Parents pasti tak asing dengan karya webtoon yang viral sampai diadopsi menjadi drama atau film, contohnya drakor populer Yumi’s Cells yang berasal dari webtoon. Komik dan anime Jepang juga tak kalah menariknya. Hal ini memantik pertanyaan di benak saya, dan mungkin banyak orang lainnya. Hingga kini, masyarakat kita masih saja menjadi penikmat, lalu kapan ya, karya anak-anak bangsa kita dinikmati masyarakat internasional? Apakah lantaran anak-anak kita sedari kecil lebih sering diminta ikut lomba mewarnai dan bukan lomba menggambar?
Membuat webtoon dan komik tentunya membutuhkan keterampilan menggambar dan imajinasi yang sangat tinggi. Selain bakat alami, keterampilan dan imajinasi ini pasti bisa dilatih sejak kecil. Namun, sayangnya anak-anak kita nggak terbiasa dan dibiasakan untuk berimajinasi sejak kecil. Iya nggak, sih, Bun?
Lomba mewarnai di Indonesia
Di Indonesia sering banget diadakan lomba mewarnai untuk anak-anak. Lomba mewarnai ya, bukan lomba menggambar. Meski gambarnya sudah ditentukan, sebenarnya mewarnai sendiri juga membutuhkan teknik memadukan dan memadankan warna yang perlu ketelatenan, lho. Akan tetapi, dari zaman saya TK 30 tahunan yang lalu, selalu saja anak TK disuruh mewarnai. Nggak dibiasakan menggambar dengan imajinasi sesuka hati. Kalau sudah SD kelas senior ke atas memang bebas menggambar, sih, diajari juga tekniknya oleh gurunya.
Anak kecil zaman sekarang disuruh menggambar, kecuali yang memang jago menggambar, biasanya ya cenderung nggak percaya diri. Dibanding menggambar, mereka lebih jago dan percaya diri untuk mewarnai. Orang tuanya kalau disuruh mengajari menggambar pasti juga gambar yang begitu-begitu saja, cenderung yang jadul dan “nggak banget”.
Kita harus mengakui bahwa kita ini minim keterampilan menggambar, yang padahal sebenarnya bisa dilatih dan dibiasakan juga. Entah kenapa, kalau disuruh menggambar pemandangan, kita pasti secara otomatis menggambar gunung, sawah, jalan yang di kanan kirinya ada pohon, matahari di antara dua gunung, burung yang seperti angka 3 tapi diputar 90 derajat ke kiri, serta awan.
Kalau disuruh menggambar rumah, sebagian besar akan menggambar segitiga di atas kotak yang belakangnya trapesium miring dengan pintu dan jendela kotak. Di kanan kirinya ada pohon dan bunga, atau pagar. Gambar bebek dari angka 3. Begitu sudah lumayan.
Kalau anak kita dibiarkan nggak kreatif dan ikajinatif, jangan-jangan sebagian besar bakal seperti kita ini nanti tuanya. Kalau banyak lomba menggambar, anak bakal sering berlomba dan terlatih untuk kreatif dan berimajinasi. Ya, kalau sudah digambar tentu saja diwarnai, pasti lebih kece.
Jadi, Bunda tim lomba mewarnai atau lomba menggambar?
Anak Jepang
Pengalaman yang membuat saya berdecak kagum sewaktu merantau di Jepang adalah anak saya jadi lebih suka menggambar. Sewaktu PAUD di Indonesia, dia selalu diajari untuk mewarnai di sekolahnya. Memang sih anak umur 3-4 tahun distimulasi dengan mewarnai agar motorik halusnya lebih bagus.
Tapi sebagai anak yang nggak telaten, tentu saja hasil pewarnaannya nggak bagus jika dibandingkan teman-teman lainnya. Setelah TK di Jepang, anak saya jadi lebih menikmati menggambar.
Ternyata di TK-nya, anak-anak juga diajari untuk berimajinasi, lalu menyalurkannya melalui gambar dan cerita. Setiap kali ada event di sekolah, mulai dari lomba olahraga, pentas, piknik, panen ubi, dan festival, anak-anak disuruh menggambarkannya. Anak-anak juga ditanya tentang apa yang menarik, kesan-kesan, dan disuruh bercerita. Jadinya, lebih banyak terasah memorinya.
Anak juga sejak kecil diajari menggunakan berbagai alat untuk menggambar dan mewarnai, termasuk cat air. Tentu saja dengan pengawasan guru. Sebenarnya nggak hanya gambar dan cerita saja yang sering dilakukan di TK anak saya, membuat kreasi dari kemasan bekas seperti karton susu UHT, kotak bekas cokelat atau tisu, dll juga sering dilakukan. Anak dibiarkan saja berkreasi sesuka hati oleh gurunya.
