Apakah Parents menyadari bahwa saat ini angka perceraian kian meningkat? Salah satu penyebab perceraian di Indonesia yang cukup mencengangkan salah satunya dikarenakan sosial media. Kok bisa?
Beberapa waktu lalu saya sempat mengikuti diskusi media terkait dengan keharmonisan rumah tangga,
‘Istri Resik, Pernikahan Harmonis’. Saat itu, Ajeng Raviando, M.Psi selaku psikolog keluarga memaparkan tren perceraian tahun ini semakin meningkat; angkanya sekitar 15-20%. Ia pun menjelaskan apa saja penyebab perceraian di Indonesia
Alasan utama perceraian nomor wahid yakni ketidakharmonisan dalam hubungan rumah tangga dan kedua adalah sosial media, disusul karena alasan faktor ekonomi dan orang ke-3.
Baca juga : Penelitian: Ini 7 hal yang sering menjadi penyebab perceraian
Tak hanya itu saja, menurut Ajeng, penyebab perceraian di Indonesia juga tidak terlepas adanya pergeseran pola pikir ketika banyak pasangan yang menilai bahwa pernikahan tak ubahnya pacaran. Jika merasa tidak cocok, bisa langsung berpisah.
Selain itu, saat ini banyak pasangan millenial memiliki cara pandang bahwa yang paling terpenting adalah bagaimana mereka bisa merasa bahagia. Saat pernikahan sudah dirasa tidak bahagia, dengan mudahnya dapat memutuskan untuk bercerai. Padahal semestinya memang tidak seperti itu.
“Kalau sudah nggak harmonis, nggak cocok, sering bertengkar, ya sudah bercerai saja. jadi seperti pacaran. Padahal sebuah pernikahan tidak seperti itu. Untuk mempertahankannya memang butuh kerja keras, usaha dan kemauan kedua belah pihak untuk saling memperbaiki dan berubah. Setelah bercerai apa menjamin bisa bahagia? Kan tidak” tuturnya.
Lantas apa kaitannya dengan masalah sosial media menyebabkan perceraian? Dalam hal ini Ajeng menjelaskan mengapa sosial media bisa memengaruhi kualitaas hubungan suami istri.
Sosial media menjadi salah satu penyebab perceraian di Indonesia karena mampu mengganggu quality time pasangan suami istri
Tidak bisa dipungkiri, saat ini tantangan pasangan suami istri kian meningkat. Salah satunya terkait dengan quality time. Sayangnya dengan berkurangnya waktu berkualitas, tidak membuat pasangan suami istri menghabiskan waktu bersama-sama. Mereka justru lebih asik dan sibuk bermain sosial media. Bahkan saat di area intim seperti tempat tidur.
“Nah, bagaimana bisa punya waktu berkualitas kalau di area imtim seperti tempat tidur masih asik sendiri-sendiri. Biasanya dengan alasan masih ada kerjaan sehingga masih asik dengan gadget-nya, kemudian keterusan sibuk main sosial media, bagaimana pasangan suami istri ni punya waktu berkualitas bicara dari hati ke hati?” ungkap Ajeng.
Sosial media dapat membuat mengubah ekspektasi pernikahan
“Wah… pasangan ini kok, mesra sekali, ya…. sering kali liburan bersama keluarga. Suaminya juga sangat perhatian dengan istrinya karena sering memberikan hadiah kejutan untuk istrinya. Sementara kenapa hubungan pernikahan saya biasa-biasa saja dan terasa begitu datar?”
Pernah tidak terbersit pemikiran seperti ini saat melihat seorang teman mengunggah foto di sosial media? Jika, ya, perasaan ini memang sangat wajar dan alamiah. Namun, perlu diingat bahwa pada dasarnya rumput tetangga memang akan terasa lebih hijau. Benar bukan?
Padahal kenyataannya tidak selamanya seperti itu, kok. Terlebih lagi jika selama hanya melihat dari akun sosial media di mana akun sosial media ini sebenarnya ibarat etalase toko.
Artinya, apa yang ditampilkan memang yang paling indah dan dianggap terbaik. Tak mengherankan jika pada akhirnya bisa memunculkan ekspektasi berlebihan.
“Sebelum melihat sosial media, sebenarnya pernikahan terasa baik-baik saja. Tapi begitu dibandingkan maka bisa memunculkan ekspektasi berlebih. Jika terus dibiarkan tentu saja akan memengaruhi kualitas pernikahan Anda dan pasangan.”
Apa yang bisa dilakukan untuk mencegah perceraian?
Oleh karena itulah, Ajeng mengingatkan agar pasangan suami istri lebih banyak memiliki waktu untuk saling berbicara khususnya bicara masalah soal rasa. Jangan sampai terjebak dengan rutinitas sehari-hari saja. Selain itu, Ajeng pun mengingatkan agar pasangan suami istri bisa belajar memahami bahasa cinta yang dibutuhkan oleh pasangannya.
Ada orang yang mementingkan afirmasi atau perilaku positif, “Ada pasangan yang sudah senang sekali kalau saat dia bercerita, pasangannya bisa mendengarkan dengan baik. Dengan begitu ia merasa didengarkan dan diperhatikan. Tapi ada juga pasangan yang mementingkan kebersamaan atau waktu berkualitas,” tukasnya.
Bahasa cinta lainnya bisa diungkapkan dalam bentuk hadiah, “Hadiahnya ini nggak perlu yang besar dan mewah, sekadar dibelikan makanan saat suami pulang kerja, atau dibelikan bunga juga sudah senang.”
Namun ada juga yang lebih senang bila pasangannya meladeni dan membantu, atau menyukai sentuhan dan belaian.
“Tiap orang memiliki bahasa cinta yang berbeda. Tugas kitalah untuk mencari tahu, mana bahasa cinta pasangan. Maunya seperti apa. Setidaknya kita juga perlu ingat kalau keharmonisan hubungan suami istri adalah tanggung jawab kedua pihak.”
Baca juga :
Ingin Bercerai? Baca Dulu 9 Nasihat Terapis Pernikahan Ini
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.