Surat Terbuka Untuk Para Perempuan yang Kejam Terhadap Perempuan Lainnya

Sering mengalami disindir di grup WhatsApp atau menggosipi perempuan lain di klub arisan? Perilaku tak sehat itu justru tidak akan membuat perempuan maju.

Banyak orang yang berkata bahwa di gerbong perempuan dalam commuter line, keadaannya jauh lebih ganas daripada di dalam gerbong umum. Hal ini konon karena perempuan itu lebih kejam terhadap perempuan lainnya.

Tentu saja pernyataan tersebut akan memicu pro dan kontra. Namun, ketika membahas sebuah hubungan ideal antar perempuan, maka mayoritas akan menyatakan pentingnya bersolidatitas tanpa menjatuhkan yang lainnya.

Salah satu yang berpendapat seperti itu adalah Ninin Damayanti. seorang penulis yang juga content creator sebuah media. Ia menuliskan pemikirannya lewat blognya nagaketjil.com.

Berikut tulisan berjudul ‘Perempuan yang Membunuh Perempuan’:

Kita hidup di dunia laki-laki. Tapi banyak perempuan justru mati dibunuh sesamanya. Mungkin kalimat ini terdengar sarkas. Tapi ini realita. Berapa kali kita mendengar gerbong KRL perempuan lebih ganas daripada gerbong umum? Meski gak sepenuhnya benar, tapi beberapa roker (rombongan kereta) perempuan mengakui hal itu. Beberapa waktu lalu, viral sebuah video dua perempuan saling jambak gara-gara berebut tempat duduk. Video itu semakin menjustifikasi asumsi bahwa di dalam gerbong ini berlaku hukum rimba. Yang paling kuat, dia pemenangnya. Ada lagi kasus Firza. Soal ini saya selalu berpijak pada sikap masalah hubungan seksual -apapun bentuknya- adalah wilayah privat yang haknya gak bisa diganggu gugat siapapun kecuali pelakunya sendiri. Tapi nyatanya? Ada banyak perempuan ikut menghakimi Firza. Dia ditempatkan sebagai perempuan yang paling nista diantara perempuan lain. Padahal, coba bayangkan bila, suatu hari nanti smartphonemu dicuri orang lalu foto bugil buat kekasihmu disebarkan di internet. Kalau begitu, mau apa? Seperti halnya kasus Cut Tari dan banyak lagi video privat yang bocor ke dunia maya. Perempuan justru jadi pihak yang ikut menuding jari telunjuk pada mereka. Kita hidup di dunia laki-laki, tapi perempuan masih saling membunuh sesamanya. Ada berapa banyak perempuan yang saling membandingkan diri satu sama lain? Atau menganggap perempuan A lebih baik dari perempuan B. Ikut-ikutan menentukan standar peran perempuan. Mengkritik sikap dan keputusan perempuan lain. Berapa banyak perdebatan antara siapa yang terbaik antara ibu bekerja atau ibu rumah tangga. Saling pamer mana anak ASI eksklusif dan anak susu botolan. Saling membandingkan perempuan beralis sulam tidak lebih baik dari alis alamiah. Saling nyinyir mana yang pakai Birkin asli atau KW super. Saling sikut merebutkan posisi di pekerjaan. Juga saling sinis soal pilihan pakaian yang dikenakan, entah itu bikini atau burqa. Kita hidup di dunia laki-laki. Jadi buat apa kita saling membunuh satu sama lain. Bukankah apa yang kita hadapi juga sama? Peran ganda, sama. Diskriminasi, sama. Standar ukuran kecantikan, sama. Ketidakadilan, sama. Urusan patah hati, juga sama. Feminisme bukan hanya tentang melawan konstruksi budaya Patriarki. Feminisme, buat saya, adalah tentang memberdayakan perempuan. Bagaimana sebuah ideologi diperjuangkan melawan konstruksi berabad-abad, kalau kesadaran saling memberdayakan saja tidak ada? Padahal memberdayakan adalah juga tentang memberikan pilihan sebesar-besarnya pada perempuan untuk mengambil keputusan. Tanpa dihakimi. Kita ini hidup di dunia laki-laki. Peran, pola pikir, persepsi atas tubuh, cara bersikap, perilaku seorang perempuan dibentuk budaya – yang didominasi laki-laki. Mereka masih jadi warga negara kelas satu. Kita masih jadi Liyan – entitas yang keberadaannya dinomorduakan. Bukankah yang terjadi malah sebaliknya? Perempuan memakai standar laki-laki untuk menghakimi perempuan lain. Padahal, kita hidup sebagai Liyan di dunia yang sama. Padahal kalau kamu perempuan, pilih saja keputusan yang terbaik buat dirimu. Gak perlu ambil pusing soal omongan orang lain. Kamu mau kasih bayimu ASI eksklusif silakan, gak juga silakan. Alismu mau kamu kerok pakai mesin potong silakan, dibiarkan gondrong juga gak usah peduli. Mau pakai bikini segaris atau kain tutupi seluruh tubuh, itu pilihanmu. Pilih jadi istri atau jomblo sampai mati, itu kehendak bebasmu. Mau jadi simpanan atau istri kedelapan, itu keputusanmu. Kalau kamu perempuan, gak usah usil dengan keputusan dan pilihan perempuan lain. Usillah pada laki-laki yang memilih poligami. Kritiklah laki-laki yang merayu perempuan untuk kirimkan foto telanjangnya. Proteslah pada laki-laki yang menentukan peran hidupmu sehari-hari. Marahlah pada laki-laki yang lakukan kekerasan pada sesamamu, perempuan! Jangan seperti gerombolan domba melawan serigala, tapi malah saling memangsa. Kayak gini kok cita-citanya mau menguasai dunia. Berdaya, sis! Jangan pakai kacamata laki-laki. Pakai kacamatamu sendiri.

