Ada berbagai kondisi yang membuat seorang perempuan menikah saat hamil. Pertama, perempuan yang diceraikan oleh mantan suaminya atau ditinggal mati sang suami dalam keadaan hamil. Kedua, perempuan yang belum menikah dan melakukan hubungan hingga hingga hamil.
Di dalam Islam, kedua kondisi ini bisa memiliki hukum yang berbeda.
Hukum menikah saat hamil: wanita yang diceraikan oleh mantan suaminya dalam keadaan hamil
Menurut Ustadz Ammi Nur Baits, wanita yang diceraikan oleh mantan suaminya dalam keadaan hamil harus menunggu masa iddahnya untuk dapat menikah kembali. Masa iddah untuk wanita hamil adalah ketika ia melahirkan.
Hal itu dijelaskan dalam QS. At-Thalaq: 4
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Para wanita hamil, masa iddahnya sampai mereka melahirkan,”
Dari penjelasan tersebut, disimpulkan bila wanita yang menikah pada masa iddah maka pernikahannya termasuk terlarang dan statusnya batal.
وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ
“Dan janganlah kamu berazam (bertekad) untuk melakukan akad nikah, sampai masa iddah telah habis.” (QS. Al Baqarah: 235).
Lebih lanjut, Al-Fairuz Abadzi asy-Syafii menyebutkan
ولا يجوز نكاح المعتدة من غيره لقوله تعالى (ولا تعزموا عقدة النكاح حتى يبلغ الكتاب أجله) ولان العدة وجبت لحفظ النسب، فلو جوزنا فيها النكاح اختلط النسب وبطل المقصود
“Tidak boleh menikahi wanita yang menjalani masa ‘iddah setelah berpisah dari suaminya, berdasarkan firman Allah pada ayat di atas, dan mengingat adanya masa ‘iddah adalah untuk menjaga nasab.
Jika kita membolehkan nikah pada masa tersebut, tentu akan bercampurlah nasab dan tujuan nikah pun menjadi sia-sia.” (al-Muhadzab beserta syarh, 16:240).
Artikel terkait: 5 Hal yang wajib diketahui seputar hukum anak yang lahir dari pernikahan siri
Bila wanita yang diceraikan oleh mantan suaminya dan belum jatuh talak tiga, maka keduanya memiliki hak untuk rujuk. Ketentuan rujuk ini hanya berlaku ketika wanita belum melahirkan janinnya.
Dalam kasus ini, istilah yang digunakan bukan menikah tetapi rujuk. Sebab selama wanita masih menjalani masa iddah, dia masih memiliki hak untuk rujuk tanpa harus melalui akad nikah kembali.
Hukum ini berbeda ketika wanita telah melahirkan janinnya meskipun mantan suami belum menjatuhkan talak tiga. Dalam kasus ini, keduanya tidak memiliki hak rujuk dan hanya bisa kembali dengan akad nikah ulang. Artinya harus ada akad nikah baru, wali, saksi, dan suami wajib memberi mahar.
Bila cerai yang dijatuhkan mantan suami telah talak tiga. Maka keduanya tidak punya hak rujuk dan menikah kembali. Wanita harus menjalani masa iddah di tempat terpisah dengan suaminya sampai dia melahirkan.
Setelah melahirkan, dia menjadi wanita tanpa suami sehingga boleh menerima lamaran pernikahan dari pria lain.
Artikel terkait: Kisah seorang suami: “Satu kalimat inilah yang menyelamatkan pernikahan kami…”
Wanita yang belum menikah dan melakukan hubungan seksual hingga hamil
Wanita yang hamil karena hubungan seksual di luar pernikahan, dilarang menikah dengan pria yang menghamilinya. Hal ini dikarenakan janin yang ada di dalam kandungan wanita tersebut berasal dari air mani yang haram, sehingga janin itu bukan anaknya meskipun berasal dari air maninya.
Dalam fatwa Lajnah Daimah dinyatakan
وإذا كانت حاملا من الزنى، فلا تتزوج لا بالزاني ولا بغيره حتى تضع؛ لأن رحمها مشغول بنطفة لا تنسب للزاني، ولا لغيره تنسب لأمه، فالزاني لا ينسب إليه الطفل، مثلما قال النبي صلى الله عليه وسلم : الولد للفراش وللعاهر الحجر
“Jika ada wanita yang hamil karena zina maka dia tidak boleh dinikahkan dengan lelaki yang menzinainya maupun lelaki lainnya, sampai si wanita melahirkan. Karena rahimnya sedang ada isinya, berupa janin yang tidak boleh dinasabkan kepada lelaki yang menzinainya, tidak pula kepada orang lain, tetapi dia dinasabkan ke ibunya.
