Kalau bisa memilih, semua orang ingin memiliki pernikahan yang bahagia. Namun, banyak pasangan mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan dengan pasangannya tanpa tahu bagaimana cara untuk menyelamatkan pernikahan tersebut.
Penulis Paul Richard Evans berbagi dengan pembacanya tentang apa yang telah menyelamatkan pernikahan mereka saat sudah berada di ujung tanduk. Tulisan ini sebelumnya dimuat di laman Bridgeside.
Putri tertuaku, Jenna, baru-baru ini mengatakan kepadaku, “ketakutan terbesarku sebagai seorang anak adalah bahwa kamu dan ibu akan bercerai. Kemudian, ketika aku berusia dua belas tahun, aku memutuskan bahwa kamu juga telah berusaha keras dan barangkali perceraian adalah hal yang terbaik untuk kalian.”
Lalu ia menambahkan sambil tersenyum. “Aku senang bahwa kalian berdua berhasil mengatasi segalanya.”
Selama bertahun-tahun istriku Keri dan aku sama-sama mengalami kesulitan. Jika ditengok dari masa lalu, kepribadian kami memang tidak terlalu cocok.
Semakin lama kami menikah, perbedaan yang tampak malah semakin ekstrim. Menjadi populer dan terkenal tidak membuat pernikahan kami lebih mudah. Bahkan, justru itu yang memperburuk masalah.
Ketegangan antara kami semakin memburuk sehingga melakukan perjalanan untuk tur buku seperti penyelamatan bagiku. Meski pada akhirnya kami harus membayarnya ketika bertemu lagi.
Pertengkaran yang sering terjadi membuat kami bahkan merasa sulit untuk membayangkan hubungan yang damai. Kami menjadi terus-menerus saling menyerang.
Seolah kami sedang membangun benteng-benteng yang tinggi di sekitar hati kami. Kami berada di ujung perceraian dan lebih dari sekali kami membahasnya.
Aku sedang promosi buku ketika harus menghadapi hal tersebut. Kami baru saja bertengkar hebat lain di telepon dan Keri telah menutup telepon duluan.
Aku sendirian dan kesepian, frustrasi dan marah. Aku telah mencapai batas kesabaran. Saat itulah aku kembali kepada Tuhan, aku disadarkan oleh Tuhan.
Aku tidak tahu mungkinkah ini yang disebut dengan doa, barangkali, berteriak pada Tuhan tidak bisa disebut sebagai ibadah. Namun, dalam kondisi tersebut, aku tidak pernah melupakannya.
Aku berdiri di kamar mandi dari Buckhead, Atlanta Ritz-Carlton. Berteriak pada Tuhan dan berkata padaNya bahwa pernikahan ini adalah sebuah kesalahan dan aku tidak sanggup melanjutkannya lagi.
Aku selalu membenci ide perceraian, rasa sakit yang aku rasakan karena pernah bersama-sama terlalu banyak. Aku juga bingung. Aku tidak tahu mengapa pernikahan dengan Keri begitu sulit.
Dalam hati, aku tahu bahwa Keri adalah orang yang baik. Dan aku adalah orang yang baik. Jadi mengapa tidak bisa berkomunikasi?
Kenapa aku menikah dengan orang yang begitu berbeda dariku? Mengapa dia tidak bisa berubah?
Akhirnya, dengan tenggorokan serak dan hati yang patah, aku duduk di kamar mandi dan mulai menangis. Di dalam keputusasaan tersebut, aku mendapatkan sebuah inspirasi.
“Kamu tidak dapat mengubah dirinya, Rick. Kamu hanya bisa mengubah dirimu sendiri.”
Pada saat itu aku mulai berdoa, “Tuhan, jika aku tidak bisa mengubah dirinya, maka aku akan mengubah diriku sendiri.”
Aku berdoa hingga larut malam. Aku berdoa hingga hari berikutnya, pada penerbangan pulang.
Aku berdoa saat aku berjalan di pintu dan menghadapi istri yang bersikap dingin dan bahkan nyaris tidak mengakuiku.
Malam itu, saat kami berbaring di tempat tidur kami, hanya berjarak beberapa inci dari satu sama lain, belum sampai terpisah, maka inspirasi datang. Aku tahu apa yang harus aku lakukan.
