Kali ini, seorang penulis kami berbagi kisah nyata nya kepada kita semua.
Awal menjadi single parent
“Hidup ini sekarang menjadi milikmu.” Itulah yang diucapkan seorang rohaniawan yang mendatangi saya beberapa saat setelah Am Sabaggalet, suami saya dinyatakan meninggal 9 tahun yang lalu.
Saya sedang tergolek di ranjang rumah sakit akibat malaria, yang saat itu juga menyerang suami saya, di RS Yos Sudarso Padang, Sumatra Barat, berkilo-kilo meter jauhnya dari rumah.
Tak ada ayah, ibu, teman atau saudara berada di sisi saya. Hanya saya dan bayi mungil dalam kandungan yang menginjak usia 6 bulan.
Sedih? Tentu saja. Tapi itu tidak berlangsung lama karena kesibukan menjadi ibu buat putra kedua ternyata menjadi semacam terapi yang dianugerahkan Yang Maha Suci untuk menipiskan kedukaan.
Jadi single parent itu pilihan, bukan nasib
Jarak Kaka si sulung dan Hita si bungsu terpaut 6 tahun. Sedangkan saya sendiri waktu itu berusia 28 tahun. “Terlalu muda untuk jadi janda, cepatlah menikah lagi,” begitu kata orang-orang di sekitar saya.
Pertimbangannya adalah masalah finansial, kata mereka. Saya baru mulai bekerja tiga tahun setelah Hita lahir saat usia saya sudah 31 tahun dan bekerja sebagai operator di sebuah warnet.
Sebelumnya saya mencari uang dengan menjadi guru les bahasa Inggris buat anak-anak tetangga, berjualan tanaman hias dan pot bunga di rumah, berjualan tempe bacem, juga menjajakan mukena dan tas manik-manik menjelang Lebaran.
Di tahun 2011 saya mendapatkan pekerjaan sebagai kontributor berita sepak bola untuk sebuah media online Nasional.
Pekerjaan itu tak bertahan lama karena saya tergiur dengan cerita pekerja tambang batubara di Kalimantan yang hidup bergelimang uang.
Selanjutnya, saya mengadu nasib ke Tanah Borneo.
Di tahun yang sama saya berangkat ke Banjarbaru, Kalimantan Selatan, meninggalkan Kaka dan Hita di bawah pengasuhan kakek neneknya demi mendapatkan pekerjaan sebagai staf admin perusahaan tambang batubara.
Sayang, waktu saya datang lowongan sudah tidak tersedia dan saya terpaksa mengambil pekerjaan lain seperti menjadi staf admin kursus Bahasa Inggris dan desainer grafis di sebuah percetakan agar tetap punya penghasilan.
Beberapa bulan kemudian lamaran saya diterima oleh sebuah perusahaan tambang batubara. Sebelum berangkat saya mengabarkan berita itu pada seorang sahabat.
Dan ia bilang, “Lha kamu katanya pecinta alam. Kenapa kerja buat perusahaan tambang batubara? Mereka itu kan perusak lingkungan.” Benar juga, pikir saya.
April 2012 saya pun pulang ke Malang dan seorang teman sesama wartawan sepak bola membantu saya diterima bekerja sebagai news editor di sebuah stasiun radio swasta.
Pekerjaan ini pun tak bertahan lama dan di akhir 2012 saya kembali berganti pekerjaan sebagai penjaga sebuah toko baju second milik seorang teman.
Semuanya bukan sesuatu yang saya sukai atau ingin saya lakukan seumur hidup saya. Dengan menikah lagi, saya nggak perlu bekerja dan kebutuhan anak-anak akan tercukupi.
Tapi dapatkah suami baru saya nanti mencintai anak-anak setulus hati, sedangkan mereka bukanlah anak kandungnya? Menjadi single parent memang bukan keputusan bijaksana, jika Anda menganggap kasih sayang ayah sama dengan pemenuhan materi.
Berikutnya, saya mencari kebahagiaan.
Saat-saat bahagia
Beberapa biografi tentang single parent yang saya baca mengatakan, memang nggak salah melakukan segalanya untuk anak. Tapi kasih sayang pada anak jangan sampai membuat si ibu single parent kehilangan kesempatan untuk menjadi bahagia.
Saya laksanakan saran itu dengan berkenalan secara serius dengan beberapa teman pria untuk menumbuhkan kembali pohon cinta dalam hati saya. Satu per satu dari mereka mundur, menghilang karena menganggap saya terlalu sibuk bekerja dan mengurus anak-anak dan terlalu cuek.
Saya nggak menyalahkan mereka karena saya tahu suatu hubungan tak akan hidup tanpa adanya perhatian dari kedua belah pihak.
Ini adalah kesalahan saya karena saya tak bisa memberikannya. Sekali lagi saya menyadari, menjadi single parent sungguh bukan pilihan bijaksana, kecuali saya siap menerima konsekuensinya.
Sampai suatu hari di awal 2013 saya mengikuti saran adik untuk bekerja dari rumah, menjadi penerjemah dan penulis freelancer dengan mencari job di berbagai situs freelancer online.
Di halaman sebelah, pertemuan saya dengan theAsianparent Indonesia
Karena tak punya penghasilan tetap maka saya mencari pekerjaan sebanyak mungkin agar penghasilan bisa disisihkan untuk kebutuhan sehari-hari pada saat job sedang sepi. Hingga takdir mempertemukan saya dengan Maya Octavia, chief editor theAsianparent Indonesia, melalui sebuah lowongan di situs freelance.
Selain menjadi kontributor untuk theAsianparent Indonesia, saat ini saya juga meng-assist seorang warga negara Inggris yang sedang menulis buku tentang sejarah Jawa, kontributor sebuah rintisan situs berita internasional, juga kerap jadi penerjemah dadakan.
Menulis atau menulis ulang artikel tentang kehamilan, menyusui dan perkembangan anak adalah sesuatu yang baru buat saya. Awalnya saya merasa ini bukan bidang saya dan keraguan sempat mencabarkan nyali saya.
Sampai suatu hari saya melihat sebuah artikel saya di-share di sosmed, dikomentari dan mendapat jempol dari pembaca kami. Ada semacam rasa haru yang sekonyong-konyong muncul ketika mereka mengatakan merasa terbantu dan mendapat pencerahan dari artikel saya.
Kini saya telah menemukan kebahagiaan di sini. Yaitu di sisi kedua anak saya dan di tengah-tengah Anda, pembaca setia dan tim theAsianparent.
Baca juga kisah nyata menarik lainnya:
Kisah Nyata; Anakku Lahir dengan Pierre Robin Sequence
7 Jam Setelah Lahir, Bayiku Meninggal karena Thalassemia