Badan Pusat Statistik (BPS) belum lama ini melaporkan, pertumbuhan ekonomi Republik Indonesia (RI) pada kuartal II-2020 minus hingga mencapai 5,32%. Angka ini membuat berbagai pihak percaya resesi RI semakin nyata di depan mata. Sebabnya, tak lain karena pertumbuhan ekonomi terbukti mengalami perlambatan sejak kuartal pertama hingga minus di kuartal kedua.
Pada kuartal pertama, yakni pada triwulan I 2020, pertumbuhan ekonomi di Indonesia berada di angka 2,97%. Angka ini menunjukkan adanya perlambatan yang disebabkan oleh pandemi. Laju pertumbuhan ekonomi ini bahkan semakin menurun hingga menyebabkan minus pada kuartal kedua.
Namun demikian, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan Indonesia belum akan mengalami resesi. Menurutnya, negara baru akan memasuki jurang resesi apabila pertumbuhan ekonomi tahunan terkontraksi selama dua kuartal berturut-turut.
“Biasanya dalam melihat resesi itu, dilihat year on year untuk dua kuartal berturut-turut,” jelasnya, dalam konferensi pers virtual yang diadakan pada hari Rabu (5/8/2020).
Namun, sejumlah pihak memiliki pendapat yang berbeda dengan Sri Mulyani. Salah satunya adalah Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad yang mengatakan resesi RI sulit untuk dihindari karena telah menunjukkan tanda-tanda.
“Sekarang minus 4,19% kuartal to kuartal, kecuali minusnya 1%. Ini kan agak dalam, makanya resesinya sulit dihindari,” katanya.
Lalu, apa saja tanda-tanda resesi RI yang dimaksud oleh Tauhid?
Tanda-tanda Resesi RI Semakin Nyata
1. Jika Terjadi Resesi RI, Jumlah Korban PHK Meningkat
Tanda-tanda awal adanya resesi, menurut Tauhid, adalah bertambahnya jumlah karyawan yang dirumahkan atau mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Berdasarkan catatan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), lebih dari 2 juta karyawan di Indonesia mendapat PHK akibat pandemi virus corona. Namun, menurut Tauhid angka ini bahkan belum menujukkan realita yang sebenarnya.
“Ciri pertama resesi adalah jumlah PHK semakin banyak. Kalau orang katakan formal sekarang 2 juta, sebenarnya bisa lebih besar, bahkan dunia usaha bisa mengatakan 6 juta, tahu-tahu bertambah jumlah PHK,” jelasnya.
2. Resesi RI Picu Kebangkrutan pada Industri
Poin lain yang tak bisa diabaikan adalah banyaknya industri yang mengalami gulung tikar. Menurut survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Litbang Ketenagakerjaan Kementerian Ketenagakerjaan, dan Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FE UI), sebanyak 39,4% pelaku usaha di Indonesia terpaksa tutup akibat pandemi. Ini juga akan berimbas pada jumlah tenaga kerja produktif yang menganggur.
“Industri yang tutup semakin banyak. Kemudian industri yang mengurangi tenaga kerja juga semakin banyak. Pegawai kontrak yang tidak diperpanjang juga makin banyak. Nah pada akhirnya pengangguran semakin lama, secara gradual semakin bertambah,” kata Tauhid.
Baca juga: 5 Fakta Harga Emas Antam Kian Melonjak, Ini yang Sebaiknya Parents Lakukan!
3. Pertumbuhan Investasi Menurun Bisa Jadi Tanda Resesi RI
Sinyal resesi RI berikutnya yang tak dapat ditampik adalah turunnya angka pertumbuhan investasi. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat capaian investasi pada kuartal II-2020 menurun sebesar 8,9%. Sektor investasi Indonesia hanya berhasil memperoleh Rp 191,9 triliun pada kuartal kedua 2020. Jumlah ini jika dibandingkan dengan kuartal II-2019 juga menurun sebesar 4,3%.
Meski angka ini masih terbilang aman, namun menurut Tauhid, dampaknya masih belum akan terasa dalam waktu dekat karena pembangunan masih belum akan berjalan, mengingat pandemi juga belum reda.
