Para ibu dan ayah baru, biasanya akan mencari nasihat dari orangtua mereka, tentang pola pengasuhan anak yang baik. Bahkan tanpa dimintapun, biasanya mereka mendapatkan saran ini itu dari orang-orang yang lebih dulu memiliki anak.
Akan tetapi, tidak semua pola pengasuhan anak tersebut sesuai untuk diterapkan pada si kecil. Anda harus bisa mengenali karakter anak sendiri, hingga bisa memutuskan pola asuh yang paling tepat untuknya.
Artikel Terkait: Karakter Anak dan Pola Asuh yang Tepat Untuknya
Berikut ini adalah 5 pola pengasuhan anak yang sudah seharusnya Anda tinggalkan.
1. Menyuruh anak menghabiskan makanannya
Orangtua biasanya akan menyuruh anak untuk tidak membuang makanan, sehingga memaksa mereka menghabiskan apa yang ada di piring. Tapi, semua orangtua pasti tahu, bahwa anak-anak bisa sangat rewel saat makan.
Bahkan bisa jadi ia tidak mau makan sama sekali, bukan karena tak suka dengan makanan, atau nakal. Namun memang dirinya sedang tidak ingin makan.
Para ahli menyatakan, memaksa anak untuk menghabiskan makanan di piring, saat si anak tidak mau, maka akan memiliki dampak negatif jangka panjang.
Maryam Jacobsen, seorang ahli diet dan nutrisi keluarga menyatakan, “Praktik seperti ini, akan membuat anak-anak kehilangan kemampuan untuk mengenali sinyal dari tubuhnya, apakah dia lapar atau kenyang.”
Dampaknya, saat mereka dewasa. Mereka tidak bisa lagi mendengarkan intuisi dari tubuhnya soal makanan. Sebuah studi menyatakan, hal ini membuat mereka memiliki risiko lebih tinggi mengalami kelainan pola makan dan obesitas.
Sebuah studi lain menegaskan, membiarkan anak makan sesuai kemauannya berkaitan dengan penurunan risiko anak akan mengalami kelainan pola makan. Hal ini juga bisa membuat anak makan dengan lebih sehat.
Artikel Terkait: Awas, Anak Bisa Kena Gangguan Pola Makan! Cegah Sedini Mungkin
2. Tidak memuji anak
Seringkali, orangtua enggan memuji anak karena takut akan membuat anak menjadi sombong atas pencapaiannya. Akan tetapi, pujian adalah hal penting yang dibutuhkan oleh anak.
Anak berjuang memahami dunia di sekelilingnya setiap hari, belajar di sekolah, dan belajar menjadi anggota dari masyarakat yang baik melalui teman sebayanya. Upaya ini seharusnya bisa dihargai melalui pujian.
Melupakan pujian, dan hanya memarahi anak saat dia berbuat salah. Adalah tindakan kontraproduktif, yang bisa menghalangi kemampuan anak untuk membangun motivasi diri.
Artikel Terkait: Pujian untuk Memotivasi Anak
Sebuah studi yang dilakukan di Universitas Columbia menyatakan, bahwa orangtua seharusnya memuji usaha anak, bukan kepintarannya. Bila orangtua hanya memuji kepintarannya, anak akan membentuk perilaku pengecut, seperti menghindar dari risiko karena takut kepintarannya dipertanyakan.
Sedangkan, jika orangtua memuji usaha yang telah dilakukan anak, entah apakah dia sukses atau gagal, maka akan meningkatkan motivasi anak untuk berusaha lebih keras menghadapi segala tantangan.
Memuji anak atas usaha keras yang ia lakukan, juga merupakan bentuk dari pembelajaran orangtua, mengenai nilai yang benar dalam kehidupan untuk sukses. Bahwa hasil yang baik didapat dari usaha tanpa kenal lelah.
Artikel Terkait: Penelitian, Cara Orangtua Memuji Pengaruhi Pola Pikir Anak
3. Tidak berbicara tentang kematian
Pola pengasuhan anak pada jaman dulu, biasanya menganggap bahwa berbicara tentang kematian pada anak adalah hal yang tabu. Orangtua juga merasa cemas jika anak akan merasa takut saat bicara soal kematian, jadi sebisa mungkin mereka menghindarinya.
Para ahli parenting menyatakan, memberitahu anak fakta tentang kematian, bisa menghindari kesulitan anak di masa depan. Saat dia harus menghadapi kenyataan tentang kematian.
Berbicara secara terbuka tentang kematian, membuat anak siap untuk menghadapi trauma yang bisa muncul akibat duka mendalam karena kematian. Mereka akan lebih memahami esensi dari kematian, dan bisa dengan lebih tenang menghadapinya.
Jadi, mulai sekarang hindari menggunakan kiasan atau perumpamaan, saat anak bertanya soal kematian. Namun berusahalah tetap menggunakan bahasa sederhana, yang bisa dimengerti oleh anak saat membicarakan hal ini.
4. Tidak berbicara soal seks
Bagi orang Indonesia, yang menjunjung tinggi adat ketimuran. Obrolan tentang semua hal yang berkaitan dengan seksualitas adalah sesuatu yang tabu. Apalagi di depan anak.
Persoalan moral dan etika, serta norma masyarakat yang begitu kental dengan unsur agama, semakin membuat pembicaraan mengenai seksualitas disembunyikan.
Artikel Terkait: Bagaimana Pendidikan Seks dalam Agama Islam?
Menurut lembaga Kesehatan Singapura, anak-anak yang merasa nyaman berbicara tentang seksualitas dengan orangtuanya, memiliki kecenderungan lebih rendah terlibat dalam hubungan seksual yang berisiko.
Menyembunyikan persoalan seksualitas dari anak, justru akan membuat anak menjadi lebih penasaran. Dan akhirnya terlibat pada seks bebas yang berbahaya. Bahkan, mereka juga menjadi lebih rentan menjadi korban dari predator seksual.
Artikel Terkait: Panduan Pendidikan Seks Bagi Anak Dari UNICEF dan WHO
5. Ajaran untuk selalu patuh dan segan pada orang yang lebih tua
Kepatuhan, dan rasa hormat kepada orang yang lebih tua. Adalah ajaran moral yang ditanamkan sejak dini pada anak-anak, sebagai sopan santun yang berlaku di masyarakat.
Akan tetapi, menyuruh anak untuk patuh sepenuhnya dan tidak pernah membantah juga bukan hal yang baik. Karena anak jadi tidak bisa membela diri, saat anak yang lebih tua, atau orangtua dari temannya memperlakukan dia secara tidak adil.
Oleh sebab itu, ajaran untuk menghormati orangtua, juga harus disertai dengan didikan untuk bisa membela diri jika si anak merasa dirinya dianiaya. Ini juga bisa menghindari anak menjadi korban bullying.
Anak yang terlalu patuh, juga akan lebih rentan menjadi korban penculikan atau pelecehan, karena dia tidak biasa berkata tidak pada orang yang lebih tua. Sebab itu, ajari anak untuk berani bilang tidak, jika ia merasa apa yang disuruh tidak sesuai dengan ajaran baik yang diterimanya.
***
Semoga bermanfaat ya, Parents.
Baca juga:
Penelitian: Pola Pengasuhan Orangtua Pengaruhi Kesehatan Fisik Anak