Perpisahan atau perceraian acap kali menimbulkan masalah serius, bagi orang tua yang berpisah maupun anak-anak. Meski demikian, bukan berarti tidak bisa mengoptimalkan pendidikan anak broken home
Setiap manusia tidak akan pernah menuliskan outline hidupnya penuh masalah dan berakhir nestapa. Semua berharap perjalanan hidupnya berjalan baik dan lancar. Bukan hanya bagi orang dewasa, melainkan bagi anak-anak.
Sayangnya, tidak semua hal berjalan mulus seperti yang kita harapkan. Salah satu contohnya adalah pernikahan yang berakhir dengan perceraian.
Bila memandang wajah putri saya ketika tidur, air mata ini perlahan menetes tanpa diminta. Begitu berat beban yang ia rasakan.
Anak yang berusia 10 tahun itu kini menanggung cerita pedih dan sedih. Jangankan dia, saya saja masih merasakan getir-getir pahit yang tidak bisa dengan mudah dikatakan “saya baik-baik saja” walaupun sudah tiga tahun berlalu. Perasaan yang mungkin hanya tergambar oleh orang yang pernah bercerai dan memiliki anak dengan status broken home.
Saya tidak begitu ingin mencari tahu istilah broken home sendiri seperti apa. Yang saya pahami, apabila sesuatu awalnya sebuah keluarga utuh, kemudian menjadi tercerai berai, adalah sebuah kepahitan dan cerita kelam tersendiri.
Walau, akhirnya saya memutuskan untuk terus melanjutkan hidup bersama pasangan saya yang baru, dengan berbagai alasan yang cukup saya saja tahu.
Mencoba Mamahami Perasaan dan Kebutuhan Putriku
Kembali ke persoalan putri saya. Saya sering kali mencoba memahami dan memosisikan diri saya sebagai dirinya. Menerka-nerka, seberapa besar luka itu. Menerka-nerka, apakah masa kecilnya ini akan berpengaruh ketika dia dewasa nanti?
Entahlah, begitu banyak pertanyaan yang belum mampu saya temukan jawabannya. Sebagai ibu, yang saya tahu, saya akan berusaha mendampinginya, membuatnya tangguh di kemudian hari dan terus berusaha
Perpisahan atau perceraian acap kali menimbulkan masalah serius, bagi orang tua yang berpisah maupun anak-anak. Meski demikian, bukan berarti tidak bisa mengoptimalkan pendidikan anak broken home
Saat perpisahan terjadi, ia masih berumur tujuh tahun. Dua tahun kami hidup cukup sepi, seolah menjalankan rutinitas sembari menata diri. Tak ada yang benar-benar berjalan dengan baik.
Saya selaku ibu yang juga hatinya remuk redam, berjalan pada jalan berduri yang tidak dapat saya umpamakan, apakah itu kategori trauma, ataukah psikis saya memang belum sepenuhnya kembali seperti saya yang lalu.
Putri saya pun begitu, ia mencoba sekuat tenaga menjadi tangguh di usianya yang terbilang masih kecil. ia diam-diam mengamati dan mencermati kehidupannya. Kami akhirnya sama-sama berjuang untuk bisa kuat menjalani hari, apa pun itu dan bagaimana pun kondisinya. Terlebih mengenai pendidikan menjadi prioritas utama.
Setiap orang, bisa jadi memiliki cara dan pemikiran yang berbeda dalam memberi perlakuan pada anak. Begitu juga saya. Saya harus ekstra hati-hati, agar putri saya tidak salah jalan, tertekan dan berpikir pada hal yang menjerumuskannya nanti.
Ada beberapa pola atau poin yang saya terapkan agar pendidikan anak optimal walaupun dalam posisi keluarga yang broken home.
Mengoptimalkan Pendidikan Anak Broken Home, Ini yang Saya Lakukan
-
Pendidikan Agama
Mungkin dulu, hal inilah yang menjadi konsep pertama yang tidak ada dalam keluarga. Kita menjalani hari seolah dunia adalah prioritas. Padahal, agama merupakan nilai tertinggi yang perlu terus dipupuk pada diri sendiri maupun lingkungan keluarga.
Agama sejatinya pondasi dalam bertindaktanduk, maupun bertutur kata. Dengan agama pulalah semua masalah dapat terurai dengan tenang dan baik. Selalu ada cara untuk meminimalisir keadaan buruk dengan berpegang teguh pada keyakinan. Bahwa Tuhan selalu bersama kita.
Untuk itulah, pendidikan agama di keluarga saya kuatkan kembali. Kesedihan yang mungkin masih dirasakan putri saya dapat menemukan keteduhan dalam hatinya.
Ia bisa merasa dekat dengan penciptanya, merasa diberkahi hidupnya walau berbeda dari anak-anak yang keluarganya utuh, Dengan bantuan suami atau Bapak sambungnya, putri saya mulai rutin melakukan ibadah, berdoa, mengaji dan menerapkan nilai-nilai agama dalam kesehariannya.
