Melahirkan adalah perjuangan antara hidup dan mati. Apalagi jika kondisi kehamilan yang tidak biasa. Tak jarang, seorang ibu harus menghadapi situasi hampir mati saat melahirkan.
Samantha Bek divonis menderita placenta previa saat mengandung anak ketiganya. Salah satu staf The Asian Parent Singapura ini menuliskan pengalamannya yang hampir mati saat melahirkan dan hadapi pilihan sulit demi anak terakhirnya.
Berikut ini pengalamannya yang hampir mati saat melahirkan.
Aku adalah ibu dari 2 anak yang cantik, suami dan aku selalu ingin punya lebih banyak anak. Suatu hari, kami terkejut setelah mengetahui bahwa aku hamil dengan bayi ketigaku. Dengan senang hati kami menantikan kedatangannya. Kami tidak menyangka bahwa kedepannya, situasi akan berubah bagaikan naik roller coaster. Segalanya dimulai selama pemindaian janin pada usia 20 minggu. Pada pemeriksaan reguler kami, dokter ob/gyn memberitahu kami bahwa aku memiliki plasenta previa, plasenta ysng letaknya terlalu turun ke bawah yang terjadi karena operasi caesar yang sebelumnya. Jadi, aku harus berhati-hati untuk tidak membawa barang-barang berat atau pergi selama berjam-jam dari terapi ritel. Tapi ayolah! Bagaimana mungkin aku tidak banyak bergerak jika aku memiliki 2 anak di rumah? Aku mencoba untuk meminimalkan pekerjaan manual dan mengurangi beban kerjaku seiring dengan bertambahnya usia kandungan. Aku dan suami berharap bahwa perlahan-lahan, plasenta akan bergerak ke atas. Ternyata tidak. Kami kecewa, plasenta itu bergerak makin ke bawah dan akhirnya menutupi seluruh area leher rahimku. Ini berarti bahwa aku pasti membutuhkan operasi caesar lagi. Tidak peduli berapa banyak yang harus kita keluarkan saat itu, kami siap untuk melakukan operasi pada 26 November 2010, 10 hari sebelum sebelum HPL.
Dokter mengumumkan bahwa kami tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Kami harus melakukan operasi untuk mengeluarkan bayi dari perutku. Kami telah berbicara panjang lebar tentang komplikasi yang mungkin timbul karena kondisi plasentaku. Dia mengatakan kepada kami dalam skenario terburuk.
Aku mungkin menderita plasenta accreta- situasi di mana plasenta menempel pada rahim dan tidak dapat dihilangkan. Hal itu akan menghasilkan perdarahan hebat.
Jika itu terjadi, maka dokter akan mengangkat rahimku dengan histerektomi. Dokter menyiapkan darah dari bank darah untuk keperluan transfusi, berjaga-jaga siapa tahu aku membutuhkannya. Suamiku dan aku berdoa agar operasi dapat berjalan lancar. Dokter meyakinkan kami bahwa jika perdarahan yang terjadi semakin banyak, mereka akan menggunakan cara apa pun yang mungkin dilakukan untuk menghentikannya. Hal itu dilakukan agar aku dapat mempertahankan rahimku. Mengangkat rahim adalah opsi terakhir dalam proses ini.Aku percaya bahwa Tuhan akan selalu menjagaku dan bayiku. Aku menuju ruang operasi dengan segenap keberanian.
Pada mulanya, aku diberi anestesi parsial sehingga ketika mereka mulai operasi, aku terjaga dan tahu apa yang sedang terjadi. Aku bisa merasakan dokter mulai menarik dan mendorong organ tubuhku ketika mereka sedang operasi. Aku menunggu suara bayi dengan sangat bersemangat dan melihatnya dikeluarkan dari tubuhku. Salah satu perawat bertanya apa yang aku rasakan, aku jawab bahwa aku bisa merasakan dokter yang menarik-narik organ tubuhku.
Kasus placenta previa yang dialami oleh Sam cukup umum terjadi di Indonesia. Semoga teknologi kedokteran ke depan akan semakin canggih agar tidak ada lagi ibu yang hampir mati saat melahirkan.
Baca juga: