Kisah Sukses Orang-orang Down Syndrome yang Menjalankan Bisnis Mereka Sendiri

Memiliki down syndrome bukan berarti kesempatan dalam hidup terbatas, dukungan orangtua dan lingkungan sekitar bisa membantu anak down syndrome sukses dalam hidup.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Anak-anak dengan down syndrome bukan berarti tidak bisa meraih prestasi apapun dalam kehidupannya. Beranggapan bahwa anak dengan down syndrome akan tinggal bersama orangtua hingga akhir hayat adalah kesalahan besar.

Seperti dilansir dari laman She Knows, berikut ini adalah kisah sukses orang-orang down syndrome yang menjadi pengusaha dengan bisnis yang berkembang pesat.

1. Group Hug Apparel

Andrew Banar adalah pengidap down syndrome berusia 22 tahun, dia menjual kaos dengan desain hasil karyanya sendiri. Andrew menjual kaosnya melalui perusahaan yang ia dirikan yakni Group Hug Apparel.

Karen Pickle, sang ibu mengungkapkan, “Ide kecil yang awalnya kami pikir hanya akan mendapat dukungan dari keluarga dan teman dekat, kini dia telah memiliki produk yang dibeli oleh orang dari seluruh dunia.”

Karen menambahkan, dia mulai berpikir tentang masa depan Andrew saat putranya itu berusia 18 bulan, saat itu Andrew mulai berpikir apa yang ingin ia lakukan dalam hidupnya.

Kemandirian tentunya berasal dari rumah, dari kasih sayang orangtua yang percaya dengan kemampuan anak dan ingin melihat impian anaknya menjadi kenyataan.

“Ayah dan ibuku membiarkanku mencoba semua hal yang aku inginkan, selama aku tidak terluka. Orangtuaku membantuku mencapai tujuanku. Kami bekerja sebagai tim keluarga,” cerita Andrew.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Karen menjelaskan bagaimana ia menyikapi semua kejadian yang melingkupi hidup keluarganya dengan keberadaan Andrew, dan down syndrome yang dimilikinya.

“Kami menghadapi setiap hari dengan apa adanya. Saat kami bekerja dengan Andrew, kami sering mengambil idenya dan menyederhanakannya untuk dia. Kami memberikan perkiraan sedekat mungkin dengan ide yang ia inginkan. Dengan cara ini, kemampuan untuk mengerti dan mencapai tujuan lebih mudah bagi Andrew, dan tidak membuat dia atau keluarga kami menjadi stres.

Selain berbisnis, Andrew tak lupa untuk berbagi. Group Hug Apparel memberikan sumbangan lebih dari 15.000 dolar (sekitar 180 juta rupiah), untuk kegiatan sosial di sekitar lingkungan mereka.

Andrew memberi saran bagi mereka yang memiliki disabilitas yang merasa takut untuk mencari pekerjaan maupun memulai bisnis.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

“Jangan pernah takut untuk meminta bantuan. Terkadang, kita semua membutuhkan bantuan.”

2. Christian Royal Pottery

Christian Royal sangat suka dengan barang tembikar, dia mulai membuat tembikar sebagai bagian dari praktik homeschooling. Tak lama kemudian, Mike dan Helen, kedua orangtua Christian membeli beberapa ratus pon clay dan belajar membuat kerajinan tembikar bersama Christian di meja dapur.

Bakat Christian dalam membuat tembikar mulai tersebar dari mulut ke mulut, Christian Royal Pottery pun diluncurkan setelah ia berhasil menjual tembikar karyanya di galeri seni di Charleston, California.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

“Para pembeli merasa takjub karena orang dengan down syndrome bisa membuat sebuah tembikar yang sangat indah,” ungkap Mike.

Helen pun merasa bangga dengan keterlibatan Christian dalam membuat setiap produk yang dihasilkan dari Christian Royal Pottery ini.

“Dia melakukan setiap tahapan dalam membuat setiap produk, kecuali mencampur bahan kimia yang membutuhkan rumus matematika dan juga prosedur pencegahan demi keamanan.”

Mike dan Helen sangat bangga dengan pencapaian yang diraih oleh anak mereka. Terutama karena kekurangan yang dimiliki Christian tak menghalanginya sukses membuka bisnis, dan memiliki kerja penuh waktu.

“Anak dengan kekurangan intelektual mendapatkan berbagai pelayanan hingga mereka berusia 21 dan lulus dari SMA. Saat pelayanan tak lagi diberikan, ada sedikit sekali peluang pekerjaan bagi mereka. Kami tidak banyak menemui orang dengan disabilitas yang memiliki pekerjaan tetap.” Mike memaparkan.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Pada usia 21, Christian mengalami kesulitan berkomunikasi. Sehingga membuat Helen dan Mike bersedih, karena Christian tidak mampu membuat pertemanan di kalangan sebayanya.

