Ada banyak alasan mengapa sebuah pernikahan tidak berjalan mulus sehingga suami meninggalkan istri. Namun, siapa menyangka jika bentuk fisik jadi alasan suami meninggalkan istri.
Kisah suami meninggalkan istri
Rasanya masih seperti kemarin kami menikah. Waktu itu di bulan Juni, di musim panas, saya berusia 22 tahun, sedangkan suami 26 tahun.
Keluarga kami saling mengenal dan itulah alasannya bagi kami untuk menikah dan menghabiskan sisa hidup kami bersama.
Awalnya saya tidak yakin pada pernikahan ini tapi kenyataannya, saya tidak punya pilihan. Tumbuh besar di kota kecil membuat semua gadis seusia saya sering merasakan hal yang sama ketika harus mengambil keputusan.
Jadi, saya menjalani kehidupan ibarat mengikuti air mengalir, dan saya bersemangat menjalani kehidupan baru saya.
Kehidupan awal yang sempurna
Kami pindah ke kota baru, bertemu orang baru, menjalin pertemanan, dan menghabiskan waktu sangat menyenangkan saat bepergian ke sejumlah kota dan negara berdua. Kami bahagia dan begitu pula orangtua kami.
Mertua sangat mencintai saya. Mereka menyukai masakan saya dan merasa bangga karena saya begitu mudah menyesuaikan diri dengan keluarga.
Mereka sering datang untuk meluangkan waktu bersama kami dan saya tidak memiliki masalah dengan hal itu. Saya justru menikmati hari-hari memasak untuk keluarga.
Setelah setahun, saya berpikir untuk melakukan sesuatu untuk diri sendiri. Saya mendapat pekerjaan sebagai guru bahasa Inggris di sebuah lembaga swasta.
Saat mulai bekerja, akhirnya saya menyadari bahwa saya memiliki semua yang saya inginkan. Semua berjalan dengan lancar sehingga saya sering merasa takut ada sesuatu buruk yang akan terjadi.
Anak pertama lahir setelah tiga tahun…
Kemudian setelah tiga tahun menikah, sesuatu yang ajaib terjadi. Anak sulung kami hadir dalam keluarga. Hidup kami makin sempurna.
Saya menjalani kehidupan sebagai ibu dengan sangat bahagia. Suami, orangtua, dan mertua saya juga ikut menyambut kebahagiaan ini.
Seperti yang terjadi pada ibu baru, berat badan saya meningkat setelah melahirkan. Saya tinggal jauh dari orang tua sehingga harus mengurus keluarga sendiri membuat saya tidak punya waktu berolahraga. Tanpa sadar tubuh saya makin gemuk.
Namun terus terang, saya tidak peduli. Saya bukan tipe wanita yang mementingkan penampilan. Bagi saya, kecantikan batin lebih penting.
Oleh karena itu saya tidak peduli ketika berat badan saya makin melonjak. Saya lebih fokus mengurus anak dan suami.
Suami saya, di sisi lain, tidak banyak berubah dan dia terlihat persis seperti pada hari pernikahan kami. Sebenarnya, banyak orang memuji saya saat itu dan mengatakan bahwa saya beruntung memilikinya. Wajah saya bersinar dengan bangga tiap kali mendengar pujian itu.
Berat badan makin meningkat setelah anak kedua lahir …
Anak kedua saya pun lahir dan membuat saya merasa makin dilimpahi kebahagiaan. Namun berat badan saya makin bertambah sehingga saya mulai punya pemikiran negatif tentang penampilan saya.
Tapi, orang-orang di sekitar saya bahagia dan begitu pula suami saya. Saya pun berpikir hal ini bukan masalah penting.
Tidak pernah saya membayangkan bahwa berat badan saya akan menjadi isu yang sangat besar sehingga bisa menghancurkan dunia saya.
Pada awalnya, suami sesekali menyindir soal bentuk tubuh saya. Namun saya tidak terlalu memperhatikannya dan sibuk dengan rutinitas saya sendiri.
Setelah tujuh tahun menikah, ketika anak-anak saya berusia lima dan empat tahun, saya memutuskan untuk kembali bekerja dan menghubungi tempat kursus lagi. Untungnya mereka setuju untuk mempekerjakan saya kembali.
Hidup saya mulai bergerak dengan kecepatan super. Delapan tahun berikutnya bergerak begitu cepat.
Anak-anak saya sibuk dengan sekolah dan saya sibuk di tempat bekerja. Suami juga mengalami stres di tempat kerja dan dia sering terlambat pulang bahkan hingga lewat tengah malam.
Namun, saya pikir tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Kecurigaan itu muncul sebelum suami meninggalkan istri
Tahun 2016, anak sulung saya duduk di kelas 10. Ini adalah tahun yang penting baginya dan oleh karena itu saya memutuskan untuk mengurangi kelas saya sehingga dapat membantunya untuk fokus pada sekolahnya.
Saya akan mengajar dari pukul 2 siang hingga 5 sore. Setelah itu, saya akan langsung menjemputnya dari tempat bimbingan belajarnya.
Artikel terkait: Curahan hati istri kepada suami tentang tanggung jawab mengurus anak
Sementara itu, saya menyadari suami makin sering dapat tugas perjalanan ke luar kota. Saya menanyakan perubahan ini padanya dan dia menjawab bahwa saat semakin tinggi posisi di kantor, tanggung jawabnya juga meningkat.
