Kisah Tara Perempuan Muda Penyintas Bipolar, "Jangan Lagi Ada Stigma, yang Dibutuhkan Support"

"Ketika depresi saya merasa tidak berguna, hilang nafsu makan, terus-terusan menangis tanpa alasan yang jelas, dan ada pikiran untuk bunuh diri," kata Tara.

“Saya memang sempat self-diagnose karena merasa dari 13 gejala, ada 10 gejala yang saya rasakan. Akhirnya saya memutuskan ke psikiater. Sayangnya, sampai sekarang masih banyak stigma masyarakat terhadap bipolar. Bahkan pada awalnya orangtua saya sendiri sempat denial,” terang Tara Audina, perempuan muda penyintas bipolar.

Hari Bipolar Sedunia baru saja diperingati pada tanggal 30 Maret lalu. Bipolar merupakan gangguan mental yang ditandai dengan perubahan emosi yang drastis. Seseorang yang menderita bipolar dapat merasakan gejala mania (sangat senang) dan depresif (sangat terpuruk).

Faktanya, penyintas bipolar memang hidup di tengah masyarakat Indonesia.  Sayangnya sampai saat ini stigma negatif masih banyak dialami oleh mereka yang mengalami bipolar.

Tak terkecuali, Tara Audina. Perempuan kelahiran 10 Agustus 1994 ini mengaku sering kali dibayangi stigma negatif terkait dengan penyakit mental, khususnya bipolar.

“Awalnya nggak berani cerita ke siapa-siapa kalau saya mengalami bipolar. Saya hanya berbagi dengan teman-temen terdekat saja, nggak berani ngungkapin ke keluarga dan orang lain. Saya takut nggak diterima, bahkan dengan keluarga sendiri. Dan benar saja, setelah ada yang mengetahui saya mengalami bipolar, banyak teman yang justru menjauh,” paparnya kepada theAsianparent ID. 

Lebih lanjut, perempuan jebolan Sastra Indonesia, Universitas Dipenegoro ini menceritakan apa yang ia rasakan dan alami sebagai penyintas bipolar.

Kisah Tara Penyintas Bipolar, Sempat Self Diagnose hingga Suicidal Thought

penyintas bipolar

Sumber: Instagram/@audinatara

Tara Audina adalah perempuan muda yang kini tengah menikmati hidupnya dengan melakukan berbagai kegiatan kreatif seperti menulis, menggambar, memasak, dan sesekali berakting. Dari luar, ia tampak seperti gadis lainnya yang antusias dan penuh percaya diri. 

Tara, begitu ia akrab disapa, lulus dari Ilmu Sastra Universitas Diponegoro, Semarang, belum lama ini. Di sana, ia menimba ilmu dengan penuh perjuangan dan berhasil lulus dengan IPK tiga koma.

Namun, perjuangan Tara nyatanya tidak sama dengan kebanyakan mahasiswa lainnya. Ia pernah berpindah-pindah kampus hingga 3 kali, bahkan pernah dikucilkan dan ditinggalkan oleh teman-temannya, dan sempat berpikir untuk bunuh diri. Semua itu karena gangguan bipolar yang ia miliki. 

“Saya mulai mengalami gejala bipolar pada masa SMA, sekitar tahun 2010-2012. Tapi saya baru ke psikiater pada tahun 2013, saat saya berumur 19 tahun,” ungkap Tara kepada theAsianparent Indonesia, Rabu (31/3/2021). 

Kala itu, ia mulai aware dengan kondisinya ketika mengalami gejala mania dan depresi. Saat mengalami mania, Tara susah tidur berhari-hari, pikiran loncat-loncat, impulsif, dan sangat bersemangat. Namun, dalam 30 menit, kondisi ini bisa tiba-tiba berubah menjadi fase depresi. 

“Ketika depresi saya merasa tidak berguna, hilang nafsu makan, terus-terusan menangis tanpa alasan yang jelas, dan ada pikiran untuk bunuh diri,”katanya. 

Sebelum benar-benar pergi menemui psikiater pada Agustus 2013, Tara mengaku pernah melakukan diagnosis sendiri. Namun, justru dari sinilah, ia mengetahui ada yang istimewa dari dirinya.

“Saya self-diagnose karena dari 13 gejala, saya paling mirip sama 10 gejala. Akhirnya saya memutuskan ke psikiater pada Agustus 2013,” terangnya. 

Baca juga: Deretan public figure selain Marshanda yang mengalami Bipolar Disorder, apa penyebabnya?