Agar dapat menjadi pribadi yang saling mendukung satu sama lain, Ninin menekankan agar para perempuan memulainya dari dirinya sendiri dulu. Yaitu dengan menghormati dan mencintai dirinya sendiri.

“Kalau tidak bisa mencintai diri sendiri, pilihlah teman yang mendukung. Yang nggak ngejudge juga. Tidak mencintai diri sendiri itu salah satu ciri depresi. Depresi nggak bisa bangkit karena lingkar pertemanannya nggak mendukung,” ujar ibu satu anak ini.

Baginya, semua orang punya hak untuk memilih lingkar pertemanan yang baik dan suportif. “aku cenderung untuk ‘gak mau ikut sama yang tidak membuat diri kita merasa buruk. Misal, kalau perlu keluar aja dari grup WA dan pilih pertemanan yang positif.

Kegiatan positif pun bisa dicari dalam bidang apa saja, karena menurutnya semua kegiatan bisa positif. Entah itu masak, meronce manik-manik, jualan online, atau apapun yang lainnya, “lakukan apa yang disukai aja,” tambahnya.

Sebagai contoh, sebagai penyintas  Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), pertemanan dengan sesama penyintas membuatnya lebih kuat.

“Teman-teman sesama penyintas saling mendukung satu sama lain. Dukungan moril terutama. Apapun yang mereka lakukan, aku dukung, sebaliknya juga gitu. Lalu aku pilih pertemanan yang membawa perubahan,” ujar perempuan pecinta kucing ini.

“Misalnya kayak Komunitas Anti Hoax. Isinya sebagian besar ibu-ibu yang jengah sama penyebaran hoax. Di sini aku merasa kalau aku bisa berbuat sesuatu atau membuat perubahan sama sesama ibu-ibu. Daripada cuma sekadar gosip gak jelas.”

Ia mengakui bahwa untuk mencapai ke tahap tersebut, harus ada proses yang dilewati terlebih dahulu.

“Aku pernah punya temen yang justru merasa sendirian tanpa teman. Akhirnya peranku di sisinya adalah jadi tempat sampah curhatnya dia. Tanpa menghakimi. Lalu pelan-pelan ajak dia mencintai dirinya sendiri. It works. Sekarang dia berdaya, berani ambil keputusan. Aku padahal gak melakukan apa-apa selain jadi tempat sampah tanpa menghakimi itu tadi.”

Ia melanjutkan, “Sekarang dia tau apa yang harus dia lakukan buat hidupnya. Jadi ibu yang bahagia. Meski masih jatuh bangun. Tapi dia jalanin prosesnya dengan lebih bahagia.”

Ninin menyadari, sebagai teman atau sahabat, ia bukanlah sosok yang bisa sempurna. Kadang ia pun tak punya waktu buat kehidupan sosial karena termakan rutinitas.

Sehingga saat temannya mengajak bertemu, ia pun kadang tak sempat, “tapi aku berusaha banget ketika dia kontak, aku selalu punya waktu dan ruang buat jadi tempat sampah untuknya. Itu aja..,”

Menurutnya, saling merendahan antar perempuan tak akan membawa dia kemana-mana. Berusaha menahan diri untuk tidak menghakimi akan membuat satu sama lain merasa nyaman.

Jadi, kalau bisa saling bersolidaritas, kenapa ibu-ibu harus saling menyindir?

 

Baca juga:

Anak ASI atau Susu Formula dan Perdebatan Lain yang tak Perlu Namun Biasa dilakukan oleh Para Ibu

 

Penulis

Syahar Banu