Dia juga sulit untuk menolak tugas dari kantor. Suami berkata bahwa ia merasa sedih dan kecewa karena tak punya waktu untuk keluarga, saya percaya padanya.
Namun, setelah beberapa bulan, saya melihat hal aneh lainnya. Suami benar-benar berhenti memperhatikan sekolah anak-anak kami meskipun mereka ingin belajar dari ayahnya.
Sebagai lulusan teknik, anak kami sering minta bantuan ayahnya untuk membantunya di pelajaran matematika. Pada awalnya, saya pikir mungkin dia sebenarnya tidak punya waktu, tapi kemudian nilai sekolah anak saya keluar, dan dia hampir tidak lulus karena nilai matematika yang pas-pasan.
Saya sempat marah pada suami tentang hal ini. Saat ia pulang, saya langsung bertanya, “Mengapa kamu tidak bisa membantu Abhyudhay* dengan matematika?
Dia membutuhkan bantuan ayahnya saat ini dan kamu tidak ada. Bukannya mendapatkan bantuan dari ayahnya, dia harus belajar dari guru lesnya. Kenapa kamu tidak bisa membantunya? “
Suami tidak menjawab dan tetap diam sepanjang waktu. Tapi argumen ini menjadi topik sehari-hari. Kami sering bertengkar dan berdebat tentang hal-hal kecil, terutama soal sekolah anak.
Dia akan berteriak, membanting pintu, dan meninggalkan rumah untuk beberapa lama. Setelah itu, ia makin sering pulang terlambat dan makin sering tugas ke luar kota.
Batas kesabaran sudah habis
Perdebatan sebelum suami meninggalkan istri.
Saya frustrasi. Saat saya sangat membutuhkannya, suami tidak ada di sana. Lupakan saya, dia tidak ada untuk anak-anaknya saat mereka sangat membutuhkannya.
Kemudian, pada suatu hari saya memutuskan bahwa cukup sudah!
Ketika dia kembali dari tempat kerja malam itu, saya langsung bertanya padanya, mengapa ia tidak punya waktu untuk keluarganya. Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun untuk beberapa lama tapi ketika saya bertanya berulang kali, dia mengatakan sesuatu yang membuat saya seperti disambar petir.
“Terus terang Sonu*, saya tidak mencintaimu lagi. Lihat saja dirimu sendiri. Kamu dulu sangat cantik saat kita menikah. Tapi kini berat badanmu terus bertambah. Saya merasa malu memanggilmu istriku. Saya tidak menganggapmu menarik lagi!” ujar suami.
Saya tidak percaya apa yang baru saja dia katakan. “Apa yang kamu katakan Shiv!* Bagaimana kamu bisa mengatakan itu! Berat badan saya meningkat karena melahirkan anak-anak kita. Saya merawat mereka, menemani mereka belajar, dan mengurus orangtua kamu saat mereka datang ke sini. Saya tidak pernah punya waktu!” saya membalas kata-katanya.
“Tapi kamu bahkan tidak pernah berusaha!” jawabnya.
“Mengapa kamu tidak memberi tahu saya saat itu? Kamu memberitahu saya sekarang ketika saya berusia 40 tahun. Saya pikir kamu bahagia dengan kehidupan kita, saya pikir kamu bahagia dengan saya. Jadi saya tidak peduli! “kata saya.
“Itulah masalahnya. Kamu tidak peduli. Kamu tidak peduli pada diri sendiri. Kamu tidak peduli dengan penampilan. Kamu tidak peduli meski orang lain bilang kamu gemuk. Kamu tidak dandan seperti wanita lain. Kamu terlihat seperti istri India pada umumnya,” katanya.
Artikel terkait: Istrinya dikatai Gendut, Ini Jawaban Bijak Iko Uwais
Ini rasanya saat suami meninggalkan istri
Mendengar ucapannya, hati saya benar-benar hancur. “Terus terang. Saya adalah istri biasa, ibu yang mengurus keluarga. Apa yang kamu lakukan? Dan, kamu membutuhkan waktu 18 tahun untuk mengatakan semua itu kepada saya! Kenapa kamu tidak mengatakan hal ini saat anak pertama kita lahir? Mengapa kamu tidak mendorong saya untuk menurunkan berat badan? Kenapa sekarang? Kenapa?” tanya saya.
“Saya tidak ingin berdebat denganmu. Saya telah memutuskan bahwa saya tidak dapat tinggal bersama kamu lagi. Saya merasa malu memiliki kamu sebagai istri saya. Dasar perempuan gemuk! Sebenarnya, saya sekarang sudah mengontrak rumah lain. Di sanalah saya tinggal selama ini, bukan tugas keluar kota,” dia menyeringai pada saya, mengambil tas kantornya lalu keluar dari pintu.
Dan saya masih menunggunya untuk kembali …
(* Nama tempat dan orang telah diubah dalam cerita untuk melindungi identitas mereka)
Artikel ini diterjemahkan dari Indusparent.
Baca juga:
Hasil Penelitian: Istri Gemuk Membuat Suami Lebih Bahagia 10 Kali Lipat
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.