Stop bertanya kenapa
Parents, sadarkah betapa lucunya diri kita? Sebagai orangtua, kita tahu apa yang menjadi kebutuhan bayi bahkan ketika ia belum dapat mengungkapkannya dengan kata-kata.
Kita tahu persis alasan ia menangis saat masih bayi. Dan begitu ia mulai belajar bicara, kita pun mulai mengabaikan naluri dan mengharapkan anak mulai berkomunikasi layaknya orang dewasa.
Jadi, akhirnya kita bertanya ‘kenapa’ pada anak untuk setiap hal yang ia lakukan. Pertanyaan yang paling sering kita ajukan adalah, “Kenapa kamu tantrum, nak?”
Stop bertanya kenapa agar anak tidak frustasi
‘Kenapa’ adalah pertanyaan yang sangat wajar karena mengungkapkan keingintahuan, sesuatu yang ingin kita ajarkan pada anak-anak kita. Kita mendorong mereka untuk bertanya ‘kenapa’ untuk hal-hal yang tidak mereka mengerti.
Jadi, kita juga bertanya ‘kenapa’ pada mereka untuk setiap hal yang mereka lakukan. “Kenapa kamu menangis?”, “Kenapa kamu tertawa?”, “Kenapa kamu berteriak?”, dan daftar pertanyaaan ‘kenapa’ jadi semakin panjang.
Masalahnya, kita sebagai orangtua mampu menyampaikan apa yang kita pikirkan, sementara anak-anak tidak.
Bayangkan sebuah skenario di mana Parents dalam perjalanan menuju sebuah pulau di Yunani yang eksotis, jauh dari peradaban, dan jarang dikunjungi wisatawan. Wah, benar-benar liburan yang sempurna!
Parents tiba di sana dengan gembira. Namun tak lama Anda menyadari bahwa tempat ini sungguh terasa asing.
Anda tidak berbicara bahasa mereka dan mereka tidak bisa berbicara bahasa Anda. Bayangkan betapa frustasinya Anda!
Situasi ini mirip apa yang dialami anak Anda yang berusia 4 tahun. Ia mencoba mengungkapkan sesuatu tetapi tidak bisa.
Jadi, akhirnya ia berteriak. Ia pasti sudah menjelaskan alasannya jika ia bisa, tapi sayangnya ia tidak bisa!
Maka, ia berusaha berteriak. Dan kemudian, Parents bertanya ‘kenapa?’
Stop bertanya kenapa yang dapat merusak kepercayaan anak
Saat anak merasa kesal, ia akan mencari Parents untuk memberinya ketenangan. Saat itu dia mungkin akan tantrum karena tidurnya terganggu atau belum sepenuhnya terbangun dari tidur.
Dalam keadaan ini, pertanyaan ‘kenapa’ menuntut analisa dan penjelasan apakah menurut anak tindakan yang dilakukannya benar.
Mungkin terdengar agak tidak masuk akal, namun bila Parents sering mengajukan pertanyaan ‘kenapa’ pada anak, hal itu akan merusak konsep bahwa Parents adalah tempat aman baginya.
Menurut Faber dan Mazlish, ahli komunikasi antara orang dewasa dan anak-anak, pertanyaan ‘kenapa’ melanggar kepercayaan awal yang dimiliki anak terhadap Parents. Hal ini dianggap sebagai tuduhan karena telah mempertanyakan motif anak melakukan sesuatu.
Anak pun enggan untuk mengadukan perasaannya karena tidak mau ditanya ‘kenapa’. Maka, mulai sekarang kurangi bertanya kenapa setiap kali melihat anak melakukan sesuatu.
Artikel terkait: Efek Pelukan Bagi Anak Tantrum
Kapan bisa bertanya kenapa?
Anak yang berusia lebih dari 7 tahun sudah dapat menjelaskan tindakannya dengan bahasa yang baik. Jadi pada saat itu, Parents bisa mempertanyakan ‘kenapa’.
Namun, sebelum anak berumur 7 tahun, Parents harus stop bertanya kenapa kecuali pada keadaan khusus. Ada cara yang lebih baik dalam memahami amukan anak Anda ketimbang menanyakan “Kenapa kamu tantrum?”
Agar dapat memahaminya lebih baik, mari kita lihat tahapan dalam tantrum.
Tahapan dalam tantrum
Jika kita menganalisa tahapan-tahapan dalam tantrum, ada 4 fase yang akan dilalui. Pada fase 1, saat terjadi gangguan yang tidak menyenangkan, anak akan berusaha mengabaikannya dan kembali fokus pada apa yang sedang ia kerjakan.
Di fase 2, anak akan menghentikan aktivitasnya karena gangguan tersebut. Masuk ke fase 3 yang disebut sebagai fase pra-tantrum ketika anak tidak bisa memutuskan apakah ia harus marah atau tetap lanjut bermain.
Dan kemudian masuk ke fase 4 di mana anak sungguh-sungguh mengamuk.
Untuk menghadapi tantrum, berikut 4 cara yang dapat Parents terapkan agar anak tahu bahwa Anda peduli padanya dan ingin membuatnya merasa nyaman. Berikut 4 hal yang disarankan Faber dan Mazlish:
- Berikan perhatian penuh pada anak dan dengarkan keluhannya. Tepat ketika anak masuk ke fase 2 dan 3, cobalah berada di samping anak. Berikan perhatian penuh dan dengarkan ia tanpa Anda perlu mengucapkan sepatah kata pun. Ini akan membantu mengalihkan perhatiannya dan mencegah ia benar-benar tantrum.
- Berikan tanggapan singkat. Akan terasa bedanya bila Parents memberi respon walaupun singkat terhadap penjelasan anak, misalnya dengan mengucapkan, “Oh, gitu…” atau “Hmmm…”
- Bantu ia mengenali perasaannya. “Bunda ngerti perasaan kamu, nak. Pasti kesel banget ya” akan membantu mengurangi intensitas kemarahan.
- Berikan anak apa yang menjadi fantasinya. Seringkali tantrum berkaitan dengan sesuatu yang kecil dan remeh. Misalnya anak ingin memakai celana piyamanya saat diajak pergi kondangan. Daripada mengatakan bahwa celana piyamanya jelek, katakan saja, “Wah, seru juga ya pakai celana tidur ke pesta. Coba temanya pesta piyama, pasti lebih seru…” Hal ini akan mengalihkan perhatiannya dan Parents bisa pelan-pelan membujuknya.
Bunda dan Ayah, anak Anda bersaing dengan dunia demi mendapatkan waktu dan perhatian Anda yang penuh tanpa terbagi. Berikan prioritas pada anak agar ia tahu betapa Parents mencintainya.
*disadur tulisan Anay Bhalerao di theAsianparent Singapura.
Baca juga:
Tak perlu malu saat balita tantrum, ini saran dari seorang ayah yang bijak