Bermain smartphone bersama anak lebih menyenangkan daripada bermain smartphone sendiri.
Bermain smartphone sambil mengasuh anak, baik di rumah, di taman atau restoran, bukanlah sesuatu yang aneh dan telah dianggap sebagai sebuah kewajaran oleh orangtua masa kini.
Entah itu saling bertukar emoticon di aplikasi chatting, nge-tweet atau membalas email, semua aktivitas yang berkaitan dengan smartphone sebenarnya kurang baik karena berpotensi mengganggu perkembangan bahasa anak dan merusak ikatan sosial antara anak dan orangtua.
1. Smartphone dan kecelakaan anak usia dini
Pemakaian smartphone sambil mengasuh anak sedang menjadi sebuah masalah pelik yang dihadapi masyarakat Amerika Serikat belakangan ini. Sejumlah kalangan menilai smartphone telah mengurangi fokus dan perhatian orangtua untuk mengasuh dan menjaga keselamatan anak.
Memang benar bahwa hingga saat ini belum diadakan riset ilmiah yang mengungkap korelasi antara pemakaian perangkat berteknologi canggih dengan meningkatnya jumlah kecelakaan yang dialami anak usia dini.
Namun pihak berwajib, seperti rumah sakit dan kepolisian, membenarkan terjadinya peningkatan jumlah kecelakaan yang dialami anak usia batita ketika mereka bermain di taman dan kolam renang.
Mulai dari terjatuh dari tangga, berkeliaran di jalan raya, bahkan tenggelam di kolam renang dan meninggal. Semua itu diduga sebagai akibat orangtua terlalu sibuk bermain smartphone dan kurang mengawasi anak-anaknya.
Masa sih harus begini?
2. Orangtua sibuk bermain smartphone membuat anak sedih
Bayangkan saja, seorang anak yang sedang BT berat karena nilai ulangannya jelek dan ingin curhat dengan Mamanya sepulang sekolah.
Apa boleh buat, ternyata sang Mama tidak menyambut kepulangannya dengan senyuman dan sapaan, karena beliau sibuk bermain Candy Crush Saga.
Dr. Sherry Turkle, psikolog sosial dari MIT (Massachusets Institute of Technology) mengatakan, anak merasa diabaikan ketika orangtua lebih memilih smartphone-nya daripada dia.
Tingkat sensitivitas perasaan anak memang berbeda-beda, namun mereka tetap merasakan ketiadaan hubungan emosional dengan orangtuanya, meski mereka bukan tipe anak perasa.
3. Menggangu perkembangan emosi dan bahasa anak
Demikian juga kecakapan bahasa anak tidak akan berkembang manakala orangtuanya jarang mengajaknya berbicara, dan hanya memperhatikan kebutuhan fisik anak seperti makan dan minum.
Karena jarang berbicara, maka anak akan kesulitan mengungkapkan perasaannya dan cenderung memendam kesedihan atau kekecewaan yang ia rasakan.
Anak dengan tipikal semacam ini berpeluang mengalami ledakan emosi dengan perilaku destruktif, merasakan kecemasan berlebihan dan mudah mengalami depresi ketika ia telah dewasa.
Teknologi yang kita gunakan untuk memudahkan hidup sehari-hari ternyata membawa dampak yang tidak sepele pada anak-anak yang sedang kita besarkan sebagai bagian dari generasi mendatang.
Oleh karena itu, Ayah, Ibu, batasilah penggunaan telepon pintar Anda ketika Anda sedang bersama anak-anak dan jangan balas pesan singkat apapun, kecuali benar-benar penting atau menyangkut pekerjaan.
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.