Stunting merupakan masalah gizi yang kerap dialami balita. Namun faktanya, stunting bukan lagi menjadi isu yang hanya fokus pada ibu dan balita saja. Kini, peran remaja cegah stunting menjadi kajian yang tengah dikembangkan.
Stunting merupakan masalah yang banyak dialami balita di negara kita. Bayangkan saja, 1 dari 3 balita di Indonesia menderita stunting. Maka tak heran, persoalan ini mendapat perhatian serius dari banyak pihak.
Lalu, apa sih stunting itu?
Stunting merupakan kondisi di mana pertumbuhan anak terganggu yang ditandai dengan tubuh yang pendek. Tapi bukan cuma pendek, balita stunting umumnya rentan terhadap penyakit, kecerdasannya di bawah normal, serta produktivitasnya rendah. Efek tersebut bisa terbawa hingga dewasa jika tak segera diberi penanganan.
Stunting ini merupakan masalah kurang gizi kronis. Ini artinya, keadaan tersebut disebabkan anak menderita kekurangan gizi dalam jangka waktu yang lama. Bisa dimulai akibat gizi kurang pada saat ibu mengandung sehingga tidak terpenuhinya gizi dalam masa vital tumbuh kembang anak.
Pendek kata, kunci mencegah stunting adalah gizi ibu hamil dan balita harus terpenuhi. Parents mungkin kemudian bertanya-tanya, lalu di mana peran remaja dalam hal ini?
Dalam webinar bertajuk ‘Peran Remaja Cegah Stunting’ yang diselenggarakan oleh Tanoto Foundation pada Rabu, 26 Agustus 2020 lalu, dipaparkan fakta yang sangat gamblang bagaimana remaja punya andil.
Artikel terkait: Cegah stunting pada anak sejak ia dalam kandungan, ini yang perlu dilakukan!
Peran Remaja Cegah Stunting
Seperti yang sudah disinggung di atas, stunting adalah akibat dari kekurangan gizi kronik, artinya kebutuhan gizi yang tidak terpenuhi dalam jangka waktu yang lama. Stunting tidak terjadi dalam semalam lho ya.
Menurut Program Advocacy and Communication Manager Tanoto Foundation, Indiana Basitha, dalam banyak kasus, stunting merupakan siklus yang dimulai sejak remaja. Kurangnya pengetahuan dan pola makan yang buruk pada masa remaja bukan tak mungkin akan terus mereka bawa hingga menjadi orangtua. Maka jika tidak dilakukan pencegahan sejak dini, siklus stunting akan terus berulang.
Lagipula, harus disadari bahwa remaja adalah calon orangtua masa depan. Sayangnya, mereka sedikit sekali mendapat pendidikan parenting, apalagi yang secara fokus memberikan pemahaman kesehatan dan pentingnya gizi seimbang.
Kurangnya pengetahuan remaja sebagai calon orangtua bisa meningkatkan risiko anak mengalami gangguan pertumbuhan hingga stunting. Oleh karena itu, stunting bukan lagi isu milik orang dewasa yang memiliki anak balita misalnya, tetapi remaja pun perlu diedukasi sejak dini agar mereka siap secara fisik dan mental jika kelak suatu hari mereka menjadi orangtua.
Remaja Kekurangan Gizi
Data Studi Diet Total di Indonesia menemukan bahwa 53 persen remaja berusia 13-18 tahun mengalami kekurangan energi kronis dan 48 persen alami kurang protein kronis. Belum lagi, anemia yang kerap diderita remaja putri.
Parents, kekurangan gizi pada remaja tak hanya mempengaruhi kesehatan dan daya belajarnya di sekolah, namun bisa mempengaruhi kesehatan anak yang kelak dilahirkannya di masa depan. Oleh karena itu, penting untuk menyediakan makanan bergizi seimbang di rumah.
Artikel terkait: Jika anak terdiagnosis stunting, ini yang perlu Parents lakukan
Peran Orangtua Mendukung Remaja
dr. Reisa Brotoasmoro pun menyampaikan pendapat serupa, bahwa pencegahan stunting harus dimulai sejak remaja. Sebab, di masa inilah anak-anak membangun fondasi pengetahuan dan sikap mereka. Jika tak diberi intervensi sejak remaja, akan sulit untuk mereka mengubah kebiasaannya setelah dewasa.
Menurut dr. Reisa, pola asuh orangtua sangat menentukan dalam mendukung remaja mencegah stunting. Orangtua perlu menyediakan makanan bergizi di rumah sebagai bagian dari pembentukan pola makan sehat. Terutama, batasi pemberian junkfood dan tingkatkan asupan buah dan sayur.
Selain itu, berikan edukasi kepada remaja tentang isu yang berkaitan dengan parenting, kesehatan reproduksi, serta stunting. Walau sudah bukan anak kecil lagi serta mulai mengembangkan perspektif sendiri, remaja tetap perlu didampingi dalam proses tumbuh kembangnya.
Namun jika orangtua merasa tak punya cukup kapasitas, dr. Reisa menambahkan, tak ada salahnya meminta bantuan tenaga profesional untuk memberikan edukasi kepada anak remaja.
Sementara itu, Melinda Mastan, Sarjana Gizi UI penerima Tanoto Scholar tahun 2017 mengatakan, remaja bisa menjadi pintu masuk program pencegahan stunting. Remaja bahkan bisa saja dilibatkan dalam program secara langsung.
“Dengan melibatkan remaja secara langsung, setidaknya kita bisa mendengar ide-ide mereka untuk mendapatkan perspektif baru,” terangnya.
Baca juga:
Lakukan Tips Ini Jika Anak Terdiagnosa Stunting
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.