Usia Ibu Hamil dan Sindrom Down, Bagaimana Hubungannya?

Adakah kaitannya antara usia kehamilan ibu pengaruhi risiko down syndrome pada anak yang dikandungnya?

Usia kehamilan ibu pengaruhi risiko down syndrome? Ini beberapa alasan mengapa ibu hamil yang berusia lebih tua lebih mungkin melahirkan bayi dengan Sindrom Down.

Sejak lama, diyakini bahwa ibu hamil yang berusia tua lebih berisiko melahirkan bayi dengan Sindrom Down. Apakah hal ini benar? Bagaimana hubungan yang sebenarnya?

Usia kehamilan ibu pengaruhi risiko down syndrome

Di awal 1900-an, para peneliti memerhatikan bahwa Sindrom Down kerap kali ditemukan pada anak bungsu dari sebuah keluarga besar, yang lahir tak lama sebelum ibunya mengalami menopause. Kala itu, kondisi ini dianggap sebagai tanda bahwa sang ibu telah kehabisan potensi reproduksinya. Beberapa dekade kemudian, seorang dokter anak dari Perancis menemukan hubungan antara Sindrom Down dengan adanya kromosom tambahan pada sel-sel kulit beberapa pasiennya. 

Kini, pengetahuan seputar Sindrom Down sudah lebih banyak dipahami, termasuk kemungkinan apakah kelainan genetik ini diwariskan dalam keluarga dan mengapa usia ibu kala hamil memengaruhi perkembangannya.

Artikel terkait: Bunda, Begini 5 Ciri Janin Sehat Selama Masa Kehamilan!

Trennya, Usia Perempuan Hamil Semakin Menua

Kemajuan zaman, kesetaraan gender, tingkat pendidikan dan karir yang lebih baik membuat semakin banyak wanita di berbagai belahan dunia menunda untuk memiliki keturunan. Hal ini tentu berdampak pada usia wanita kala hamil dan melahirkan untuk pertama kalinya. 

Di Indonesia, tren pergeseran usia melahirkan pertama kali ini juga tampak dari hasil analisis Data Survei Penduduk antar Sensus Badan Pusat Statistik tahun 2015. Didapati bahwa sepanjang empat dekade (1976-2015), usia wanita Indonesia saat melahirkan anak pertama cenderung “menua”. Di tahun 1976-1980, angka tengah (median) wanita Indonesia melahirkan pertama kali adalah pada usia 17. Usia ini naik menjadi 22 tahun pada periode 2006-2010 dan 23 tahun pada periode 2011-2015.

Menuanya usia wanita Indonesia yang hamil dan melahirkan sejalan dengan tren jumlah kasus Sindrom Down yang juga cenderung meningkat. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010, jumlah kasus Sindrom Down pada anak usia 2-5 tahun didapat sebesar 0,12 persen. Di tahun 2018, angka ini meningkat hampir dua kali  menjadi 0,21 persen.

Usia kehamilan ibu pengaruhi risiko down syndrome

Melalui fakta-fakta di atas, secara sederhana kelihatan bahwa angka kejadian Sindrom Down meningkat seiring dengan bertambahnya usia ibu.

Namun sebetulnya, Sindrom Down bisa terjadi pada ibu yang hamil di usia berapapun. Hanya saja, peluang kejadiannya meningkat tajam seiring dengan bertambahnya usia ibu. 

Secara umum, didapati bahwa peluang seorang wanita berusia 25 tahun memiliki bayi dengan Sindrom Down sebesar 1:1.200. Pada usia 35 tahun, risikonya meningkat menjadi 1:350, di usia 40 tahun menjadi 1:100, dan di usia 45 tahun menjadi 1:30.

Sindrom Down Terjadi Akibat Kelainan Kromosom

Kelainan kromosom dialami oleh sekitar 0,3 persen bayi yang lahir hidup. Yang paling umum yakni trisomi 21, yang menyumbangkan sekitar 95 persen kasus Sindrom Down. Bagaimana kelainan kromosom ini bisa terjadi?

Seorang wanita terlahir dengan semua sel telur yang akan dimilikinya sepanjang hidup. Sel-sel ini akan berangsur-angsur berkurang dan menua seiring bertambahnya usia. Saat seorang wanita mencapai usia 40 tahun, 60 persen sel telurnya akan mengandung jumlah kromosom yang tidak normal. Kondisi ini berbeda dengan pria, yang selalu menghasilkan sel sperma baru secara teratur. 

Bila demikian, artinya kelainan kromosom lebih mungkin terjadi pada sel telur wanita yang lebih tua. Mengapa demikian? 

