Apakah setelah menjadi istri dan memiliki anak, passion ibu masih perlu dijalankan?
Pertanyaan yang cukup menyentil bagi saya. Well, dulu sejak masih kuliah saya termasuk perempuan yang mempunyai ambisi tinggi. Baik dalam hal akademis maupun karier.
Tahun 2016 saya mendapat pekerjaan sebagai engineer, dan saya cukup menikmati pekerjaan saya ini. Mulai dari mengerjakan project bersama customer dan vendor, melakukan riset, membuat report, serta mendapatkan ilmu-ilmu baru lainnya.
Saya memang cukup beruntung, ketika itu banyak mendapatkan kesempatan ikut training ini, training itu, tugas dinas ke sana-ke sini. Semuanya tentu saja makin memperkaya ilmu dan pengalaman saya.
Semua saya jalani dengan penuh suka cita.
Menikah, Membuat Hidup Saya Berubah
Hingga saatnya status saya akhirnya berubah. Setelah menikah dan menjadi ibu, dengan seabrek tugas rumah tangga sehari-hari, urus anak, urus suami, lama kelamaan ambisi itu kian meredup.
Tapi di balik itu semua timbul perasaan, “Kenapa, rasanya, kok, begini ya? Di mana passion saya yang dulu? Mana semangat saya yang dulu yang sangat menggebu-gebu?”
Saya sampai bertanya dalam hati, “Apakah kondisi yang saya rasakan ini normal? Apakah saya akan jadi ibu yang egois jika saya hanya memikirkan passion saya? Setelah jadi ibu, saya juga tetap ingin berdaya.Tapi, jika saya memutuskan untuk tetap bekerja, artinya saya akan kehilangan momen golden period-nya anak dong?”
Berbagai perasaan ini terus berkecamuk. Itu yang jadi pikiran saya selama ini.
Pelan-pelan, saya pun mencoba mencari tahu, dan mencari jawaban, sebernarnya apa yang ingin saya cari?Termasuk mulai banyak mendengar dan membaca artikel dari para psikolog.
Menurut psikolog anak dan keluarga, Ratih Ibrahim, rasa bersalah ibu ketika mewujudkan mimpinya adalah wujud dari besarnya dedikasi perempuan setelah menyandang gelar ibu.
Tapi, apakah lantas perasaan ini menjadi hal yang sehat? Sebetulnya tidak. Jika terus dibiarkan kondisi ini akan membuat ibu tidak bahagia sebab ada satu kebutuhan dirinya yang tidak terpenuhi yaitu aktualisasi diri.
Padahal, dalam teori Hierarki Kebutuhan yang dipopulerkan oleh Abraham Maslow, seorang pelopor aliran psikologi humanistik, aktualisasi diri adalah kebutuhan tertinggi manusia. Artinya dibutuhkan oleh siapapun, tanpa memandang usia dan gender. Tak terkecuali, para perempuan yang telah menjadi ibu!
Lalu, bagaimana dengan keinginan dan pertanyaan saja terkait dengan passion ibu?
Passion Ibu Harus Tetap Dipertahankan
Nah, nyatnya berusaha mewujudkan impian terpendam atau menghidupkan passion kita adalah salah satu bentuk aktualisasi diri.
Namanya juga kebutuhan, jika tidak terpenuhi, akan berdampak pada diri sendiri dan sekelilingnya. Sebab, ibu yang tidak bahagia karena tidak mengaktualisasi diri, akan lebih cepat murung, cepat marah, cepat tersinggung, dan merasa rendah diri.
Umh, perasaan inilah yang saya rasakan… Kok ini saya banget, ya? Rasanya jadi lebih sulit mengendalikan emosi.
Jadi apa kesimpulannya, apakah ibu masih perlu punya passion? Dari sini, akhirnya saya sadar bahwa passion ibu harus tetap ada .HARUS.
Saya pun percaya being passionate itu tidak hanya menguntungkan bagi diri kita sendiri, tapi juga bagi anak-anak kita. Anak akan belajar karena melihat bagaimana ibu mereka bertumbuh, dan bagaimana ibu mereka mencapai impiannya. Meski banyak yang harus dikerjakan, sambil mengurus rumah, anak-anak dan suami tercinta, seorang ibu harus tetap memiliki dan menikmati apa yang jadi minatnya.
Dengan meliat passion ibu, pada saat anak-anak tumbuh dewasa, mereka akan tidak mudah menyerah, seburuk apapun kondisi yang ada. Karena mereka ingat ibu mereka juga melakukan hal yang sama.
– Cikarang, 13 Agustus 2021, menulis adalah untuk menasehati diri sendiri.
Dewi Cahyanti, VIPP Member theAsianparent ID
Artikel Lain VIPP Member theAsianparent ID
id.theasianparent.com/kehamilan-pertamaku
Hamil dengan Kista, Inilah Pengalaman Berharga yang Kurasakan
Menjadi Ibu Membuat Lebih Kuat & Hebat, Proses Belajar Sepanjang Masa