Keesokan paginya aku berguling di tempat tidur sebelah Keri dan bertanya, “apa yang bisa aku lakukan agar membuat harimu terasa lebih baik?
Keri menatapku marah. “Apa?”
“Apa yang bisa aku lakukan untukmu agar bisa membuat harimu lebih baik?”
“Kamu tidak bisa membuat hariku lebih baik,” katanya. “Kenapa kamu bertanya itu?”
“Karena aku serius,” kataku. “Aku hanya ingin tahu apa yang bisa ku lakukan untuk membuat harimu lebih baik.”
Dia menatapku sinis. “Kamu ingin melakukan sesuatu ya? Cepat sana bersihkan dapur!”
Dia mungkin mengira bahwa aku akan marah. Sebaliknya aku hanya mengangguk. “Oke.”
Aku bangkit dan membersihkan dapur.
Hari berikutnya aku bertanya hal yang sama. “Apa yang bisa aku lakukan untukmu agar bisa membuat harimu terasa lebih baik?”
Matanya menyipit. “Bersihkan garasi.”
Aku menarik napas dalam-dalam. Aku punya hari yang sibuk dan aku tahu dia sengaja membuat permintaan ngawur.
Aku sempat tergoda untuk meledak padanya. Namun sebaliknya, aku berkata, “Oke.”
Aku bangun dan selama dua jam berikutnya, membersihkan garasi. Keri tidak yakin apa yang harus ia pikirkan saat itu.
Keesokan harinya datang. “Apa yang bisa aku lakukan untukmu supaya membuat harimu jadi lebih baik?”
“Tidak!” Katanya. “Kamu tidak dapat melakukan apa-apa. Tolong berhentilah mengatakan hal itu.”
“Aku minta maaf,” kataku. “Tapi aku tidak bisa. Aku telah membuat komitmen untuk diriku sendiri. Apa yang dapat aku lakukan untuk membuat harimu jadi lebih baik?”
“Mengapa kamu melakukan ini?”
“Karena aku peduli padamu,” kataku. “Dan pernikahan kita.”
Keesokan paginya aku bertanya lagi. Dan berikutnya. Dan berikutnya. Kemudian, pada minggu kedua, sebuah keajaiban terjadi.
Seperti biasa, aku mengajukan pertanyaan tersebut. Mata Keri digenangi air mata. Lalu ia mulai menangis.
Ketika ia mulai bisa berbicara dia berkata, “Berhentilah menanyakan itu, Masalah bukan ada pada dirimu. Akulah yang sulit untuk tinggal bersama. Aku bahkan tidak tahu kenapa kamu ingin hidup bersamaku.”
Dengan lembut, aku mengangkat dagunya sampai ia melihat mataku. “Itu karena aku mencintaimu,” kataku.
“Apa yang bisa aku lakukan untuk membuat harimu terasa lebih baik?”
“Tak seharusnya aku memintamu melakukannya.”
“Kamu harus memintanya,” kataku. “Tidak sekarang. Barangkali aku tidak bisa berubah sekarang juga. Tapi ini supaya kamu tahu betapa berharganya kamu untukku.”
Dia meletakkan kepalanya di dadaku. “Maaf aku sudah bertindak begitu buruk padamu.”
“Aku mencintaimu,” kataku.
“Aku mencintaimu,” jawabnya.
“Apa yang bisa aku lakukan untuk membuat harimu jadi lebih baik?”
Dia menatapku dengan manis. “Bisakah kita menghabiskan waktu bersama-sama?”
Aku tersenyum. “Aku suka ide itu.”
Aku terus meminta padanya sampai lebih dari sebulan. Perubahan mulai terjadi, perkelahian mulai berhenti.
Kemudian Keri mulai bertanya, “Apa yang kamu butuhkan dariku? Bagaimana caranya supaya aku bisa membuatmu merasa lebih baik?”
Dinding di antara kami mulai runtuh. Kami mulai berdiskusi secara mendalam tentang apa yang kita harapkan dari kehidupan dan bagaimana caranya agar kita bisa membuat satu sama lain bahagia.
