Meski semua orang tahu bahayanya rokok, tetap saja masih banyak orang yang merokok. Kisah seorang suami yang meninggal karena kanker lidah akibat merokok ini dapat membuka mata kita untuk dapat menjaga kesehatan.
Seorang ibu dengan akun Facebook bernama Rezy Selvia Dewi menulis perjuangannya mengurus suami yang terkena kanker lidah akibat merokok. Selain itu, ia juga mengungkapkan banyak faktor lain yang ia rasa berkaitan dengan penyebab sakitnya sang suami tercinta.
Status ibu asal Tasikmalaya yang kini harus mengurus anaknya sendiri ini pun viral di media sosial. Hingga tulisan ini diterbitkan, sudah ada lebih dari 175 ribu akun yang membagikannya.
Berikut kisahnya:
Selamat Jalan Suamiku
“Mii, Abbi sariawan nih lagi nggak enak makan,” Sepulang kerja, suamiku menolak makan masakanku saat itu. Padahal aku memasak ayam goreng kremes kesukaannya. “Besok-besok masak sayur aja ya mi.” Aku hanya mengangguk tanda mengiyakan. Setiap hari suami selalu mengeluhkan sariawan di lidahnya yang nggak sembuh-sembuh. Sudah 2 minggu lebih, tapi aku tak terlalu menghiraukan keluhannya. Aku pikir itu hanya sariawan biasa seperti pada umumnya. “Mii, tadi di kantor ada medical check up, ini hasilnya…” Ia menyodorkan selembar kertas hasil pemeriksaan. Aku ingat betul saat itu bulan April 2016. “Kesehatan Abbi nggak ada masalah mi. Cuman kata dokter, Abbi kurang nutrisi. Abbi kurang gizi nih nggak diperhatiin Ummi. Umminya sibuk terus sama zuma, hehe…” Canda suamiku saat itu. Memang anakku baru usia 1 tahun, sebagai ibu, aku berasa jadi orang yang paling repot karena anakku yang mulai aktif. Aku memang terlalu sibuk, sampai tak memperhatikan suami.
Artikel terkait: Kisah ketegaran istri merawat suami yang sakit parah.
Menemani Abbinya dirawat di RS. Pihak RS sempat menolak karena aku membawa bayi. Tapi karena aku tak bisa meninggalkan keduanya. Akhirnya diizinkan, walaupun dengan membuat surat pernyataan bahwa pihak RS tidak bertanggung jawab jika terjadi sesuatu pada bayiku. Saat itu suamiku masih bisa bicara meski dengan suara kurang jelas. Karena tenggorokannya pun sudah menyempit tersumbat kanker, ia sangat kesulitan dalam bernafas. Masuk minuman pun kesulitan. Untuk memasukan nutrisi ke tubuhnya, dokter menyarankan operasi gastrostomi, operasi pasang selang dari perutnya, dan mengantisipasi agar tidak tersumbat saluran nafasnya, dokter menyarankan oprasi tracheostomy dileher suamiku.
Aku pun menyetujuinya meskipun aku tak tega, tapi hanya ini cara yang bisa diambil. Suamiku pasrah, dia minta aku menemaninya terus menerus, dan aku mengerti. Aku selalu mendampinginya. Tak pernah jauh darinya. Sebenarnya aku tak tega melihatnya seperti ini Bii, leher di bolongin, perut juga bolong, tapi inilah yang terbaik untukmu saat ini. Selesai operasi, bicaranya sudah tak bersuara lagi. Sejak saat itu praktis komunikasi kami hanya dengan isyarat atau terkadang suamiku menulisnya di hp, mengirimkan lewat WA. Tentu saja hal ini terasa capek baginya. Namun sekali lagi ia terlihat tegar tak pernah aku mendengar ia mengeluh. Sepanjang proses pengobatan tak hentinya kupanjatkan do’a dan dzikir dibantu dengan beberapa anggota keluarga.
Saat itu kondisinya sudah sangat menurun, sakit kepala hebat makin sering terjadi,, hasil pemeriksaan ct scan didapatkan, kankernya sudah menyebar ke otak. “Ya Allah beri kekuatan pada suamiku…! Beri kesembuhan melalui ikhtiar selama ini ya Allah…” Dokter yang menangani nya sudah angkat tangan, ia menyarankan suamiku untuk secepatnya pergi ke bandung untuk melakukan tindakan radiasi, tapi karena kondisinya yang semakin menurun, rencana itu kami undur karena menunggu kondisinya membaik dulu. Namun ternyata seminggu setelah operasi, selang di perutnya mengalami kebocoran, keluar cairan hitam pekat dari lubang di perut bekas operasi. “Kenapa lagi ini?” “Mii, Abbi mau minta dirujuk aja ke RSCM Jakarta. Di sini Abbi nggak sembuh-sembuh,” kata suamiku. Saat itu pun aku meminta dokter untuk membuatkan surat rujukan ke RSCM Jakarta. Dokter mengizinkan. Jam 1 tengah malam mobil ambulan mengantar kan kami berdua menuju Jakarta. Ya, hanya aku sendiri yang mengantar suamiku… Hari mulai terang saat kami tiba di sana… Serangkaian pemeriksaan dilakukan… Kondisinya semakin menurun, tapi masih bisa diajak komunikasi. Dia pun mengambil hp dan mengetik sesuatu. “Mii, si Jupe meninggal di RSCM kan?”
Artikel terkait: Kanker Serviks, jenis penyakit yang merenggut nyawa Jupe.
“Iya” “Terus si Yana Zain juga meninggal Mii, Nanti giliran Abbi ya Mii…” “Abbi pasti sembuh sayang.” “Mii, kalo Abbi meninggal, Abbi pengen dikuburin dekat anak-anak.” “Apaan sih Bi. Jangan ngomong yang nggak-nggak.” Tak lama kondisinya semakin menurun, memegang hp pun ia tak mampu. Dia hanya bisa menahan kesakitan yang dirasa sambil melirik sesekali ke arahku sambil berkata, “sakit Mi…” “Sabar sayang… Coba Abbi dzikir dalam hati, “lailahailallah…” Kuhampiri suamiku yang tergolek lemah. Perawat memasang semua peralatan pada tubuh suamiku, entah alat apa saja ini. Kuusap perlahan keningnya, dingin sekali. Tangan dan kakinya pun sangat dingin. Hingga menjelang asar, aku tak diperbolehkan beranjak dari sampingnya, tanganku ia genggam erat. Tak hentinya mulut ini memanjatkan doa.
Kritis
Tekanan darahnya sangat tinggi, nadi nya pun cepat, menunjukan angka 200 di layar monitornya. Berkali-kali dokter menyuntikkan obat anti sakit namun hasilnya tetap sama tak berubah, suamiku masih mengeluh kesakitan. Dokter memanggilku, perasaanku gelisah tak menentu, campur aduk antara cemas, bimbang dan ketakutan yang amat sangat. Dugaanku benar Dokterpun menyerah.
Semoga keluarga yang ditinggalkan tetap tabah dan berjuang. Semoga almarhum memperoleh kebahagiaan sejati di surga.
Mari kita ikut menjaga kesehatan orang-orang sekitar yang kita cintai.
Baca juga:
Merokok atau Tidak, Waspadai 8 Gejala Awal Kanker Paru-paru ini