Saat ini, Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta sudah ‘disulap’ menjadi rumah sakit darurat untuk merawat pasien dalam pengawasan (PDP), dan pasien positif Corona. Memiliki kapasitas maksimum 3000 pasien, Wisma Atlet Kemayoran bertransformasi menjadi RS Darurat hanya dalam 4 hari saja. Seperti apa rasanya dirawat di Wisma Atlet?
Salah satu pasien bernama Ralia, menceritakan pengalamannya selama dirawat di Wisma Atlet Kemayoran kepada theAsianparent. Bagaimana kisahnya?
Awal mula merasakan gejala virus korona
Seperti yang kita ketahui sebelumnya, ciri-ciri awal virus korona adalah batuk-batuk, demam, dan sesak napas. Namun, gejala tersebut bisa dirasakan berbeda pada setiap individunya. Sistem imun dan ketahanan tubuh setiap orang juga berbeda-beda sehingga gejala yang dirasakan juga tidak akan sama. Begitu pun dengan Ralia.
Artikel terkait: Sering tak terdeteksi, ini gejala Corona hari ke-1 sampai ke-17, wajib tahu!
“Gejala awal yang saya rasakan adalah batuk ringan dan badan mulai hangat. Memang saya punya penyakit amandel yang kadang suka kambuh, tapi biasanya tidak sampai membuat badan tidak enak seperti ini.
Awal bulan Maret itu, situasi belum seperti sekarang. Orang-orang masih bebas lalu lalang menggunakan kendaraan umum seperti MRT atau Transjakarta. Kasus pasien Corona pertama yang di Depok serasa jauh sekali dan rasanya tidak mungkin terjadi kepada saya”, ungkapnya.
Pada Ralia, gejala awal yang dirasakan adalah batuk dan suhu badan yang tidak kunjung turun. Setelah memeriksakan diri di rumah sakit swasta dan melakukan beberapa tes standar seperti tes darah dan tes thorax, diketahui ada beberapa hal yang tidak normal dan dikategorikan sebagai gejala infeksi Covid-19. Kondisi itu membuatnya ‘flashback’ dan mengingat-ingat bagaimana ia bisa tertular.
“Beberapa waktu yang lalu itu saya memang sedang banyak kegiatan. Mungkin juga imunitas dan daya tahan tubuh menurun. Saya sempat berbelanja ke salah satu supermarket internasional dan mengobrol dengan orang asing di sana. Saya tidak mengenakan masker, beliau juga tidak. Mungkin tertular pada saat itu.
Tidak menutup juga kemungkinan bahwa saya tertular dari teman yang membuka jastip (jasa titipan) barang-barang dari Jepang. Tapi tertular dari siapa, tidak menjadi masalah sekarang. Yang penting adalah bagaimana kita bisa sembuh dan menjalani perawatan.”
“Setelah mendapat status PDP (Pasien dalam Pengawasan) Corona, saya pun dirujuk untuk dikarantina di Wisma Atlet.”
Dirawat di Wisma Atlet karena Corona saat awal dibuka
Sumber: suara.com
Karena persiapan yang serba dadakan, tentunya fasilitas yang disediakan Wisma Atlet di awal masih belum optimal.
Pada awalnya, fungsi utama wisma atlet adalah tempat singgah, sehingga alih fungsinya menjadi RS pun diperlukan waktu yang tidak sedikit.
Terbatasnya fasilitas yang disediakan membuat para pasien harus memenuhi sendiri kebutuhannya, seperti pakaian dan alat-alat pribadi. Di Wisma Atlet disediakan pula berbagai peralatan rumah tangga seperti dispenser, kulkas, dan mesin cuci.
“Keluarga saya sangat support, mereka mengirimkan pakaian pribadi saya karena memang di Wisma Atlet tidak disediakan pakaian khusus seperti di rumah sakit. Saya juga mendapatkan kiriman barang-barang pribadi seperti gelas kertas yang bisa dibuang setelah dipakai agar virusnya tidak menyebar kemana-mana”, ceritanya.
“Karena terbatasnya tenaga kerja di Wisma Atlet pasca dijadikan tempat isolasi Corona, tenaga pembersih atau office boy tidak dapat datang setiap harinya. Ya, memang harus membersihkan ruangan sendiri. Siapa sih yang mau kerja di tempat isolasi seperti ini? Taruhannya nyawa. Tapi dengan membersihkan kamar sendiri seperti ini juga badan jadi banyak bergerak. Mudah-mudahan membantu juga untuk cepat sembuh.”