Tidak, kami tidak memecahkan semua masalah kami begitu saja. Aku bahkan tidak bisa mengatakan bahwa kami tidak pernah bertengkar lagi. Tapi inti perkelahian kami mulai berubah.
Hanya saja, perkelahian kami jadi lebih jarang terjadi, seperti hampir tak punya energi untuk bertengkar lagi.
Jika kami sudah memiliki cukup oksigen untuk bernafas, kami tak akan menggunakannya untuk menyakiti satu sama lainnya.
Keri dan aku sekarang telah menikah selama lebih dari tiga puluh tahun. Aku tidak hanya mencintai istriku, tapi juga menyukainya.
Aku menyukainya, aku menginginkannya Aku membutuhkannya.
Banyaknya perbedaan di antara kami telah menjadikan itu sebagai sebuah kekuatan sehingga hal yang lainnya terasa tidak begitu penting lagi. Kami telah belajar bagaimana merawat satu sama lain dan, yang lebih penting, kami telah memperoleh keinginan untuk melakukannya.
Pernikahan adalah hal yang sulit. Tapi begitulah kehidupan orang tua, yang penting tetap fit dan masih bisa menulis buku, maka segala sesuatunya jadi penting dan berharga dalam hidupku.
Memiliki pasangan dalam hidup adalah karunia yang luar biasa. Aku juga belajar bahwa institusi perkawinan dapat membantu kami untuk menetralisir hal yang tak kami cintai. Dan kita semua memiliki hal yang tidak indah untuk dicintai.
Seiring berjalannya waktu, aku telah belajar bahwa pengalaman kami adalah sebuah gambaran tentang pelajaran yang lebih besar dari pernikahan.
Semua orang yang sedang menjalin komitmen serius dalam sebuah hubungan harus bertanya pada pasangannya, “Apa yang bisa aku lakukan untuk membuat hidupmu lebih baik?” Itulah cinta.
Novel roman (beberapa bukunya sudah aku tulis) adalah semua tentang harapan dan kebahagiaan abadi. Kebahagiaan abadi datangnya bukan dari sekedar keinginan belaka, bukan seperti yang digambarkan oleh roman picisan.
Cinta sejati bukanlah menginginkan seseorang, tetapi benar-benar berharap bahwa mereka bahagia. Bahkan kadang, dengan mengorbankan kebahagiaan kita sendiri.
Cinta sejati tidak akan membuat pasangan kita menjadi salinan dari dirinya sendiri. Kita memang harus lebih peduli dan bertoleransi agar kehidupan pasangannya jadi lebih baik.
Hal yang lainnya adalah sebuah tebak-tebakan sederhana soal ketertarikan pribadi.
Aku tidak mengatakan bahwa apa yang terjadi pada Keri dan aku akan bisa diterapkan untuk semua orang. Aku bahkan tidak mengklaim bahwa semua pernikahan harus diselamatkan.
Aku sangat berterima kasih atas inspirasi yang datang padaku begitu lama. Aku bersyukur bahwa keluargaku masih utuh dan bahwa aku masih memiliki istriku, sahabatku, di samping tempat tidurku ketika aku terbangun di pagi hari.
Aku bersyukur bahwa hingga kini, satu dekade kemudian, sekarang dan nanti, salah satu dari kami akan tetap menyondongkan tubuhnya dan berkata, “Apa yang bisa aku lakukan untuk membuat harimu jadi lebih baik?”
Pertanyaan tersebut adalah sesuatu yang membuat kita layak untuk bangkit.
Seperti dikatakan oleh Paul Richard Evans, apa yang dilakukannya pada sang istri untuk menyelamatkan pernikahannya di atas belum tentu cocok jika diaplikasikan pada pasangan lain. Namun, jika Anda memang ingin mencobanya, kenapa tidak?
Beberapa pernikahan memang masih layak untuk diselamatkan. Namun beberapanya tidak. Sebelum memutuskan untuk bercerai, penting untuk merenung agar tahu bahwa pernikahan tersebut patut diperjuangkan atau tidak.
Semoga artikel ini juga dapat menyelamatkan pernikahan Anda.
Baca juga:
Pasangan Bahagia Melakukan Satu Hal Ini Setiap Harinya
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.