Pada Senin (23/9/2019) dan Selasa (24/9/2019) lalu, ribuan mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia menggelar aksi unjuk rasa di depan gedung DPR, Senayan, Jakarta untuk menolak RUU KUHP dan menuntut pembatalan revisi UU KPK.
Aksi unjuk rasa berlangsung damai sepanjang pagi hingga sore hari. Namun setelah malam tiba, aksi tiba-tiba berujung bentrok antara massa dan aparat kepolisian.
Menurut Kepala Polisi Resor Metro Jakarta Barat Komisaris Besar Polisi Hengki Haryadi mengatakan aksi unjuk rasa berakhir ricuh disusupi oleh kelompok tertentu.
“Ini yang demo bukan lagi mahasiswa, tetapi perusuh. Ini polanya mirip 22 Mei,” ujarnya, seperti dilansir dari Detik News, Rabu (25/9/2019).
Meskipun tidak dilakukan oleh para mahasiswa. Namun tak dapat dipungkiri bila kericuhan semacam inilah yang menjadi kekhawatiran setiap orangtua dari para mahasiswa yang mengikuti aksi unjuk rasa tersebut.
Hal itu diungkapkan oleh beberapa orangtua para mahasiswa yang telah dan hendak mengikuti aksi unjuk rasa penolakan RUU KUHP dan pembatalan revisi UU KPK lalu.
Artikel terkait: Demo anti rokok #tolakjaditarget 300 pelajar di depan Istana Presiden
Curahan hati para orangtua melihat aksi unjuk rasa para mahasiswa
Sebesar apapun anak tumbuh dan berkembang, kasih sayang orangtua tidak akan penah pudar. Ketika mereka telah masuk ke dalam dunia perkuliahan, rasa khawatir orangtua pada anak-anaknya akan tetap sama besarnya seperti saat mereka pertama kali masuk sekolah dasar.
Tim theAsianparent Indonesia pun mencoba menghubungi beberapa orangtua para mahasiswa yang telah dan hendak mengikuti aksi unjuk rasa penolakan RUU KUHP dan pembatalan revisi UU KPK lalu.
Sebagai orangtua, mereka semua mengaku khawatir bila melihat sang anak mengikuti aksi unjuk rasa dan turun langsung ke jalanan.
Namun di sisi lain, mereka senang karena sang anak peduli dengan permasalahan yang terjadi di negeri ini dan menjalankan kewajibannya untuk mewakili suara rakyat.
Berikut ini beberapa curhatan orangtua yang anaknya ikut unjuk rasa
Tati, ibu dari Arif, mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta.
“Saya mengizinkan anak saya ikut demo karena menurut saya RUU kali ini meresahkan rakyat. Tidak menegakkan keadilan sepenuhnya, makin memiskinkan rakyat yang miskin. DPR yang seharusnya menjadi perwakilan dari semua rakyat dan mendengarkan aspirasi serta masukan para rakyat malah menjadi beban bagi rakyat Indonesia. Namun di sisi lain, sebagai orangtua saya mengkhawatirkan kondisi dan keadaan anak saya juga mahasiswa lainnya yang mengikuti aksi tersebut. Mengkhawatirkan bagaimana para mahasiswa terutama anak saya berlindung pada saat aparat melemparkan gas air mata dan menyiramkan seluruh mahasiswa water canon. Serta melakukan penembakan dan melemparkan petasan. Pada saat ingin berangkat aksi, sebagai salah satu mahasiswa kampus legendaris, raut muka anak saya sangat antusias untuk mengikuti aksi tersebut. Ingin sekali untuk mewakili suara rakyat menegakkan keadilan yang mestinya ada di Indonesia. Mewakili bagaimana resahnya rakyat dengan adanya RUU yang sebagian merugikan rakyat Indonesia. Setelah selesai demo dan sampai rumah, terlihat raut wajah yang sangat puas karena sudah menjalankan kewajibannya untuk mewakili suara rakyat”.
Tamara, ibu dari Timmy, mahasiswa Telkom University, Bandung.
“Jujur saya tidak mengizinkan anak saya untuk ikut demo kemarin. Karena demo zaman sekarang banyak penyusup yang mencari kesempatan untuk memicu kerusuhan. Terbukti beberapa hari ini banyak massa demo yang bukan mahasiswa jadi ikut-ikutan demo tapi bikin rusuh juga. Akhirnya polisi kayak gak bisa bedain yang mana penyusup dan bukan. Jadinya semuanya bisa kena imbasnya mulai dari gas airmata, tembakan peluru karet, bahkan dipukuli. Kan jadinya ngeri. Selain itu, aku nggak izinkan karena Timmy di Bandung dan kita di Jakarta. Kalo beda kota, rasa khawatirnya makin tinggi. Agar dia tidak ikut demo, aku jelaskan soal kekhawatiran di atas. Tapi sebenarnya setelah melihat demo mahasiswa kemarin, rasa khawatir agak berkurang. Karena masih banyak demo yang bisa berjalan damai dan aman. Mungkin aku akan kasih pengertian, selama dia bisa menjaga diri, mawas setiap saat , dan paham apa yang diperjuangkan, aku akan izinin demo”.
Siti Noni Evita, ibu dari Damar, mahasiswa Universitas Padjadjaran, Bandung.
“Saat dia bilang mau demo, saya hanya bilang hati-hati saja. Saya hanya mikir biar dia tahu dan membumi, tau masalah yang ada sekarang. Jangan sampai gak peduli. Dia kirimin saya foto-foto saat demo, ‘Ini mah’ dan dia bilang kena gas air mata. Saya tanya ‘Sakit gak?’ katanya sakit. Yaudah diobati dan dijalani ajalah yang begitu-begitu. Apalagi juga nanti kan kerjaannya dia seperti itu. Rasa khawatir itu pasti ada, namanya juga orangtua. Cuma ya saya berpikir positif ajalah. Saya hanya berpesan dia supaya selalu berhati-hati,”
Beka, ibu dari Bobby, mahasiswa Universitas Padjadjaran, Bandung.
“Awalnya dia tidak cerita apa-apa. Namanya juga mahasiswa, dia merasa sudah dewasa dan bisa mengambil keputusan sendiri. Tapi karena saya tahu kabar demo itu, saya coba tanya ke dia. Dia mengaku mau ikut demo di DPR hari Selasa. Saya sempat ragu dan takut anak saya kenapa-napa. Bagaimana pun, sebagai seorang ibu saya tidak mau anak saya terluka. Tapi ketika saya melihat tekad dia dan dia paham apa yang diperjuangkan. Saya izinkan dia ke Jakarta bersama mahasiswa lainnya. Saya hanya berpesan agar dia tidak terprovokasi. Karena namanya demo, pasti ada saja penyusup yang berusaha memprovokasi dan ingin membuat suasana menjadi ricuh. Selama satu hari itu, saya selalu melihat berita. Saya ingin tahu bagaimana demo berlangsung dan kondisi anak saya. Alhamdulillah tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sepulang demo, saya hubungi lagi dia. Dia hanya mengaku matanya sakit karena gas air mata, dia sedikit kecewa dengan respon yang di dapat, tapi dia puas. Karena saat demo kemarin, dia merasa mahasiswa Indonesia sangat kompak untuk menyelamatkan Indonesia”.
***
Bagaimana dengan Anda, Parents? Apakah akan menyetujui jika anak Anda ikutan demo?