Namanya Audrey. Seorang gadis remaja berusia 14 tahun yang masih duduk di bangku SMP. Beberapa hari ini namanya memang menyita seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Sayangnya, hal ini dikarenakan kisah memilukan yang baru saja ia alami. Tak hanya menjadi korban bully. Audrey dikeroyok oleh belasan siswi SMA di Pontianak.
Tubuh mungilnya ditendang, dipukul, diseret, kepalanya juga dibenturkan ke aspal. Lebih mencengangkannya lagi, Audrey dikabarkan mengalami pembengkakan di area organ intim karena kemaluannya ditusuk oleh pelaku.
Kasus Audrey yang menjadi korban bully yang pertama kali dibagikan melalui akun Twitter @syarifahmelinda ini pun menjadi viral. Untuk memberikan dukungan pada Audrey, jagad twitter pun ramai dengan hashtag #JusticeForAudrey hingga dibuatnya petisi di Change.org.
Mendengar, membaca, dan mengikuti pemberitaaan seperti ini, hati siapa yang tidak merasa pilu sekaligus geram? Masyarakat marah. Hingga tak sedikit yang mengutuk perilaku pelaku dengan menuntut agar diberikan hukuman yang setimpal. Warganet pun memberikan tanggapan yang rata-rata mengecam tindakan pelaku.
Sebagai seorang perempuan sekaligus ibu, saya pun merasakan hal serupa. Hati ini begitu mencelos, tidak sanggup membayangkan luka fisik sekaligus luka batin yang akan dialami Audrey di kemudian. Seperti yang kita ketahui, luka batin sering kali lebih ‘menghancurkan’.
Luka batin yang tak terobati mungkin menghilangkan rasa percaya diri kepada orang lain, bahkan pada diri sendiri. Saya pun tidak sanggup membayangkan betapa berat dan seberapa besar luka yang harus dirasakan kedua orangtuanya.
Geram dan tidak habis pikir mengapa ada remaja yang bisa melakukan bullying sedemikian kejam? “Pelaku memang pantas dihukum seberat-beratnya!” batin saya ketika pertama kali membaca berita ini.
Menjadi korban bully dan kekerasan fisik, ini hasil visum Audrey
Sampai tulisan ini dibuat, kasus Audrey masih dalam proses penyelidikan polresta Polresta Pontianak. Visum pun telah dilakukan. Namun dalam jumpa pers yang disiarkan lewat Instagram Live kapolresta_ptk_kota, Kapolresta Pontianak Kombes M Anwar Nasir menyebutkan vasil visum membuktikan kalau kepala korban tidak bengkak dan tidak ada benjolan. Tidak ada memar di mata dan penglihatan normal.
Jika sebelumnya korban mengaku pelaku sempat menekan alat kelaminnya, hasil visum justru memperlihatkan tidak ada bekas luka di alat kelamin.
“Alat kelamin, selaput dara atau hymen, intact. Tidak tampak luka robek atau memar. Kulit tidak ada memar, lebam, maupun bekas luka,” tambahnya.
Penyelidikan kasus yang bermula dari sindir menyindir yang dilakukan korban dan pelaku terkait pacar pelaku yang merupakan mantan pacar sepupu korban ini pun masih terus berlangsung untuk menemukan titik temu.
Bagaimana dengan pengakuan para pelaku?
Saat dihubungi Detik News, Kabid Humas Polda Kalimantan Barat, Kombes Donny Charles Go juga mengatakan bahwa saat ini Polresta Pontianak sudah menetapkan tiga orang tersangka.
Ketiganya pun dijerat dengan Undang-undang Perlindungan Anak, dengan Pasal 76C juncto Pasal 80 ayat 1 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Mereka terancam mendapatkan hukuman 3,5 tahun penjara.
Menurut 7 dari 12 siswi SMA yang terkait kasus dugaan kekerasan terhadap Audrey, memberikan klarifikasi dengan mengatakan bahwa mereka tidak melakukan pengeroyokan namun, berkelahi satu lawan satu.
Tak hanya memberikan klarifikasi, mereka secara bergantian menyampaikan permintaan maaf kepada korban Audrey.
