Psikolog pernikahan selalu mengingatkan jika seluruh anggota keluarga memang sudah seharusnya bisa bertumbuh bersama-sama. Tak terkecuali pasangan suami istri sehingga bisa menjadi pasangan yang sepadan.
Dalam hal ini, baik istri dan suami tentu saja perlu meng-upgrade ilmu agar bisa terus bertumbuh bersama, dan memiliki satu frekwensi.
Faktanya, tidak sedikit dari pasangan suami istri yang kemudian berpikir dan menganggap kalau pasangannya sudah berubah. Mengatakan jika pasangannya sudah tidak sama lagi, bukan sosok yang sama seperti beberapa tahun silam, di awal pernikahan.
Ujung-ujugnya mengeluh dan mengatakan kalau tidak lagi jadi pasangan yang sepadan.
Tidak Lagi Jadi Pasangan yang Sepadan, Pernikahan Berakhir?
“Dia berubah, dia bukan sosok pria yang saya kenal 5 tahun lalu. Banyak sekali perbedaan di antara kami, sehingga kami tidak sejalan lagi. Tak lagi satu frekwensi. Saya tidak tahan, mungkinkan ini tanda kalau pernikahan kami memang harus berakhir?”
Pemikiran seperti di atas mungkin saja sedang terbersit di kepala Anda dan pasangan.
Penting untuk dipahami, semua orang tentu saja bisa berubah. Termasuk pribadi dan karakter seseorang yang sebenarnya bersifat dinamis. Hal ini dijelaskan Brent Roberts, psikolog di University of Illinois di Urbana-Champaign.
“Kepribadian adalah fenomena perkembangan. Ini bukan hanya hal statis yang membuat Anda terjebak.”
Kepribadian merupakan pola pikir, perasaan, dan perilaku yang dimiliki masing-masing orang secara berbeda. Beberapa orang cenderung menganggap kepribadian sebagai sesuatu yang tetap. Padahal, kenyataannya tidak seperti itu.
Dengan demikian, karakter atau kepribadian seseorang merupakan hal yang dinamis, sehingga seiring berjalannya waktu bisa berubah. Ini dipengaruhi berbagai macam faktor, seperti pengalaman hidup, pendidikan, gaya hidup, ataupun hal lainnya.
Semua Individu Akan Berubah dan Terus Bertumbuh
Dalam laman Instagramnya, Psikolog dengan nama lengkap Roslina Verauli, M.Psi.,Psi. ini pun membenarkannya.
“Seringkali pernikahan berubah karena orang-orang didalamnya berubah. Harapan, gaya hidup, religiusitas, karier dan pendidikan, keuangan, serta masih banyak lagi. Namun gagal membantu pasangan memahami perubahan-perubahan tersebut,” tulisnya.
Menurutnya, tidak sedikit pasangan suami istri yang mengeluhkan jika tidak lagi merasa sama dan sejalan dengan pasangannya. Setelah menjalani hubungan sekian lama mendadak tak lagi merasa dalam frekuensi yang sama dengan pasangan. Padahal, di awal relationship merasa saling cinta dan berada dalam frekuensi yang sama.
Saat hal ini terjadi, maka akan timbul berbagai pertanyaan. Mengapa ini terjadi? Kapan segalanya disadari berubah? Kenapa rasanya semuanya jadi berubah dan tidak sejalan lagi?
Verauli menjelaskan, memang banyak pasangan suami istri yang menganggap bahwa di awal pernikahan merasa ada banyak persamaan. Namun dalam perjalanannya, tiba-tiba lebih mudah mengangkat perbedaan yang terpampang nyata.
“Padahal, sejak awal Anda dan dia tak pernah benar-benar sama. Maklum, Anda dan dia dua individu yang terpisah. Sejak kapan, perbedaan Anda dan dia menjadi masalah?” tulisnya lagi.
Lakukan Hal Ini Saat Merasa Tak Lagi Satu Frekwensi
Kenyataannya, perjalanan pernikahan memang tidak selalu indah. Pasangan tak selalu sesuai harapan. Hal inilah yang kemudian menyebabkan komunikasi dengan pasangan harus berjalan dengan baik, dan dilakukan secara dua arah.
Pasangan suami istri perlu belajar untuk membicarakan terkait tentang harapan dan ekspektasi. Termasuk memahami ujung pangkal permasalahan yang muncul hingga akhirnya menjadi konflik dalam pernikahan.
“Pernahkah memahami, sejak kapan memiliki harapan dan aspirasi demikian? Apakah dari masa lalu? Apa core issue atau masalah utama yang menjadikan Anda mengembangkan harapan tertentu tentang pasangan? Bicarakan jujur dengan diri sendiri.”
Pada saat suami istri merasa tidak lagi jadi pasangan yang sepadan, hal ini memang disebabkan masing-masing individu telah berubah. Baik harapan, gaya hidup, religiusitas, karier dan pendidikan, keuangan, serta masih banyak lagi. Namun sayangnya perubahan ini tidak diimbangi dengan membantu pasangan memahami perubahan-perubahan tersebut.
“Bahkan ada yang memaksakan agar pasangan berubah ke arah yang sama seperti dirinya. Tak lagi mencintai pasangan apa adanya karena kini cinta bersyarat. Berharap pasangan menjadi seperti dirinya.”
“Saat pasangan tak sesuai harapan, muncul berbagai emosi negatif, seperti; kecewa, marah, sedih. Saat emosi negatif gagal dipahami, terabaikan, tak terselesaikan, perasaan menjadi mati. Mati rasa. Dan, segala perbedaan terpampang nyata. Tak lagi merasa dalam frekuensi yang sama. Lantas, merasa perpisahan adalah jawaban,” papar Verauli lagi
Ia pun mengingatkan, apabila semua pasangan mengakhiri pernikahan hanya karena tak lagi merasa dalam frekuensi yang sama, atau tak lagi menjadi pasangan yang sepadan, pernikahan akan sulit dipertahankan.
“Bahkan, saya tak yakin akan ada pernikahan di muka bumi. Toh, manusia memang tak pernah sama. Justru dengan perbedaan kita saling melengkapi. Dan, berupaya menikmati setiap persamaan antara Anda dan Dia,” tulisnya.
Dengan demikian, pada saat timbul perasaan tak lagi menjadi pasangan yang sepadan, bukan berarti pernikahan tidak bisa dipertahankan. Pernikahan bukan radio, ketika merasa tak lagi satu frekwensi dengan mudahnya pindah ke channel radio lainnya.
Baca Juga:
7 Tanda Seseorang Siap untuk Menikah Menurut Psikolog Roslina Verauli
id.theasianparent.com/tidak-merasa-bahagia-setelah-menikah
7 Arti Bahasa Tubuh Pria yang Kerap Dilakukan Suami, Cek di Sini!
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.