang paling sulit menjadi seorang janda bukan hanya harus membesarkan anak sendirian, tetapi lingkungan sekitar.

Beberapa kali teman saya ini mendengar dirinya digunjingkan oleh tetangga karena ditinggal meninggal suami di usia muda. Bahkan, ada beberapa teman laki-lakinya yang membatasi pertemuan dengan dirinya—atau paling tidak, tidak bertemu hanya berdua—karena tidak mau istrinya marah suaminya bertemu dengan janda. Padahal, itu dilakukan saat bekerja!

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Psikolog klinis anak, dewasa, dan keluarga Roslina Verauli, M.Psi.,Psi, menuliskan sebuah unggahan di Instagram pribadinya, dengan judul Ada apa dengan status JANDA? pada 31 Maret 2022 lalu.

“Menyandang status janda merupakan pengalaman negatif akut bagi yang mengalaminya. Terutama di negara berkembang. [...] Mereka sendirian dalam menghadapi berbagai masalah ekonomi, sosial, dan psikologis, antara lain; dituntut untuk mampu menafkahi diri dan anak-anaknya, menghadapi buruknya stigma sosial, kehilangan relasi dan dukungan keluarga, hilangnya perasaan diri berharga, bahkan perasaan ketakutan untuk hidup seorang diri,” tulisnya.

Jadi, apa yang dirasakan teman saya memang valid: Seorang janda penuh dengan stigma negatif, yang seharusnya tidak diterima olehnya.

Ada apa dengan janda? Seharusnya mereka merasa bangga

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Dilansir dari laman JawaPos.com, politisi dan pemerhati isu pemberdayaan perempuan Firliana Purwanti mengatakan, perempuan yang bercerai karena menjadi korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) atau pernikahan yang toksik, seharusnya merasa bangga. Menurutnya, janda cerai seperti itu sama terhormatnya seperti janda yang ditinggal meninggal suaminya.

“Justru para janda cerai harus memberikan apresiasi kepada diri mereka sendiri karena berhasil dan berani keluar dari pernikahan toksik atau pernikahan yang kurang menyenangkan,” ujarnya.

Sayangnya, tidak semua perempuan berpikir seperti itu karena dalam banyak kasus KDRT, 70 persen perempuan justru lebih memilih kembali ke pasangannya yang toksik karena takut menjadi janda dan mendapatkan stigma negatif dari masyarakat.

Padahal, janda lebih rentan mengalami masalah kesehatan

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Menurut Roslina dalam status yang ditulisnya di Instagram, perjuangan para janda yang menghadapi berbagai masalah ekonomi, sosial, dan psikologis sangat berat. Tidak heran membuat mereka rentan mengalami depresi, kecemasan, hingga trauma. Semua perasaan tersebut dirasakan selama masa transisi berstatus sebagai janda, bahkan hingga tiga tahun setelahnya.

“Apalagi bila tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi mereka rendah. Mereka rentan menjadi obyek dari eksploitasi sosial budaya. Bahkan jargon ‘janda semakin terdepan’-pun seringkali dimaksudkan dalam konteks negatif, seperti; pelakor yang sukses mengambil suami perempuan lainnya,” tulisnya.

Hal ini bisa membuat seorang perempuan yang memutuskan untuk bercerai dari suaminya karena ingin kehidupan yang lebih baik, justru menghadapi tantangan yang lebih besar karena menjadi janda. Di sinilah kesehatan mentalnya bisa diuji.

Dalam jangka pendek, kesehatan mental yang terganggu bisa menyebabkan emosi yang tidak stabil sehingga mempengaruhi fisiknya, seperti sering merasa lelah, jenuh, dan pusing. Sementara dalam jangka panjang, gangguan kesehatan mental yang tidak diatasi bisa menyebabkan depresi.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Ada apa dengan janda dan apa yang bisa kita lakukan sebagai perempuan?

Mungkin bisa dimulai dengan berpikiran lebih terbuka karena tidak semua janda adalah pelakor alias perebut laki orang. Masih banyak janda di luar sana yang hidup secara terhormat dan mampu membesarkan anak-anaknya dengan baik.

Roslina menulis, sahabatnya bercerita bahwa di luar negeri, para janda di Kanada mendapat dukungan dari pemerintah agar bisa hidup mandiri. Dengan begitu mereka tidak tergoda untuk mengandalkan orang lain, apalagi menjadi perebut suami orang.

Di Indonesia, hal tersebut sepertinya sulit untuk didapatkan. Untuk itu, kita sebagai sesama perempuan harus lebih saling mendukung, khususnya kepada para janda yang mungkin membutuhkan bantuan.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Jadi, ada apa dengan janda? Sebenarnya tidak ada apa-apa, hanya status mereka saja yang berbeda dengan perempuan bersuami atau perempuan lajang. Namun, hal itu tidak berarti seorang janda berbeda dengan perempuan lainnya.

 

Baca juga: 

id.theasianparent.com/hari-janda-internasional

id.theasianparent.com/artis-korea-berstatus-janda

id.theasianparent.com/pria-menafkahi-1000-janda