“Investasi yang masuk sebenarnya, meskipun trennya masih baik, tapi kan masih belum berdiri itu pabrik. Masih butuh waktu 1-2 tahun. Jadi dampaknya masih terasa. Untuk investasi belum, lagipula kan datanya turun dibandingkan tahun lalu,” tuturnya.
Jika Terjadi Resesi RI, Apa yang Perlu Diperhatikan?
Meski ancaman resesi RI kian nyata, Parents tak boleh panik ya. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menyikapi kemungkinan terjadinya resesi. Parents perlu mengambil langkah-langkah antisipatif untuk menghadapi ancaman resesi namun tetap dengan kepala dingin dan persiapan yang matang.
Dilansir dari beberapa sumber, Detik Finance, Kompas, Simulasi Kredit, inilah 5 hal yang perlu diperhatikan jika benar terjadi resesi.
1. Menyiapkan dana darurat dalam bentuk uang tunai
Karena berbagai pertimbangan, kita cenderung menyimpan uang di bank. Namun, saat terjadi resesi, uang yang tersimpan di bank biasanya sulit untuk dicairkan. Oleh sebab itu, Parents perlu berjaga-jaga dengan menyimpan dana darurat dalam bentuk uang tunai.
Perlu digarisbawahi kalau dana darurat ini berbeda dengan uang tabungan. Dana ini sengaja disisihkan untuk menghadapi keadaan yang sewaktu-waktu bisa terjadi. Jadi, Parents harus membedakan antara tabungan dengan dana darurat, jangan disatukan ya!
2. Mengurangi jumlah hutang
Tak bisa ditampik, kebutuhan dan akses yang mudah membuat kita tergiur untuk menambah jumlah hutang, baik untuk kebutuhan konsumtif maupun produktif. Namun, di masa resesi, Parents harus lebih hati-hati dalam mengelola hutang. Ancaman PHK dan pailit ada di depan mata sehingga bisa menyusahkan kita jika memiliki banyak hutang. Sebaiknya kurangi jumlah hutang selagi bisa.
3. Bersikap lebih waspada dengan keamanan rumah
Saat kondisi ekonomi sulit, kriminalitas biasanya juga akan meningkat. Krisis ekonomi seringkali dibarengi dengan tindak pencurian yang lebih tinggi. Oleh sebab itu, penting untuk bersikap lebih waspada.
Apabila memungkinkan, sebaiknya pasang kamera CCTV dan juga alarm di sekitar rumah. Ini bisa berguna untuk mendeteksi adanya maling. Selain itu, selalu sediakan alat untuk pertahanan diri seperti pentungan, semprotan mata, atau alat kejut listrik berdaya rendah.
4. Sediakan kebutuhan makanan
Selain tiga hal di atas, poin yang tak kalah penting adalah memastikan persedianan makanan di rumah tercukupi. Namun, tentu saja tidak perlu menyetok makanan secara berlebihan.
Jika terjadi resesi, besar kemungkinan stok makanan akan semakin sulit dari hari ke hari. Sekalipun ada, biasanya harga bahan makanan akan melambung tinggi dibanding dengan harga normal.
Untuk mencegahnya, tak ada salahnya untuk menyediakan makanan atau kebutuhan pokok lebih dulu. Usahakan untuk menyimpan makanan yang tahan lama seperti makanan kalengan, mi instant, makanan kering, atau susu.
Tak ada yang menginginkan resesi, namun jika akhirnya terjadi, alangkah lebih baik jika Parents sudah lebih dulu bersiap-siap. Usahakan untuk selalu berpikir positif selama masa krisis karena membantu kita berpikir jernih dalam menyelesaikan masalah. Meski angka pertumbuhan ekonomi minus pada kuartal kedua, namun masih ada harapan agar angka tersebut naik dan berubah. Jadi, tetap optimis dan waspada ya, Parents!
Baca juga:
Akibat Himpitan Ekonomi, Ibu Kandung Tega Jual Bayinya yang Berusia Satu Bulan