Kisah Tara Penyintas Bipolar, “Saya Tidak Kaget Saat Didiagnosis Bipolar”

penyintas bipolar

Sumber: Instagram/@audinatara

Perjalanan Tara mengenali kondisinya yang istimewa tidak berjalan dalam hitungan bulan. Ia harus bolak-balik ke dokter selama bertahun-tahun untuk benar-benar mengetahui bahwa dirinya mengidap bipolar. 

“Sebenarnya psikiater pertama saya, dr. Pramudya Purbyantoro di RSAL Mintohardjo tidak mengungkapkan diagnosis saya sampai akhirnya saya rutin berobat lagi ke dia di pertengahan tahun 2020. Namun saya [sudah pernah] mendapat diagnosis bipolar tipe 1 dari psikiater saya di Semarang, dr. Natalia Dewi Wardani pada tahun 2016,” ungkapnya. 

Ia juga tidak langsung terbuka kepada keluarganya mengenai kondisinya ini. Ibunda Tara, pernah menemaninya berobat namun, kala itu pun ibunya masih bersikap denial.

“Mama sempat tahu sedikit di tahun 2017 dan dia menemani saya berobat di sanatorium Dharmawangsa, tapi dia waktu itu belum terlalu percaya kalau saya bipolar,” kata Tara. 

Pada tahun 2020, ketika dokter akhirnya ‘ketuk palu’ mendiagnosis Tara menderita bipolar, ia tidak merasa kaget. Sebaliknya, ia merasa lega dengan kepastian tersebut. 

“Sebenarnya saya tidak kaget, karena saya sudah menduganya dari dulu. Malah, saya lega setelah mendapat diagnosisnya, karena saya tidak penasaran lagi dan bisa konsisten berobat,” ujarnya. 

Baca juga: 7 Tindakan Orangtua yang Bisa Menyebabkan Anak Alami Gangguan Bipolar

“Jangan Anggap Semua Gangguan Mental Berarti Gila”

penyintas bipolar

Lukisan yang dibuat oleh Tara. (Sumber: Instagram/@audinatara)

Sebelum mengonsumsi obat, Tara merasa hidupnya sangat kacau. Ia tak hanya menghadapi perubahan emosi, namun juga mengalami delusi dan halusinasi. Ia selalu merasa ada orang yang membicarakan dirinya padahal kenyataannya tidak. 

“Sebelum menjalani pengobatan, saya kacau sekali. Perubahan dari mania ke depresi atau sebaliknya sangat cepat. Ditambah lagi saya ada gejala psikotik berupa delusi dan halusinasi juga, seperti merasa dibicarakan oleh orang sekitar padahal tidak. Bahkan sampai sekarang saya masih mengalaminya,” tukasnya. 

Namun, setelah rutin minum obat, kehidupan Tara perlahan membaik. Pola tidurnya kembali teratur, ia lebih bisa mengendalikan emosinya, dan fase mania serta depresi yang ia rasakan mulai berkurang. 

Meski demikian, obat-obatan dari dokter ternyata bukan akhir dari perjuangan Tara. Perjuangannya masih panjang sebab, ia tak hanya harus rutin minum obat melainkan juga melawan stigma di sekitarnya. 

“Saya butuh support dari keluarga dan lingkungan, agar pengobatan saya berjalan maksimal. Juga, saya tidak mau di-stigma tentang gangguan bipolar saya, karena orang Indonesia cenderung menyamaratakan semua gangguan jiwa dengan gila,” tegasnya. 

Tara pun berpesan untuk para orangtua dengan anak bipolar, ia berharap mereka tidak mengabaikan kondisi anaknya. 

“Mereka harus dibawa ke psikiater agar diagnosisnya bisa ditegakkan. Berilah mereka support dalam pengobatan, dan jangan bersikap cuek atau toxic pada mereka. Karena support dari keluarga dan lingkungan sangat penting bagi orang dengan bipolar,” pungkasnya. 

Parents, itulah sepenggal kisah Tara, seorang penyintas bipolar yang hingga kini masih terus berjuang melawan stigma dan berdamai dengan kondisinya. Tara, terima kasih sudah mau berbagai ya! Semoga kisahmu menginspirasi anak muda lainnya agar tak mudah menyerah.

Baca juga:

9 Ciri-ciri bipolar pada anak, kenali sebelum terlambat!

5 Artis yang Berjuang Hadapi Gangguan Bipolar, Nomor 3 Tak Banyak yang Tahu!

Penyakit Gangguan Bipolar – Gejala, Penyebab, dan Cara Mengobati

 

Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.