-
Mengoptimalkan Pendidikan Anak Broken Home, Dampingi Proses Belajar Daring
Saat pademi yang terus saja berlangsung, menjadi sebuah konsekuensi bahwa pembelajaran tatap muka belum dapat dilakukan dan diganti dengan pembelajaran daring. Pembelajaran dengan skema ini bukan hal yang mudah dilakukan. Semua pihak terlibat, dan untuk hasil maksimal tentu orang tua sangat-sangatlah berperan penting.
Untungnya, saya dan bapak sambung putri saya, secara bersama-sama mengecek kesiapan dan tugas-tugas yang diberikan. Terutama bila memerlukan pembuatan video dan foto, kami selalu membantu putri kami dengan porsi yang tepat. Apalagi, penggunaan gadget kami batasi, sehingga komunikasi guru juga langsung ke orang tua.
Hal itu dilakukan karena usianya yang masih kecil serta grup yang dibuat oleh guru memang teruntuk orang tua. Kecuali ada pertemuan semacam zoom meeting, maka putri saya menggunakan ponsel milik saya atau bapaknya.
-
Memberikan Kegiatan Bermanfaat yang Mengembangkan Bakat Anak
Selain pemulihan dan penerimaannya pada kehidupan yang baru ini, putri saya perlu saya amati dari sisi psikisnya. Terutama saat pandemi ini, khususnya masa PPKM darurat yang benar-benar membuatnya tidak bisa beraktivitas di luar rumah. Pastilah ini akan menjadikannya sedikit merasa bosan dan jenuh.
Mencoba untuk mengurai persoalan itu, saya memberikan alternatif pada putri saya. Kebetulan, ia suka menggambar dan mewarnaai.
Saya tanya, “Apakah adek mau ikut kelas menggambar online?” ketika ia telah memberikan persetujuannya. Maka saya coba daftarkan. Guru sketsa dan lukis ini adalah teman atau kenalan saya, sangat mudah saya mendapatkan akses dan informasi mengenai perkembangan putri saya. Selain itu, aplikasi yang terinstall di ponsel juga bisa saya amati.
Ia menginstall aplikasi Medibang di ponsel. Detail pengerjaannya mudah saya amati dari kejauhan. Ia sudah mulai bisa membuat komik ala kadarnya. Beberapa hari ini, saya perhatikan skillnya meningkat. Ia sudah bisa membuat karakter yang lebih bagus lagi. Saya bangga, akan apa yang sudah putri saya kerjakan. Aktivitas menyenangkan ini pastinya akan bermanfaat untuknya kelak.
-
Melakukan Hobi
Bicara pendidikan tidak hanya mengenai pendidikan secara akademik maupun nonakademi yang bisa ditempuh melalui jalur pendidikan seperti pada poin 2 dan 3, melainkan pendidikan tentunya berakar pada sikap dan empati.
Menanamkan karakter itu tentulah bukan berasal dari pendidikan formal maupun informal, melainkan dari kebiasaan. Saya membiarkan putri saya untuk bisa beradaptasi dengan lingkungannya, melalukan hobi yang menurut kami selaku orang tua dapat menumbuhkembangkan rasa kasih dalam dirinya.
Putri saya merawat hewan peliharaannya sebagai salah satu hobi di luar aktivitasnya membuat sketsa atau gambar. Ia memelihara tiga ekor hamster di rumah. Kami menyiapkan pakannya dan ia secara rutin dan penuh tanggung jawab membesarkan hamsternya.
Perlu ketekunan dan ketelatenan dalam merawat makhluk hidup. Pernah suatu waktu, salah satu hamsternya mati. Ia begitu sedih, merasa kehilangan. Dari situ saya menjelaskan, bahwa mati adalah sesuatu yang pasti dilalui oleh makhluk hidup, tidak hanya hamster melainkan manusia.
Mengajak anak berdialog tentang apa yang dilakukannya serta berdiskusi di sela-sela waktu membuatnya memiliki wawasan yang terbuka tentang banyak hal. Hidup boleh jadi tidak sesuai harapan, tapi pilihan selalu ada pada diri kita sendiri. Memilih bahagia atau merasa selalu tertekan.
Saya tentulah masih banyak kekurangan dalam mendidik anak, namun upaya mengoptimalkan harus terus dilakukan. Semoga pengalaman dan upaya saya mengoptimalkan pendidikan anak broken home yang yang tuliskan ini bisa bermanfaat untuk orang tua lainnya.
Ditulis oleh Ira Diana, VIPP Member theAsianparent ID
Artikel Lain yang Ditulis VIPP Member theAsianparent ID
"Dinyinyiri karena Memilih jadi Fulltime Mom, Tapi Aku Tak Pernah Menyesal"