Masa remaja adalah waktu transisi dari anak-anak menuju usia dewasa. Proses transisi ini tak mudah untuk dilalui bagi sebagian besar orang. Pencarian jati diri dan keinginan untuk berekspresi di media sosial kerap membuat mereka jadi korban bullying di medsos (media sosial).
Sebenarnya, tak hanya orang terkenal yang bisa jadi korban cyber bullying. Karena, bullying di medsos yang dilakukan oleh teman sekolah pun dapat membuat seorang remaja mengalami depresi berat.
Namun, menjadi seorang remaja yang dikenal banyak orang akan membuatnya rentan jadi korban cyber bullying. Misalnya para artis remaja, selebgram, maupun pesohor media sosial lain.
Contoh artis remaja yang pernah sangat depresi berat karena bullying di medsos adalah Aliando Syarief. Ia sampai pergi ke luar negeri dan ke menjalani terapi khusus ke psikolog untuk menyembuhkan depresinya.
Artikel terkait: Kenali Perbedaan Depresi dan Stres: Gejala, Jenis, dan Cara Penanganannya
Sebagai orang dewasa yang pernah melewati masa remaja, tentunya kita menyadari bahwa remaja selalu memiliki keinginan untuk protes pada aturan. Namun, banyak orang dewasa yang lupa dengan ‘kenakalannya’ sendiri di masa remaja sehingga merasa berhak menghakimi orang dengan usia jauh di bawahnya.
Apalagi jika orang dewasa tersebut merasa bahwa remaja yang ia bully secara online itu tidak bermutu, melakukan kesalahan, rapuh, dan sebagainya.
Memahami jalan pikiran para pelaku bullying
“Saat ini dengan adanya media sosial dan pemahaman kebebasan berbicara yang keliru, tampaknya tua muda rentan menjadi pelaku atau korban bullying,” tegas Fitria Lazzarini Latief, M. Psi, seorang psikolog dari Yayasan Pulih.
Ia menjelaskan bahwa pelaku bullying sebenarnya memiliki kesamaan dengan perilaku kekerasan lainnya, yaitu adanya relasi kuasa. Relasi kuasa inilah yang membuat seseorang yang merasa di pihak dominan sehingga menekan mereka yang dianggap subordinat.
Dominan dalam hal ini bisa bermakna luas. Berikut sebagian pengelompokan orang yang rentan di-bully:
- Dari sisi usia: bullying dilakukan oleh senior kepada junior di sebuah lembaga.
- Dari sisi fisik: bullying dilakukan oleh orang yang berpostur tubuh yang lebih besar/berotot terhadap yang lebih kecil, tinggi terhadap pendek, dan lainnya. Bisa juga dilakukan oleh orang yang memiliki fisik lengkap kepada orang dengan disabilitas maupun kepada orang dengan penampilan berbeda.
- Dari sisi keluwesan sosial: bullying dilakukan oleh orang populer kepada orang yang tampak canggung atau culun.
- Dari sisi situasi normatif: bullying karena adanya kelompok mayoritas – minoritas, kelas sosial kaya dan miskin, maupun orientasi seksual yang berbeda.
- Dari sisi mereka yang tampak berbeda dari lainnya: misalkan bullying terhadap anak yang paling tinggi, bullying terhadap orang yang punya pandangan politik berbeda, dan sebagainya.
Seseorang yang senang melakukan bullying biasanya karena memiliki kebutuhan yang tak terpenuhi. Ia ingin memiliki kekuasaan yang tinggi dan cenderung berusaha untuk tampil menonjol. Tak jarang mereka akan melakukan apa saja, termasuk mem-bully, agar terlihat berkuasa.
Sementara mereka yang memiliki kebutuhan pergaulan yang tinggi, jika berada dalam kelompok yang suka mem-bully, sekalipun ia sendiri tak sepenuhnya setuju, ia tetap memiliki kecenderungan untuk ikut-ikutan mem-bully agar tidak kehilangan teman.
Cara membantu remaja yang jadi korban bullying di medsos
Beberapa waktu lalu, dunia media sosial dihebohkan dengan seorang Facebooker remaja bernama pena Afi Nihaya Faradisa. Sekalipun sudah melakukan permintaan maaf secara terbuka atas plagiasi tulisan yang ia lakukan, Afi tetap menjadi ‘samsak tinju’ bagi netizen yang tidak puas mem-bully-nya.
Perbedaan mendasar bullying di medsos dengan bullying di dunia nyata adalah jumlah pembully dan apakah korban mengenal pelaku.
Sebagai contoh, jika seorang anak di-bully di sekolah, ia dapat mengenali orang yang mem-bully-nya dan mengetahui berapa jumlah orang yang menyerangnya. Waktu bullying pun terbatas, hanya saat anak tersebut berada di sekolah saja.