Namun seiring dengan berjalannya waktu, menurut Ralia, kondisi Wisma Atlet saat ini sudah lebih baik dengan fasilitas yang lebih lengkap. Hal ini tidak lepas juga dari peran masyarakat yang saling bahu membahu membantu mengirimkan donasi, menjadi tenaga relawan, dan lain sebagainya.
“Kadang banyak netizen yang bicara di media sosial kalau pemerintah tidak bisa memberikan yang terbaik untuk rakyatnya dalam penanganan Covid-19 ini, tapi semua kan butuh waktu dan proses. Masyarakat cukup menggunakan fasilitas yang ada dengan sebaik-baiknya, toh nanti akan bagus juga dengan seiring waktu,” tuturnya.
Melewati masa kritis sendirian
Keadaan pasien Corona di Wisma Atlet tentunya terisolir. Berbeda dengan rumah sakit biasa, tidak ada jam besuk atau penunggu pasien sehingga kondisi pasien benar-benar sendirian. Komunikasi dengan dokter atau suster pun tidak bisa menggunakan bel melainkan hanya via telepon.
“Waktu kritis itu saya demam selama 3 hari, suhunya naik turun sedikit-sedikit. Batuk juga jadi lebih parah dan bernapas saja susah. Waktu tiga hari itu saya sempat berpikir, ini kenyataan apa bukan? Karena saking sakitnya saya pun pasrah dan rasanya ingin menyudahi semuanya saja.
Saya melewatinya sendirian. Tidak ada keluarga yang menemani. Satu ruangan juga ditempati pasien lain dengan kondisi sama yang kepayahan juga. Jadi, memang saat itu hanya bisa bergantung pada diri sendiri. Kalau rasa sesaknya sudah tidak tertahankan, harus tahu kapan harus memakai oksigen, harus menghubungi perawat, dan lain-lainnya.”
Bagi Ralia, support keluarga, lingkungan sekitar, dan kontrol diri sangat diperlukan. Meskipun terkendala jarak, komunikasi harus tetap terjalin, bisa melalui whatsapp atau video call.
Memelihara kesehatan mental pasien Corona di Wisma Atlet
Tak jarang, isolasi dapat berdampak banyak pada kesehatan mental. Rasa kesepian dan kekhawatiran menjadi salah satu faktor yang dapat memicu stres yang berakibat pada menurunnya daya tahan tubuh.
Menurutnya, beberapa pasien pengidap Covid-19 di Wisma Atlet juga berada pada tahap denial, di mana pasien tidak ingin dirawat di Wisma Atlet dan ingin pulang.
“Di sini orang pasti sangat rentan terkena stres. Selain berita yang beredar di luaran sana, di sini juga kita bisa melihat secara langsung orang-orang sudah stres. Contohnya, ada yang menangis meraung-raung minta pulang. Itu terdengar, sampai kamar. Ada juga yang mengamuk dan mengigit APD perawat sampai sobek.
Padahal kan kita tahu APD itu jumlahnya terbatas. Malah sampai harus mencari donasi bantuan kesana-kemari. Kalau perawat dan dokter itu sampai sakit, nanti siapa yang akan akan mengobati pasien?”
Memelihara kesehatan mental, ungkap Ralia, adalah salah satu cara agar pasien bisa cepat sembuh dari penyakitnya. Di tengah-tengah kondisi yang chaos, salah satu hal yang bisa dilakukan adalah berusaha tetap positive thinking dan fokus pada pemulihan diri sendiri.
“Saya sampai unistall Instagram supaya tidak dengar berita-berita menakutkan yang bisa membuat kepanikan berlebihan.”
Hanya bisa melambaikan tangan dari jauh
Wisma Atlet dibagi menjadi beberapa zona, yaitu zona hijau di mana terdapat Posko Gugus Tugas Penanganan Covid-19, zona kuning tempat ruang dokter dan tenaga paramedis, serta zona merah tempat rawat inap pasien.
Jika ada kejadian darurat atau rujukan darurat dari RS lain untuk kasus Covid-19 ini, call center Wisma Atlet yang berada di zona kuning ini siap untuk membantu.
