Pertambahan kasus COVID-19 masih membayangi banyak negara di dunia, tak terkecuali Indonesia. Apalagi belum lama muncul gejala baru yakni penyakit happy hypoxia yang akan membuat pasien COVID-19 meninggal tanpa menunjukkan gejala sama sekali. Oleh karena itu, penting bagi Parents mengetahui seperti apa gejala dan cara mencegah happy hypoxia ini.
Apa Itu Penyakit Happy Hypoxia?
Hypoxemia atau hipoksemia adalah berkurangnya kadar oksigen dalam darah yang disertai gangguan serta keluhan pada organ tubuh lainnya. Normalnya, kadar oksigen di dalam darah (saturasi oksigen) ada pada rentang 95–100% atau sekitar 75–100 mmHg. Ketika kadar oksigen berkurang hingga di bawah angka tersebut, tubuh akan mengalami kekurangan oksigen yang disebut hipoksemia atau hipoksia.
Mengutip Kompas, Ketua Umum Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Agus Dwi Susanto menyebutkan bahwa dalam kasus COVID-19 pasien memiliki gejala yang bervariasi. Gejala hipoksemia ini dirasakan ketika pasien sudah dalam kategori berat. Bahkan, pasien yang kritis dapat mengalami oksigenasi hingga kesulitan bernapas.
“Jadi kalau sudah terjadi pneumonia, atau terjadi pneumonia dan hipoxemia sampai gagal napas, itu umum ya di dalam darahnya terjadi yang namanya hipoxemia,” tuturnya. Lebih lanjut, Agus memaparkan bahwa tidak semua pasien merasakan hal ini.
Faktanya, terdapat sekitar 18,7 persen pasien yang tidak mengeluh sesak napas padahal saat diukur kadar oksigen dalam darahnya sudah menurun. Inilah kondisi yang disebut silent hipoxemia yang tidak menunjukkan gejala apapun.
Dengan kata lain, orang-orang yang kelihatannya tidak bergejala bisa saja keadaan oksigen di dalam darahnya rendah atau mengalami hipoksemia. Jika dibiarkan, kadar oksigen ini akan memengaruhi reseptor di dalam pembuluh darah. Reseptor tersebut akan memberikan peringatan di area saraf ke sistem saraf pusat, sehingga akan menimbulkan respons atau perasaaan sesak napas tanpa diikuti gejala atau keluhan pada organ tubuh lainnya.
“Jadi sementara ini, disinyalir virus SARS-CoV-2 ini mengganggu reseptor yang ada di dalam mekanisme saraf tersebut,” jelas Agus.
Penyebab dan Gejala Happy Hypoxia
Ada banyak hal yang dapat menyebabkan seseorang mengalami hipoksia antara lain:
- Kelainan jantung
- Gangguan fungsi paru-paru, misalnya asma, emfisema, bronkitis, pneumonia, PPOK, dan kanker paru-paru
- Gangguan pernapasan saat tidur atau sleep apnea
- Anemia
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, Happy Hypoxia tidak disertai dengan keluhan. Kondisi ini banyak ditemukan pada pasien yang telah terinfeksi Corona, bahkan akhirnya meninggal tanpa gejala. Dalam kondisi normal, seseorang yang mengalami hipoksemia akan merasakan hal berikut ini:
- Sesak napas
- Kelelahan
- Pusing, sakit kepala bahkan bisa pingsan
- Napas lebih pendek (dispnea)
- Napas lebih cepat (takipnea)
- Batuk
- Percepatan detak atau denyut jantung
- Perubahan warna kulit, menjadi biru pada ujung jari dan bibir
- Tubuh kehilangan keseimbangan
Pencegahan Penyakit Happy Hypoxia
Selain mengetahui gambaran besar dan penyebab kondisi ini, salah satu hal pasti yang dapat dilakukan agar terhindar dari happy hypoxia adalah menjaga diri sebisa mungkin agar tidak terpapar virus Corona.
Hingga saat ini, Agus mengatakan belum ada penjelasan ilmiah secara pasti dan jelas terkait happy hypoxia yang dialami pasien COVID-19. Kendati begitu, Agus memaparkan bahwa hal ini dapat dicegah dengan melakukan deteksi dini.
Deteksi dini dengan pemeriksaan kadar oksigen bisa dilakukan di fasilitas layanan kesehatan, dan juga bisa dilakukan secara mandiri. Selain termometer, pulse oksimetri merupakan alat yang dapat diandalkan untuk mengukur tingkat saturasi oksigen pada seseorang.
Saat tubuh kekurangan oksigen dan mengalami gangguan pernapasan, tingkat saturasinya akan akan sangat rendah. Oleh karena itu, pastikan untuk mengecek keadaan oksigen tubuh saat mengalami gejala tersebut.
Cara kerja alat ini sederhana, yaitu dengan menyinari kulit melalui ujung jari kemudian mendeteksi warna dan pergerakan sel darah dalam tubuh. Sel darah teroksigenasi berwarna merah cerah, sementara sel terdeoksigenasi berwarna merah tua.
Perangkat itu kemudian akan membandingkan jumlah sel darah merah terang dan sel darah merah gelap untuk menghitung saturasi oksigen ke dalam persentase. Misalnya, pembacaan 99 persen berarti hanya satu persen sel darah di aliran darah kita yang kekurangan oksigen.
Setiap kali jantung berdetak, darah akan terpompa ke seluruh tubuh dalam denyut nadi cepat. Pulse oximeter akan mendeteksi gerakan ini, dan menghitung detak jantung dalam detak per menit, atau BPM. Penggunaan alat ini dapat dilakukan bagi orang sehat maupun pasien COVID-19, namun tidak memiliki gejala happy hypoxia.
Parents, semoga informasi terkait penyakit happy hypoxia ini bermanfaat.
Baca juga:
Kenali Happy Hypoxia sebagai gejala terbaru COVID-19, apa itu?
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.