Namun, ketika seseorang menjadi korban bullying di medsos, ia bisa diserang oleh ribuan orang tak dikenal setiap saat. Karena merasa tidak kenal dengan korbannya, maka para pem-bully semakin merasa bebas mengatakan apa saja pada korbannya.
Semakin banyak hujatan yang datang, potensi depresi yang dialami remaja korban bullying juga makin besar. Depresi yang dialaminya merupakan respon normal mental manusia atas situasi tidak normal yang dialaminya.
Jika Anda menemukan ada anak maupun remaja yang jadi korban cyber bullying, ini beberapa hal yang bisa Anda lakukan sesuai dengan saran dari psikolog Yayasan Pulih untuk membantunya:
1. Berikan dukungan
Sekalipun remaja tersebut melakukan kesalahan, namun sebagai orang dewasa Anda perlu menyadari sepenuhnya bahwa Anda pun bisa melakukan kesalahan yang sama. Dengan memahami ini, Anda bisa berempati dengan korban bullying tersebut.
“Bullying itu sangat berdampak di kehidupan orang lho… Meski hanya sebaris atau satu kata, efeknya bisa sangat mendalam pada korban yang di-bully. Tidak ada seorangpun yang pantas untuk di-bully. Jadilah temannya, dengarkan ceritanya, tanyalah apa yang ia butuhkan, dan hubungkan ia dengan lembaga pendampingan yang sesuai kebutuhannya.
Anda bisa membantu memulihkan mentalnya dengan masuk ke jalur pribadi korban untuk menghindari perdebatan dengan orang lain yang mem-bully-nya. Tanyakan bagaimana kondisi anak, beri dukungan, dan bantu mencarikan informasi mengenai lembaga pendampingan jika memungkinkan.
Jika punya pengalaman yang mirip dengannya, Anda boleh berbagi pengalaman tersebut agar anak punya pandangan lain tentang apa yang dialaminya. Namun, hindari untuk memaksakan pola pikir apalagi menceramahi anak.
Untuk orang tua yang anaknya jadi korban bullying maupun pendamping korban bullying, ada baiknya untuk mengajarkan anak untuk bertangung jawab jika memang ada porsi kesalahan anak yang harus ditanggung dengan mendampingi anak untuk hadapi konsekuensi dari perbuatannya.
2. Hindari memviralkan kasusnya
Jika Anda ingin mengangkat pemberitaan, fokuslah pada dampak yang akan dialami oleh korban dan berikan info terkait pemulihan mentalnya. Ajari korban etika bersosial media dan efek yang ditimbulkan olehnya.
Tak semua anak seberuntung Azka, putra Deddy Corbuzier. Azka telah dididik oleh orang tuanya tentang cara menghadapi bullying di medsos beserta dengan dampak yang akan ditimbulkan sejak Azka belum aktif di media sosial. Bahkan masih banyak orang tua yang tidak mengetahui bahwa anaknya memiliki media sosial dan bisa menjadi korban bullying.
3. Ingatkan korban untuk ‘istirahat’
Salah satu caranya adalah dengan memintanya untuk stop baca media sosial untuk sementara waktu. Minta ia untuk fokus pada diri sendiri dulu.
“Remember that not everyone gonna like us. Fokuslah pada hubungan yang real (bukan virtual). Bagilah pemikiran dan perasaan pada orang yang benar-benar dipercaya dan pasti mendukungnya,” jelas Lia.
Sebagai seorang psikolog profesional yang telah menangani banyak kasus serupa, Lia menyarankan agar korban bullying di medsos bisa segera menghubungi psikolog, terapis, maupun psikiater profesional. Terutama jika dampaknya bisa membuat korban tidak mau melakukan apapun dan terus tenggelam dalam kesedihan.
Lia juga menyarankan agar korban dapat mengatur privacy setting media sosialnya agar orang lain tidak dapat berkomentar di postingan-postingannya untuk sementara waktu. Barangkali pem-bully akan semakin menghujat korban dan menyebutnya pengecut.
Ingatlah bahwa satu-satunya yang harus diutamakan adalah kesehatan mental korban, bukan apa kata para pem-bully yang jelas-jelas tidak akan membantu proses penyembuhan mentalnya.
Siapa saja bisa jadi korban bullying. Jika bukan Anda, maka anak, saudara, teman, murid, dan bahkan pasangan Anda. Menahan diri untuk mem-bully akan menyehatkan mental dan melatih diri sendiri agar dapat menolong orang sekitar kita yang jadi korban bullying.
Yuk, jadi orang dewasa yang benar-benar bersikap dewasa.
Baca juga:
9 Strategi Mengajari Anak Membela Diri saat Menghadapi Bullying (Perundungan)