Usia kehamilan ibu pengaruhi risiko down syndrome

Artikel terkait: Mengapa Wajah Anak Down Syndrome Khas, Ini Jawabannya!

Normalnya, setiap orang memiliki 23 pasang kromosom di hampir semua sel tubuh, kecuali sel telur dan sel sperma. Kromosom mengandung DNA, sebuah materi genetik yang menentukan segala sesuatu tentang seseorang. Setiap kromosom dibentuk dari dua untaian DNA.

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, wanita terlahir dengan sel telur yang sudah ada di dalam indung telurnya. Saat lahir, kromosom-kromosom di dalam sel-sel telur tersebut berhenti membelah untuk sementara waktu. Pembelahan akan berlanjut kembali saat ovulasi dan selesai saat sel telur dibuahi oleh sel sperma.

Di fase pembelahan awal, 23 pasang kromosom di dalam sel telur (total 46 kromosom) akan berpisah menjadi 23 kromosom tunggal. Tujuannya agar ketika sel telur dan sel sperma bergabung, keduanya menghasilkan embrio yang masing-masing selnya mengandung 46 kromosom. Dan pada fase pembelahan kedua, masing-masing untaian DNA dari tiap kromosom tunggal tadi akan terpisah. Bagian tengah kromosom berperan penting agar pembelahan ini berlangsung merata.

Setelah pembuahan, pembelahan kromosom yang tidak merata (aneuploidi) dapat menghasilkan embrio dengan satu kromosom lebih sedikit dari biasanya (monosomi) atau lebih banyak (trisomi). Sebuah studi di Bosnia dan Herzegovina tahun 2016 menemukan bahwa risiko aneuploidi ini 16 kali lipat lebih besar pada ibu hamil berusia 40 tahun bila dibandingkan dengan ibu hamil berusia 25 tahun.

Selain trisomi 21, Sindrom Down juga disebabkan oleh translokasi kromosom dan mosaicism. Translokasi kromosom menyumbangkan 4 persen dari seluruh kasus Sindrom Down. Ini berarti ada salinan penuh atau sebagian dari kromosom 21 yang menempel pada kromosom lain. Keberadaan materi tambahan tersebut, meski tidak berupa kromosom yang utuh, sudah cukup untuk menimbulkan ciri khas Sindrom Down. 

Sedangkan mosaicism, yang menyumbangkan 1 persen dari seluruh kasus Sindrom Down, membuat seseorang memiliki campuran sel-sel normal yang mengandung dua salinan kromosom 21 serta beberapa sel yang mengandung tiga salinan kromosom ini. Tipe ini paling sedikit menunjukkan ciri sindrom Down ketimbang tipe lainnya.

Artikel terkait: 10 Jenis Makanan Sehat untuk Ibu Hamil, Sudah Dikonsumsi Belum Bun?

Usia Kehamilan Ibu Pengaruhi Risiko Down Syndrome?

Usia kehamilan ibu pengaruhi risiko down syndrome

Studi terkini pada tikus percobaan memberikan petunjuk mengapa usia ibu berperan penting dalam perkembangan Sindrom Down. Ditemukan bahwa terdapat protein-protein—dinamakan cohesin dan securin—yang membantu menjaga kromosom tetap berikatan di pusatnya. Bila kadarnya rendah, ikatan pasangan kromosom atau rantai kromosom menjadi lebih longgar dan mudah terpisah. Peluang pembelahan kromosom yang tidak merata juga meningkat.

Dari hasil studi, didapati bila jumlah protein dalam sel telur tikus betina yang lebih tua lebih rendah daripada yang usianya lebih muda. Ini menunjukkan bahwa seiring bertambahnya usia sel telur, kadar protein ini juga akan turun.

Dengan demikian, tikus-tikus betina yang berusia lebih tua ini lebih berisiko pula memiliki keturunan dengan jumlah kromosom yang abnormal. Para peneliti kemudian menambahkan jumlah protein securin pada sel-sel telur tikus betina yang lebih tua, dan ditemukan kalau untaian-untaian DNA pada kromosom tetap berdekatan.

Hingga kini, satu-satunya cara untuk menurunkan risiko terjadinya Sindrom Down yakni dengan hamil di usia yang optimal untuk reproduksi, yakni antara 21-35 tahun.

Hasil studi di atas mudah-mudahan bisa mendorong adanya studi-studi lanjutan untuk mengembangkan terapi yang bisa mencegah atau meminimalkan risiko kelainan genetik pada bayi dari wanita hamil yang berusia tua.

Semoga penjelasan kaitan usia kehamilan ibu pengaruhi risiko down syndrome ini bisa bermanfaat.

Baca juga :

Dirayakan 21 Maret, Ini 5 Fakta Hari Down Syndrome Sedunia

 

 

Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.