Gangguan Obsesif Kompulsif atau Obsessive Compulsive Disorder atau OCD adalah sebuah kondisi mental di mana penderitanya memiliki pemikiran obsesif dan bertindak kompulsif. OCD pada anak akan membuat pikirannya memproduksi ketakutan (obsesif) tertentu yang tak bisa ia hindari dan akhirnya melakukan tindakan berulang (kompulsif).
Apa itu OCD pada anak?
Secara general, OCD adalah pemikiran seseorang yang berlebihan sehingga berujung pada perilaku yang berulang atau kompulsif. Karakteristik obsessive compulsive disorder ini ditandai dengan pemikiran dan rasa takut (obsesi) tak berdasar yang pada akhirnya memicu perilaku kompulsif.
Obsesi yang umum terjadi dalam kasus OCD pada anak adalah takut kotor, takut kuman, takut menyakiti diri sendiri dan orang lain, maupun ketakutan akan melakukan sebuah kesalahan yang buruk. Biasanya, penderita OCD melakukan tindakan berulang untuk mengatasi ketakutannya.
Contohnya takut dengan kotoran, sampah, atau kuman. Penderita OCD juga memiliki perhatian berlebih menyangkut urutan, bentuk, keseragaman, atau ketepatan. Ada pula jenis OCD yang selalu berpikir tentang suara, gambar, kata-kata, dan angka-angka tertentu.
Hal yang sering membuat repot orangtua dengan anak penderita OCD adalah jika anak terlalu khawatir dengan persoalan kesehatan, keamanan, setan, tokoh fiksi, dan semacamnya. Awalnya OCD hanya dikenal pada orang dewasa, namun belakangan anak-anak juga didagnosa menderita OCD.
Umumnya, kecemasan pada anak usia 2,5 tahun adalah normal sesuai dengan perkembangan tubuh dan otaknya. Saat usia 4 tahun anak perlahan akan mulai mengenali lingkungannya sehingga kecemasan-kecemasannya hilang.
Namun, bagi anak penderita OCD, saat usia 4 tahun kecemasan-kecemasan berlebihannya tidak hilang.
Penyebab OCD pada Anak
Menurut laman healthy places, setidaknya ada 4 penyebab anak mengalami OCD. Diantaranya :
1. Faktor biologis
OCD pada anak disebabkan adanya kekurangan pada serotonin yang merupakan senyawa kimia dalam otak. Hal itu menyebabkan penghantar yang merangsang sel-sel saraf dalam otak yang berkomunikasi satu sama lain tidak bekerja dengan baik.
Beberapa ahli juga mengindikasikan bahwa OCD bisa jadi faktor genetik yang diwariskan dari orangtua ke anak.
2. Faktor lingkungan
Kebiasaan keluarga yang mengajarkan hidup terlalu bersih atau terlalu teratur juga menjadi penyebab terjadinya OCD. Dari sini anak akan belajar dan terbiasa dengan pola tertentu sehingga ia akan cemas jika keluar dari pola yang biasa.
3. Faktor Psikologis
Siksaan fisik dan emosional, perubahan situasi secara drastis, kematian orang yang dicintai, perceraian orangtua, permasalahan di sekolah, atau trauma lainnya bisa jadi faktu penyebab OCD pada anak.
4. Faktor Infeksi bakteri
Bakteri seperti streptococcal bisa berdampak pada kinerja otak dan saraf sehingga mengganggu proses logisnya dalam mengelola informasi. Sehingga anak akan memiliki ketakutan dan kecemasan berlebihan terhadap sesuatu.
Dampak OCD pada anak
Berikut ini beberapa dampak OCD yang dapat dialami oleh anak:
1. Kelelahan
Anak akan melakukan hal yang sama terus menerus. Misalnya, ia akan mencuci tangan terus menerus karena merasa tangannya masih dipenuhi kuman. Anak akan mengunci pintu berkali-kali untuk memastikan ia aman.
2. Kurangnya konsentrasi
Karena anak terus menerus cemas soal tertentu, ia jadi kehilangan konsentrasi tentang apa yang dia kerjakan. Ia tak akan bisa belajar tenang jika ia terus menerus memikirkan kebersihan tangannya. Ia juga tak akan bisa tidur jika ia selalu memikirkan apakah ia telah mengunci pintu dengan benar atau belum.
3. Sulit beradaptasi dengan lingkungan baru
Saat terbiasa dengan pola yang sama setiap hari, anak OCD akan mengalami kecemasan luar biasa jika keluar dari pola rutinitasnya. Ia akan marah jika orang tidak mengikuti ketepatan waktunya. Bahkan, ia akan mengamuk jika susunan ruangan atau pola tertentu yang biasa ia lihat tidak terlihat teratur seperti biasa.
Orang sekitar yang tak memahami OCD juga akan dibuat kesal karena menganggap bahwa penderita OCD terlalu disiplin, terlalu rapi, terlalu bersih, atau terlalu sering mengoreksi tata bahasa orang lain (grammar). Ini mengakibatkan banyak orang yang memiliki gangguan obsesif kompulsif tidak memiliki teman.
4. Malas
Saat anak takut kotor, ia akan kehilangan kesempatan bermain di luar ruangan yang memungkinkan bajunya kena kotoran. Ia juga malas untuk membuat sesuatu yang baru di luar rutinitasnya.
Padahal, di usia 4-15 tahun, kesempatan untuk mengeksplorasi bakat dan kemampuan diri sedang berkembang. Mencoba sesuatu yang baru adalah salah satu cara mengembangkan bakat anak.
Terapi untuk menghilangkan OCD
Dalam laman child mind disebutkan bahwa anak OCD bisa sembuh dengan terapi. Terapi mengatasi OCD adalah sebagai berikut:
1. Terapi Perilaku
Dalam terapi ini, anak akan belajar untuk menghadapi ketakutannya. Sehingga ia akan mengalami pikiran obsesif tertentu selama beberapa periode namun tanpa tindakan kompulsif.
Terapi ini butuh dukungan orangtua dan terapis berpengalaman. Jika berhasil, otak anak akan membentuk pola perlawanan terhadap obsesinya dan mengontrol perilakunya.
2. Terapi medis
Anak akan diberi obat yang dapat mengontrol serotin di otaknya dan membuat otak lebih rileks. Jika anak mulai dapat mengontrol obsesinya, maka proses medikasi bisa berhenti.
Sekalipun anak sudah tampak sembuh setelah menjalani terapi perilaku dan medikasi, kondisi mentalnya harus dicek secara rutin.
Daftar orang terkenal yang didiagnosa OCD
Jangan terlalu khawatir dengan masa depan anak dengan OCD ya, Parents. Deretan orang sukses yang juga divonis memiliki OCD adalah sebagai berikut:
Bintang Film
Leonardo Dicaprio. Di kalangan aktrisnya ada Jessica Alba, Cameron Diaz, dan Charlize Theron.
Penyanyi
Justin Timberlake, Katy Perry, dan Michael Jackson.
Atlet
David Beckham, Steven Gerard, dan Tim Howard.
Ilmuwan
Albert Einsten, Nicola Tesla, dan Charles Darwin.
Seniman
Pelukis Michelangelo, komposer Ludwin Van Bethoven, da n Penulis cerita anak-anak Charles Dickens.
Jadi parents, jangan pernah menyerah dengan kondisi gangguan obsesif kompulsif pada anak ya. Segera periksakan ke psikiater agar anak dapat segera menjalani terapi dan hidup normal seperti yang lainnya. Dengan dukungan keluarga dan lingkungan, anak tetap bisa sukses di bidangnya.
Baca juga