“Dia pasti akan sangat senang jika punya teman,” ujar Mike yang menyatakan menyesal bahwa keluarganya tidak mempelajari bahasa isyarat saat Christian tumbuh besar.

“Bisnis Christian memberinya kesempatan untuk melakukan hal yang ia sukai setiap hari. Dan juga persahabatan antara Christian dengan dua pegawai yang bekerja bersamanya setiap hari hingga pukul lima sore,” papar Helen.

“Jika Christian bisa berkata-kata, dia akan mendorong semua orangtua yang memiliki anak disabilitas untuk berpikir di luar kebiasaan, tentang bakat apa yang mungkin dimiliki anak mereka jika diberi kesempatan, dan mencoba berbagai kerajinan atau keahlian lain.” Helen menambahkan.

Christian memiliki bakat untuk mengenali keindahan dan merefleksikannya pada benda seni yang dia buat. Hal ini memberikan kebahagiaan tak terhingga bagi kedua orangtuanya.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

3. Tim’s Place

Keith dan Jeannie Harris, orangtua Tim mengakui bahwa mereka mulai memikirkan tentang masa depan anaknya saat Tim masih bayi.

“Pikiran pertama kami mungkin lebih kepada ketakutan akan masa depannya, kemudian pikiran tersebut berubah menjadi pandangan apa yang bisa kami lakukan untuk membantunya membuat perbedaan.” Jeannie menjelaskan.

Keith dan Jeannie mulai memberikan Tim terapi saat usianya tiga minggu, mereka juga menghadiri konferensi tahunan dari Down Syndrome Congress.

“Kami dikelilingi oleh keluarga dan orang-orang dengan down syndrome dari berbagai usia. Kami mendapat berbagai pandangan tentang kemungkinan masa depan untuk Tim,” ujar Jeannie.

Saat Tim memasuki usia remaja, kedua orangtuanya mulai berpikir serius mengenai hidup Tim.

“Saat Keith mengatakan pada Tim bahwa dia bisa memulai bisnisnya sendiri, restoran menjadi pilihan yang jelas. Karena Tim menyukai makanan, dan dia juga menyukai orang-orang. Idepun mulai berkembang,” papar Jeannie.

Tim’s Place mulai dibuka pada tahun 2010. Menyediakan sarapan dan makan siang tujuh hari dalam seminggu. Tim tidak pernah menengok ke belakang, bila ada yang bertanya apakah mengidap down syndrome menghalangnya, Tim akan dengan lugas berkata bahwa tidak ada apapun yang bisa menghentikannya.

“Setiap hari saya bahagia, saya mencintai hidup saya dan membagi cinta tersebut pada dunia,” ungkap Tim.

Menu kesukaan Tim di restorannya adalah pelukan gratis.

“Tidak semua orang ingin dipeluk, tapi mereka ingin merasa bahagia dan dicintai. Seringkali konsumen merasa terkejut mengetahui bahwa Tim’s Place dimiliki oleh saya, beberapa dari mereka bahkan menangis. Kadang saya juga ikut menangis, walaupun tangis bahagia. Saya memiliki emosi dan perasaan yang sama seperti orang lain.”

Jeannie dan Keith menyatakan, saran terbaik yang bisa dibagikan pada para orangtua adalah dengan mempercayai diri mereka sendiri, dan kemampuan mereka untuk membesarkan anak mereka.

“Kadang kau harus melihat ke depan dan merencanakan apa yang hendak dilakukan. Di lain waktu kau hanya bisa hidup dari hari ke hari dengan melakukan yang terbaik semampunya.”

Tim juga memberikan saran pada para orangtua yang memiliki anak down syndrome atau disabilitas lain, “Anda harus rileks dan cukup cintai anak Anda dengan sepenuh hati. Mereka akan baik-baik saja.”

***

Kisah Tim, Andrew dan Christian tentunya menjadi inspirasi bagi para orangtua yang memiliki anak penyandang disabilitas. Kekurangan fisik atau mental bukanlah akhir dari dunia sang anak, dengan cinta dan dukungan penuh dari orangtua, mereka bisa menjadi orang sukses dalam kehidupan.

Tetap yakin dan percaya, dan jangan pernah berputus asa.

 

Baca juga:

Model Cilik Down Syndrome ini Sukses Lawan Diskriminasi di Dunia Modeling

Penulis

Fitriyani