Masih ingat kehebohan akun Twitter @nyolongfoto yang kini sudah ditutup karena dilaporkan ramai-ramai oleh netizen sebagai akun yang sering melakukan pelecehan seksual ke perempuan? Pemilik akunnya belum diketahui hingga kini dan kasus ini menambah daftar panjang anggapan bahwa pelecehan seksual jarang dipolisikan.
Akun @nyolongfoto itu memotret para perempuan di kereta tanpa izin. Vice mencatat bahwa kadang foto candid tersebut diarahkan pada belahan dada, bokong, rok bawah, dan bagian pribadi lainnya.
Akun yang pernah membuat geram para netizen ini hanyalah satu di antara banyak akun media sosial yang suka melakukan pelecehan seksual ke perempuan. Sayangnya, adanya banyak kasus tak lantas membuat kepolisian dan lembaga terkait bergerak untuk mempidana pelakunya.
Fenomena pelecehan seksual jarang dipolisikan oleh korbannya ini terjadi tak hanya di Indonesia. Tapi juga di luar negeri.
Artikel terkait: 3 tanda kekerasan seksual yang dialami oleh anak.
Di Swedia misalnya. Setiap tahun, selalu saja ada kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual di festival musik Bravalla. Banyaknya laporan pelecehan dari para lelaki ke perempuan membuat pihak penyelenggara memutuskan untuk membuat aturan bahwa di tahun 2017 ini, lelaki dilarang masuk ke dalam lokasi konser Bravalla.
Pelarangan lelaki masuk ke area konser ini dilakukan sampai lelaki belajar untuk bersikap baik pada sesamanya. Dengan adanya pelarangan ini, para lelaki diharapkan untuk sadar konsekuensi sosial yang mesti diemban.
Jika kasusnya banyak dan terjadi di berbagai tempat, mengapa pelecehan seksual jarang dipolisikan? Berikut beberapa sebabnya:
1. Korbannya akan disalahkan
Saat terjadi peristiwa pelecehan seksual, biasanya orang akan menyalahkan korbannya. Misal dengan menyalahkan pakaian, mengapa ia berada di lokasi tersebut di waktu tersebut, mengapa ia sendirian, mengapa tidak berteriak, dan sebagainya.
Terlalu sering disalahkan ini membuat banyak wanita jadi makin enggan melaporkan pelecehan seksual yang ia hadapi. Karena sudah pesimis dengan respon kepolisian dan masyarakat sekitarnya.
2. Lelaki dianggap sebagai kucing, perempuan dianggap sebagai ikan
Banyak sekali orang yang menganggap wajar jika lelaki melecehkan perempuan. Karena, “kucing mana sih yang nggak suka dikasih ikan?”
Hal yang harus dipahami, lelaki bukanlah kucing, dan perempuan bukanlah ikan. Menganggap bahwa semua lelaki adalah kucing sama saja menghina semua lelaki karena dianggap lelaki tak bisa mengendalikan dirinya.
Lelaki yang baik tak akan menyentuh dan menikmati sesuatu yang bukan haknya. Lelaki beradab tidak akan mencuri maupun melukai orang lain.
Perempuan pun bukan ikan yang pasrah dengan apa yang terjadi adanya. Perempuan adalah makhluk utuh yang punya perasaan, bukan sesuatu yang hanya terdiri dari tulang, daging, dan darah semata.
Sebaiknya, kita berhenti menyamakan manusia dengan binatang maupun benda-benda lainnya. Manusia ya manusia. Mengapa harus berganti jadi kucing, ikan, permen, dan lainnya yang tidak manusiawi?
3. Tidak adanya payung hukum yang tepat
Di Indonesia, RUU penghapusan kekerasan seksual belum disahkan oleh DPR. Padahal, tanpa UU ini, sulit untuk mencari keadilan untuk korban pelecehan seksual dan perkosaan.
4. Pendidikan yang salah
Banyak orangtua mendidik anak perempuannya agar jadi wanita yang baik. Tapi jarang orangtua yang mendidik anak lelakinya untuk menghormati perempuan karena dianggap wajar jika lelaki bertindak seperti “pemburu”.
Perbedaan pendidikan ini membuat lelaki lebih bebas melakukan apapun sekalipun itu salah. Seolah jika terjadi sebuah pelecehan, wanita lah yang harus menjaga dirinya tanpa ada usaha lelaki untuk dapat mengendalikan dirinya.
Semoga saja, hukum kita nantinya akan jadi lebih baik lagi ke depannya. Jangan sampai orang sekitar kita jadi korban.
Baca juga:
Wajib Simpan! Kontak darurat pertolongan KDRT dan kekerasan seksual di seluruh Indonesia