Lelaki pezina tidak diberi nasab hasil zinanya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Anak itu milik yang punya kasur (suami), sementara lelaki yang berzina terhalang.’” (Fatwa Lajnah Daimah, 21:46).
Adapun bila wanita tersebut menikah dengan pria lain yang tidak menghamilinya, maka pernikahan tersebut tetap dianggap batal secara hukum. Hal ini dikarenakan janin yang ada di dalam kandungan wanita tersebut berasal dari air mani orang lain.
Dari Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يسقي ماءه زرع غيره
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah dia menuangkan air maninya pada tanaman orang lain.” (HR. Ahmad 16542)
Namun di sisi lain, Surah An Nisa ayat 24 menjelaskan bahwa wanita yang hamil karena hubungan seksual di luar pernikahan boleh menikah dengan pria yang menzinainya maupun yang tidak menzinainya.
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali budak-budak perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki sebagai ketetapan Allah atas kamu. Dan dihalalkan bagimu selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu jika kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk berzina.
Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah mas kawinnya kepada mereka, sebagai suatu kewajiban. Tetapi tidak mengapa jika ternyata di antara kamu telah saling merelakannya, setelah ditetapkan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana,” (An Nisa ayat 24)
Lebih lanjut, berdasarkan hadist rasul memperkuat alasan ini. Hal itu dikarenakan perbuatan zina yang haram hukumnya tidak menghalangi perbuatan yang halal yakni menikah.
“Perbuatan yang haram (zina) itu tidak menyebabkan haramnya perbuatan yang halal,” (HR Ibn Majah)
Artikel terkait: Ulama: “Anak perempuan 14 tahun harusnya sudah boleh menikah,” Parents setuju?
Selain disebutkan dalam Al qur’an dan hadits, para ulama juga memiliki pendapat yang berbeda sesuai dengan mazhab yang dianut.
Menurut para Ulama Syafi’iah, hukum menikahi wanita saat hamil adalah sah selama tidak ada dalil yang melarangnya. Imam syafiiah juga menjelaskan bahwa wanita yang hamil boleh menikah dengan laki-laki yang menzinainya maupun yang tidak menzinainya.
Pernikahan tersebut diperbolehkan menurut mazhab syafiiah selama pernikahan tersebut memenuhi syarat nikah dan adanya ijab kabul. Ulama syafiiah juga berpendapat bahwa wanita menikah saat hamil tidak memiliki masa iddah.
Pendapat tersebut hampir sejalan dengan pendapat Ulama hanafiyah bahwa pernikahan wanita saat hamil hukumnya sah apabila ia menikah dengan pria yang menzinainya dan memenuhi syarat maupun akad nikah.
Ulama Hanafiyah berpendapat demikian karena mengacu pada ayat Al qur’an bahwa wanita yang hamil bukanlah salah satu wanita yang haram untuk dinikahi. Hal ini disebutkan dalam Al qur’an surat An Nisa ayat 23.
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-audaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” (Q.S An-Nisa 23)
Namun di sisi lain, Ulama Hanabilah tidak sependapat. Tidaklah sah pernikahan wanita dalam keadaan hamil dan sang wanita baru boleh menikah setelah lewat masa iddahnya yakni setelah melahirkan bayi dalam kandungannya.
Jika wanita tetap menikah dalam keadaan hamil maka pernikahan itu tidak sah menurut ulama Hanabilah.
Ulama malikiyah juga sependapat dengan ulama hanabilah bahwa wanita yang hamil memiliki masa iddah. Oleh karena itu, pernikahan wanita hamil dengan pria yang menzinainya maupun yang tidak menzinainya tidaklah sah sampai wanita tersebut melahirkan.
Referensi: Dalam Islam, Konsultan Syariah
Baca juga
10 Artis yang Meraih Bahagia di Pernikahan Kedua, Maia Estianty hingga Hanung Bramantyo