Memperingati Hari Guru, Menteri Agama imbau para guru cegah paham radikalisme

Apa yang bisa dilakukan untuk cegah paham radikalisme menyebar di sekolah?

Akhir tahun sudah di depan mata. Biasanya para orangtua sudah mulai sibuk memilih sekolah dengan beragam macam pertimbangan. Tak hanya melihat lokasi, biaya, namun tentu saja dengan mempertimbangkan berbagai aspek. Satu hal yang tak kalah penting, tentu saja memerhatikan apakah sekolah yang akan dipilih memiliki paham radikalisme atau tidak.

Faktanya, saat ini memang tidak sedikit sekolah yang terpapar ajaran intoleransi dan radikalisme. Mulai dari sekolah taman kanak-kanak, dan tingkat sekolah dasar. Fakta ini tentu saja sungguh memprihatinkan.

Padahal, bukankah melatih anak untuk berempati dan memiliki rasa toleransi harus diajarkan sejak dini? Di mulai dengan melatih agar bisa berteman dengan siapa pun tanpa perlu memandang bulu, dilihat dari status sosial terlebih agama.

Pentingnya lembaga pendidikan mencegah paham radikalisme

paham radikalisme

Kepada theAsianparent, Risa, seorang ibu yang memiliki anak perempuan berusia 8 tahun mengatakan bahwa dirinya sangat khawatir dengan paham radikalisme yang masuk ke sekolah. Pasalnya, putri sulungnya pernah diolok-olok oleh teman sekolahnya karena menganut agama yang berbeda.

“Anak saya dibilang kafir. Teman-temannya banyak yang bilang tidak mau berteman dengan anak saya hanya karena beda agama. Katanya, orang kafir tidak baik.”

Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan dan tidak bisa dibiarkan terus menerus. Di mana pun, pencegahan paham radikalisme tentu harus diupayakan.

Sebagai lembaga pendidikan, sekolah tentu saja diharapkan menjadi salah satu kunci agar paham radikalisme tidak berkembang. Tak hanya di lingkungan rumah, sekolah pun tempat di mana anak-anak bisa belajar bertoleransi dan berempati. Dengan demikian, paham radikalisme dapat dihentikan.

Hal ini tentu saja juga derkait dengan memastikan bahwa guru-guru di sekolah tidak memiliki paham radikalisme.

Mirisnya, survei terkini yang dirilis oleh beberapa lembaga seperti Wahid Institute, Pusat Pengkajian Islam Masyarakat (PPIM), dan Setara Institute mengindikasikan terjadinya penyebaran ajaran intoleransi dan paham radikalisme di lembaga pendidikan di Indonesia.

Artikel terkait : Kak Seto usulkan sekolah tiga hari, baik atau buruk? Ini tanggapan psikolog

Sekilas informasi tentang radikalisme yang perlu Parents pahami

paham radikalisme

Berdasarkan KBBI Edisi V terbitan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tahun 2016, kata ‘radikal’ bermakana secara mendasar (sampai kepada hal prinsip). Lalu, radikal adalah istilah politik yang bermakna amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan).

Sementara itu, untuk kata ‘radikalisme’ memiliki 3 arti berdasarkan KBBI. Pertama, paham atau aliran yang radikal dalam politik. Kedua, paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Ketiga, sikap ekstrem dalam aliran politik.

Sederhananya, radikalisme merupakan suatu paham atau gagasan yang menginginkan adanya perubahan sosial dan politik dengan menggunakan cara yang ekstem. Termasuk dengan cara kekerasan, bahkan juga teror.

Sebagai orang dewasa, khususnya orangtua dan guru, kita harus menjauhkan paham ini dari anak-anak, bahkan sejak dini.

Paham radikalisme di sekolah penting untuk kita waspadai untuk mencegah bibit-bibit yang akan menganut pola pikir sempit yang mendorongnya menjadi pelaku kekerasan.

paham radikalisme

Dikutip dari laman Detik News, dalam rangka memeringati Hari Guru, yang jatuh pada 25 November, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengimbau agar guru bisa mencegah paham radikalisme menyebar luas di sekolah.

Untuk itu, ia mengingatkan agar guru-guru bisa mendidik, khususnya menyebarkan agama melalui cara-cara yang penuh cinta dan kasih. Hal ini diungkapkan lantaran adanya guru berpaham radikal yang diam-diam menyebarkan aliran ini.

“Karena agama tidak bisa diajarkan dengan rasa benci, agama tidak bisa disebarkan dengan murka, dengan amarah,” tegasnya.

Lebih lanjut ia mengingatkan bahwa memberikan pemahaman agama dengan cara menebarkan kebencian dan kekerasan justru bertolak belakang dengan esensi agama. Pasalnya, apa pun agamanya, tentu saja selalu mengedepankan kedamaian dan kasih sayang.

Oleh karena itulah, guru sebagai pembimbing tentu diharapkan bisa memahami hal ini.

“Itulah mengapa saya tadi menekankan bahwa setiap guru, setiap pendidik senantiasa memiliki, menjaga, merawat rasa cinta pada diri mereka ketika menghadapi para siswa-siswi anak didik kita. Karena hanya dengan cinta kita bisa menanamkan nilai-nilai kebajikan, menanamkan dan mengajarkan nilai-nilai agama,” paparnya.

Baca juga:

PR akan dihapus dari sekolah, apa manfaatnya bagi anak?

Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.