Kita seringkali berpikir, memiliki suami yang bersikap seperti ‘anak mami’ merupakan hal yang sebisa mungkin dihindari. Kita beranggapan bahwa suami seperti ini selalu memicu konflik dalam rumah tangga.
Disadari ataupun tidak, setiap perbedaan yang kita temui dalam rumah tangga berpotensi menjadi konflik dan menyulut pertengkaran antara suami-istri. Konflik akan semakin tajam manakala kita memandang suami sebagai anak mami yang begitu mengesalkan.
Kita akan berlarut-larut membenci sikapnya yang kerap membanding-bandingkan kita dengan sosok ibunya. Bersikap plin plan dan terkesan kurang bertanggung jawab.
Kekurangan-kekurangan suami yang tampaknya semakin jelas dari hari ke hari akan melelahkan kita. Dan tidak mustahil menjadi penyebab retaknya sebuah pernikahan.
Bagaimana cara menyikapi suami anak mami?
Psikolog Rima Olivia, Psi, dalam sebuah wawancara dengan theAsianParent mengatakan tentang pentingnya mengubah sudut pandang. “Begitu kita mengarahkan fokus kita pada kekurangan si suami sebagai anak mami, berderet-deret kelemahannya akan muncul dan membuat kita semakin kesal padanya.
Sebaliknya, kita perlu melihat ‘anak mami’ ini sebagai suatu kelebihan.
“Ada orang yang mungkin memang tidak dibesarkan oleh ibunya, ia akan tumbuh menjadi pribadi yang tidak mengerti bagaimana cara memperlakukan perempuan. Ia menjadi kasar, melihat perempuan sebagai objek, dan tidak tahu bagaimana harus menghormati perempuan.
Bisa dibayangkan bila orang seperti ini menjadi pasangan seumur hidup,” ujar pendiri Ahmada Consulting tersebut.
Lebih jauh psikolog yang berdomisili di Jakarta ini juga mengatakan, “ Jadi, sebaiknya benahi dulu sudut pandang. Anggap hal itu sebagai suatu keuntungan.”
Seringkali emosi membuat kita lupa pada sejumlah kelebihan suami yang kita sebut anak mami ini. Misalnya : sabar, lembut dan penuh perhatian. Di samping itu, jangan lupa, kebiasaan-kebiasaan baik ibu mertua juga banyak menurun pada anaknya.
Kebaikan-kebaikan itu yang membentuk pribadi seorang lelaki, boleh jadi kita memilihnya menjadi suami, karena kita tertarik pada sikapnya. Sikap yang merupakan buah dari didikan sang ibu.
Dengan mengubah sudut pandang, kita akan menerima kekurangan suami sebagai pelengkap dari kelebihan yang kita miliki. Sebaliknya, kekurangan kita akan disempurnakan oleh kelebihan yang dimiliki suami.
Menilai sesuatu secara positif akan membantu kita membina hubungan yang sehat, harmonis dan saling melengkapi.
Sebagai contoh, bila kita memiliki suami yang cenderung plin-plan dan tidak bertanggung jawab, boleh jadi pada saat yang sama kita bisa mengembangkan kemampuan dalam hal memimpin dan mengambil keputusan. Selain itu, kita bisa mengembangkan seluruh potensi yang kita miliki.
Namun, bila kita masih terjebak dalam pemikiran negatif, tentu saja hal itu akan menciptakan konflik yang tak kunjung usai. Hal ini sama sekali tidak membantu mengatasi masalah yang kita hadapi dalam kehidupan berumah tangga.
Ketika kita disibukkan dengan urusan mencela dan mencari-cari kekurangan suami. Menyesali pilihan kita pada lelaki yang kita sebut si anak mami. Pada saat yang sama, barangkali suami kita tengah berusaha untuk tetap bersabar. Berusaha keras untuk menahan emosi dan tidak terpicu untuk membalas sikap kita yang mudah meledak dan tidak sabaran.
Selain itu, dengan mengubah sudut pandang, kita akan lebih memahami ketaatan suami terhadap ibunya sebagai hal yang wajar.
Dengan demikian, sosok mertua tidak lagi tampil sebagai lawan yang harus dikalahkan, melainkan sebagai sahabat yang selalu menjadi pendukung utama kita dalam menghadapi suami.
Baca juga : Bila Mertua Bikin Galau
Jadi bersuamikan anak mami, tidak masalah bukan?
Semoga bermanfaat.
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.