Dikutip dari akun Instagram Debryna Dewi Lumanauw (@debrynadewi), yaitu salah satu tenaga medis yang bertugas di Wisma Atlet, setiap hendak memasuki satu zona ke yang lainnya, akan ada proses dekontaminasi dengan penyemprotan disinfektan.
Sebagai tindakan preventif lainnya juga dilakukan pengecekan suhu tubuh menggunakan thermometer. Petugas yang bertugas di Wisma Atlet adalah TNI, Polisi, dan petugas lainnya dari berbagai lembaga pemerintah, BUMN, dan profesi-profesi lainnya.
“Karena keluarga tidak boleh masuk, waktu drop barang juga cuma di posko bawah saja (zona hijau). Kelihatan sih, dari jendela kamar. Kalau sudah begitu, saya hubungi lewat whatsapp dan suruh keluarga untuk melihat ke lantai atas, kemudian saya melambaikan tangan dari balik jendela.
Sedih, karena nggak bisa komunikasi langsung. Tapi kan ini risiko yang harus diterima karena sakit, jadi mau tidak mau ya harus puas dengan hanya begini saja,” tuturnya dengan nada sedih.
Ikuti protokol tetap di rumah dan physical distancing
“Alhamdulillah sih, saya sudah dinyatakan negatif Corona dan tinggal menunggu arahan dari dokter saja apakah sudah boleh pulang ke rumah atau belum. Tapi, meskipun sudah pulang juga harus melakukan karantina di rumah selama 14 hari.
Pokoknya selama 14 hari itu juga harus minimalisir kontak dengan keluarga, misalnya tidak pakai alat makan yang sama. Saya juga lebih baik stay di dalam kamar supaya orang lain aman,” katanya.
Tentu senyaman-nyamannya dirawat di Wisma Atlet, tetap lebih nyaman tinggal di rumah sendiri. Oleh karena itu, masyarakat harus disiplin mengikuti protokol untuk tetap di rumah dan menerapkan gaya hidup sehat.
Mereka yang harus tetap bepergian keluar rumah bisa menerapkan physical distancing, yaitu menjaga jarak dengan orang lain. WHO merekomendasikan untuk menjaga jarak lebih dari satu meter dari orang terdekat.
Physical distancing dianjurkan untuk mencegah penyebaran virus yang menular melalui droplets dan dapat menjaga kesehatan diri. Komunikasi antar individu sebaiknya dilakukan melalui media yang lain sehingga tidak terjadi kontak langsung.
Jangan egois
“Menurut saya, kunci untuk memutus rantai penyebaran Covid-19 ini adalah dengan tidak egois. Kita tidak akan pernah tahu riwayat lengkap dari orang-orang yang kita temui. Meskipun tidak bertemu dengan orang sakit, kita juga tidak tahu apakah orang yang kita temui adalah carrier atau bukan.
Misalnya, saya waktu sakit itu memaksakan diri untuk menyetir sendiri ke rumah sakit. Karena kalau saya menggunakan jasa ojek online, saya tidak tahu siapa saja yang pernah naik kendaraan itu. Jadi untuk memastikan semuanya aman, saya naik kendaraan sendiri, tanpa ditemani orang lain. Saya tidak mau menulari orang lain.
Seandainya sudah divonis positif pun, jangan merepotkan orang lain. Jangan meminta untuk pulang dan dirawat di rumah saja karena hal itu bisa membahayakan keluarga di rumah. Bagaimana jika di rumah ada lansia atau anak-anak? Mereka bisa saja tertular dengan mudah dari kita,” sarannya.
Artikel terkait: Lansia mudah tertular corona, cegah dengan 5 cara ini
Menerapkan pola hidup sehat
Selain menjaga jarak dengan orang lain, masyarakat juga harus menerapkan pola hidup sehat yang bisa dimulai dari hal-hal dasar seperti berikut:
- Mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir selama 20 detik atau lebih
- Makan makanan yang bergizi tinggi dan lengkap, terutama buah dan sayur
- Tetap bergerak dan melakukan aktifitas fisik, baik bekerja maupun olahraga
- Tidak merokok
- Tidak mengkonsumsi minuman beralkohol
- Menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal dan sekitarnya.
Semoga wabah virus korona ini cepat berlalu dan kita bisa beraktifitas seperti biasa kembali ya, Parents!
Sumber: Aljazeera, Kemenkes.go.id, CNNIndonesia
Baca juga:
100+ Daftar Rumah sakit rujukan untuk Corona sesuai domisili, catat Parents!