Pandangan psikolog klinis
Sebagai psikolog klinis, Anna Surti Ariani, S.Psi., M.Si., memberikan pandangannya. Kepada theAsianparent Indonesia mengatakan, memberikan dukungan pada korban tentu saja memang ideal untuk dilakukan sebagai bentuk empati.
“Namun, bukan berarti kita bisa menuduh dan memojokkan korban juga. Mengatakan, ‘Kok, tega-teganya sih, bullying seperti itu? Sampai melukai alat kelamin korban?’ Sementara, proses penyelidikan juga masih berlangsung untuk menemukan buktinya, ” ujar psikolog yang kerap disapa dengan panggilan Nina Teguh ini.
Ia mengingatkan, menurut hukum yang berlaku, baik korban dan pelaku sebenarnya masih usia anak. “Jadi janganlah membully baik korban maupun pelaku. Pelaku memang salah, tapi biarlah hukum yang menghukum mereka, bukan kita sebagai masyarakat semena-mena menghakimi mereka.”
Di samping itu, berkaca lewat peristiwa ini, Nina Teguh pun menandaskan, “Ada baiknya kita sama-sama belajar jika memang ada korban bullying hingga melukai alat kelamin, apa yang perlu dingat dan dilakukan? Bahwa pada dasarnya orangtua memang perlu memberikan pendidikan seks sedini mungkin, supaya anak tidak mengalami hal semacam itu. Seandainya terjadi, anak pun sudah tahu apa yang harus dia lakukan.”
Ia melanjutkan, “Misalnya, setelah kejadian, idealnya memang harus segera diperiksa, jangan menunggu sampai lama, Katakanlah memang pelaku melakukan tindak kekerasan pada organ vagina korban, akan lebih sulit untuk dibuktikan jika pemeriksaan atau visum tertunda dilakukannya sehingga akan merugikan korban.”
Psikolog yang praktik di Klinik Terpadu Universitas Indonesia ini menegaskan, memang pendidikan seks yang perlu diajarkan pada anak remaja akan jauh berbeda berbeda dari pendidikan seks untuk anak usia balita. Dari sini, orangtua tentu saja perlu terbuka dan memahami tahapan perkembangan usia remaja.
“Masa mengajarkan anak nggak boleh buka baju di sembarangan tempat memang sudah lewat. Tapi jika ada kejadian seperti ini, maka anak jadi tahu apa yang harus dia lakukan. Salah satunya dengan melakukan visum. Jika tidak, bukti bisa hilang. Ini memang menyakitkan dan tidak menyenangkan, tapi memang harus dilakukan.”
“Dengan begitu, anak jadi tahu bahwa tubuhnya adalah haknya, anak berhak memiliki tubuhnya sendiri sehingga orang yang tidak berhak, tidak boleh menyentuhnya. Jika ada orang memaksa, menyentuh tubuhnya dengan apapun, maka anak punya hak untuk memprosesnya.”
“Kasus ini memang mendebarkan, apalagi buat orangtua yang punya anak remaja seperti saya. Namun, memang perlu diingat bahwa menjalin hubungan yang akrab dengan anak itu sangat perlu sehingga saat ada apa-apa, anak bisa bercerita,” Nina menambahkan.
Selain menjadi komunikasi terbuka, Nina Teguh mengatakan tak ada salahnya juga orangtua menerapkan aturan keluarga dengan membuat ‘SOP’, bahwa memang ada hal-hal yang harus dilaporkan pada orangtua.
“Misalnya, jika memang ada orang yang sudah mulai memaksa anak untuk melakukan sesuatu, baik ini guru, teman, kakak kelas. atau siapa pun. Dengan memiliki hubungan yang dekat, serta SOP, saat terjadi sesuatu anak bisa cerita dan bisa ditangani,” pungkasnya.
Harapannya, kasus anak yang jadi korban bully hingga mendapatkan kekerasan fisik pun bisa dicegah.
Baca juga:
Pelajaran kasus Via Vallen: "Kenapa perempuan lebih jahat ke perempuan lain"