Tak semua istri memahami bahwa kekerasan dalam rumah tangga tak hanya dalam bentuk fisik, tapi juga dalam bentuk kekerasan verbal (ucapan) dan mental. Jika istri yang alami kekerasan fisik saja sering sulit meminta perlindungan hukum, maka kekerasan verbal dan mental akan jauh lebih sulit lagi.
Kata-kata juga bisa menimbulkan sakit seperti halnya pukulan fisik. Bahkan, pada beberapa orang tekanan batin itu terasa lebih berat dari kekerasan fisik.
Namun, tak semua istri memahami bahwa dirinya adalah korban kekerasan verbal suami. Karena biasanya, suami membuat istrinya merasa menjadi orang yang sangat buruk dan pantas untuk dibenci.
Berikut 5 hal yang wajib Anda ketahui sebagi tanda terjadinya kekerasan verbal:
1. Luka yang ditinggalkan bisa lebih dalam dari kekerasan fisik
Pada kekerasan verbal, anggota tubuh memang tak rusak dari luar, namun, justru dari dalam. Tekanan psikologis akan membuat Anda mudah sakit secara fisik dan menguras energi positif dalam diri Anda.
Seorang peneliti bernama Ethan Kross melakukan penelitian kepada 40 orang. Mereka diminta melihat foto mantan dan mengingat kembali bagaimana rasanya ditolak, tak dicintai, maupun dicaci maki.
Dari pemindaian pada MRI menunjukkan bahwa otak bereaksi sama dengan kekerasan fisik. Sehingga peneliti berpikir bahwa barangkali, kosa kata “sakit hati” itu bukanlah metafora belaka.
2. Pada anak, efek yang ditimbulkan oleh kekerasan verbal jauh lebih membekas daripada cinta
Penelitian menunjukkan, anak yang hidup dalam rumah tangga yang alami kekerasan verbal akan dapat mengingat dengan baik hal itu sekalipun ia mendapat curahan kasih sayang dari yang lainnya.
Banyak ibu berpikir bahwa lebih baik dia yang dibentak-bentak, daripada anak yang harus kena omel. Padahal, perilaku ayah yang lakukan kekerasan verbal pada ibu akan lebih dapat membekas dalam ingatan daripada kasih sayang dari ibu yang sangat melimpah pada anak.
Mengalami situasi tersebut, otak anak akan bereaksi dengan adanya brain injury atau yang biasa disebut dengan kecelakaan otak. Ini akan menimbulkan efek trauma jangka panjang dan rasa depresi yang sulit disembuhkan.
3. Luka yang ditimbulkan oleh kekerasan verbal berdampak lebih panjang
Pada kekerasan fisik, luka memar akan dapat sembuh dengan sendirinya, tapi luka hati tak dapat sembuh dengan mudah. Butuh waktu panjang agar seseorang dapat bangkit dari tekanan emosionalnya.
Masalahnya, mental yang dijatuhkan bertubi-tubi akan membuat korban memercayai bahwa ia memang seburuk itu. Sehingga ia akan menjalani hidupnya tanpa kepercayaan diri sama sekali yang akan mengikis energi positif untuk terus melangkah ke depan.
Rasa depresi, putus asa, kesedihan berlarut-larut akan membunuh seseorang perlahan-lahan. Setiap saat, kesepian yang mencekam dan ketakutan karena lakukan kesalahan terus terjadi.
Ini akan berdampak pada kinerja jantung dan respon otak yang perlahan-lahan akan mengundang datangnya berbagai penyakit. Maka tak heran jika korban kekerasan verbal akan mudah sakit.
4. Gagal mencintai diri sendiri
Kekerasan verbal akan membuat Anda tidak mencintai diri sendiri. Akibatnya, Anda akan berhenti untuk melakukan aktivitas yang berhubungan dengan menjaga kesehatan dan kecantikan diri sendri.
Anda meyakini bahwa Anda adalah perempuan jelek, malas, tak becus, buruk, dan apa yang suami lakukan pada Anda adalah hukuman yang patut Anda dapatkan.
Keciutan mental ini akan membuat Anda sulit menyadari bahwa suami lah yang membuat Anda seperti itu. Walaupun sebenarnya Anda adalah seseorang yang baik-baik saja.
Anda mengalami kekerasan verbal apabila sampai dipanggil dengan sebutan tak layak, dipaksa, dimanipulasi dengan berbagai kebohongan, dibodoh-bodohi, dipermalukan, diintimidasi, diancam, dan dicari-cari terus kesalahannya.
Karena terjadi setiap hari, bahkan Anda sampai tak tahu mengapa rasa nelangsa terus menerus menghinggapi hati. Sedangkan sulit menjelaskan pada seseorang bahwa Anda mengalami kekerasa verbal karena bekas lukanya yang tak terlihat.
Penting untuk bisa menolong diri sendiri dengan mengakhiri hubungan atau meminta bantuan psikolog maupun penasehat pernikahan untuk dapat terlepas dari hubungan seperti itu.
Menjaga diri sendiri dari kerusakan psikologis internal jauh lebih penting daripada bertahan dalam pernikahan yang menyiksa batin.
Referensi: Healthy Place, Psychology Today, Divorce Support
Baca juga:
Kisah Pilu Seorang Istri yang Alami KDRT dari Suaminya
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.