Guru TK Jepang paham betul bahwa memuji anak akan membuat anak lebih kreatif dan berkembang. Gambar hasil karya anak-anak sekelas juga dipajang di dinding kelas sehingga bisa saling melihat hasil karya teman-temannya. Orang tua yang mengantar juga bisa melihat hasil karya anak-anaknya.
Nggak ada nilai yang terpampang di semua karya itu, lho. Gurunya bilang semua berharga dan bernilai tinggi. Sepakat sih. Kadang kalau dinilai subjektif nilai A+, A, B atau nilai 100, 90, dst, bisa jadi malah membuat minder yang mengekang kebebasan berimajinasi anaknya. Lagipula, penilaian orang kan beda-beda ya.
Hasil karya anak selama setahun akan dibagikan di akhir tahun ajaran, lho, sebagai omoide (kenangan). Dari situ, kita dan anak sendiri pun bisa melihat bagaimana perkembangan ketrampilan menggambarnya dari masa ke masa. Mengevaluasi sendiri. Bisa jadi dari gambar cacing tak beraturan menjadi gambar yang lebih berbentuk, atau segi teknik pewarnaannya menjadi jauh lebih matang. Sedetail itu. Menurut saya ini patut dicontoh oleh TK kita, lho. Memahamkan anak bahwa mereka harus menghargai proses belajar mereka sendiri.
Kegiatan menggambar ini nggak hanya berhenti sampai di TK saja, lho. Di SD pun, anak kelas 1 baru diajari belajar di sekolah dimulai dari hal yang menyenangkan, termasuk menggambar dan bernyanyi. Hasil karyanya juga dipajang di dinding kelas. Percayalah, meskipun kadang terasa basa-basinya, pujian ke anak atas hasil karyanya itu benar-benar membuat mereka berbesar hati dan bersemangat. Sesama wali murid pun saling memuji hasil karya anaknya. Benar-benar dukungan yang luar biasa. Seorang ibu pasti akan selalu bangga dan menyukai hasil karya anaknya, lho.
Usaha pemerintah kita
Kemendikbud sendiri Maret 2021 lalu mengadakan sayembara enikki. Dari bahasanya saja, enikki berasal dari bahasa Jepang, e = gambar dan nikki = buku harian. Jadi, ada gambar dan cerita soal gambar itu.
Sewaktu SD di Jepang dulu, anak saya juga mendapat tugas enikki ini di sekolahnya. Kegiatan selama liburan musim panas harus digambar, kemudian diceritakan. Cerita yang paling berkesan dan biasanya cuma berupa selembar kertas saja. Itu baru anak kelas 1, mungkin kakak-kakak kelasnya lebih serius lagi enikki-nya.
Saya setuju jika pemerintah dan sekolah lebih menggiatkan lagi kegiatan menggambar dan bercerita anak-anak kita. Biarkan mereka berimajinasi bebas dan percaya diri dengan hasil karyanya. Mendukungnya dengan mengadakan lomba menggambar, menghargai anak dengan mengupload hasil gambar anak di medsos juga bisa menjadi cara untuk membesarkan hati si anak. Kekreatifan dan imajinasi layak diacungi jempol. Itu pasti membuat anak-anak lebih percaya diri.
Jangan seperti saya, yang kalau disuruh menggambar pasti nggak percaya diri karena selalu berprasangka buruk dianggap jelek oleh orang lain. Saya pernah trauma soal ini karena dulu sewaktu saya SD gambar saya diejek teman. Atau ketika dinilai 6 atau 7 sama guru, berasa salah dan minder. Sejak itu saya jadi malas menggambar. Sedih banget ya, Bund.
Saya yakin kalau anak-anak dibiasakan untuk menggambar dengan imajinasi mereka sejak kecil, suatu saat nanti mereka akan pintar menggambar dan berkarya. Kalau ditekuni, menggambar juga bisa profesi yang menjanjikan dan menghasilkan cuan yang tak sedikit. Apapun, karya yang mereka hasilkan, tentunya akan menemukan peminatnya sendiri. Kita sendiri juga harus semangat belajar menggambar ya, Bund, biar gambarnya nggak begitu-begitu saja.
Ditulis oleh Dewi Primasari N, UGC Contributor theAsianparent.com
Artikel UGC lainnya:
10 Cara Mendidik Anak Keras Kepala, Mulai dengan Mendengarkan Si Kecil