Kisah ibu bekerja tentu saja akan berbeda-beda. Baik latar belakang, tujuan, dan tatangannya.
Bekerja bagi perempuan adalah salah satu cara untuk menunjukkan eksistensinya. Bagi beberapa perempuan lain, bekerja adalah cara untuk membantu perekonomian keluarga agar dapur tetap ngepul.
Pekerjaan yang saya maksud ini juga bisa berbeda-beda. Dari kantoran dengan pekerjaan yang halus, sampai yang harus menjadi buruh bangunan dengan pekerjaan kasar, perempuan akhirnya bekerja meski bukan jadi pencari nafkah utama.
Berikut kisah ibu bekerja dan orang yang membantunya mengasuh anak saat ia bekerja.
Kisah Ibu Bekerja
Mbak Pipit dan Kakek Nenek yang momong anaknya
Kisah ibu bekerja ini diawali ketika dalam satu kesempatan, saya duduk di dapur menemaninya memasak sore itu. Padahal, ketika itu ia baru saja pulang kerja. Namun, tidak terlihat raut kecapekan di wajahnya.
Di tempat bekerjanya, setidaknya ada tiga shift kerja, mulai dari shift pagi sore, siang malam, dan malam pagi. Ia pun bercerita kalau shift pagi sore lebih enak karena jam tidur bisa normal. Tapi kalau pagi harus buru-buru, jadi tidak bisa mengantar dan menjemput anak sekolah. Pun saat kedapatan shift siang malam sehingga tidak bisa menjemput anak sekolah.
Mbak Pipit (39 tahun) namanya. Bekerja sebagai buruh pabrik di daerah Bantul sejak anak bungsunya umur 3 tahun. Anaknya dua, si sulung kelas 10 SMK dan bungsunya kelas lima SD. Suaminya bekerja sebagai karyawan BUMN yang kadang mengharuskan harus lembur karena proyek perbaikan sarana. Mbak Pipit sekeluarga tinggal di rumah Bapak dan Ibu mertuanya.
“Repot juga ya kalau tidak bisa antar jemput anak, mbak?”
“Iya, kadang tidak enak juga kalau minta tolong Mertua untuk menjemput cucunya. Tapi mau bagaimana lagi, kadang suami juga harus lembur dan pulang malam.”
Pernah suatu hari karena mertua dan suami tidak bisa menjemput, sementara ia sendiri bekerja, anak sulungnya harus berjalan kaki dari sekolah sampai rumah. Padahal jarak rumah sekolah sekitar 5 kilometer. Karena pandemi dan belajar online dari rumah, Mbak Pipit agak lega karena sekarang tidak terlalu pusing urusan jemput-menjemput ini.
Kedua anak mbak Pipit bisa dibilang sudah besar dan bisa bertanggung jawab sendiri. Mertua hanya mengawasi sekiranya cucunya membutuhkan bantuan. Dulu saat anaknya masih kecil-kecil, anaknya dititipkan ke rumah orang tuanya yang kebetulan jaraknya dekat dari rumah mertuanya. Sekarang anak-anak sudah besar dan bisa mandiri.
Ketika ditanya bagaimana soal makanan, “Ya, saya yang masak. Pokoknya nasi dan sayur sudah saya masakkan sebelum berangkat kerja. Telor dan mie instan itu harus selalu tersedia. Kalau mereka tidak suka sayurnya, mereka bisa memasak makanan kesukaannya sendiri.”
Selain memasak, setiap hari mbak Pipit juga harus mencuci baju sekeluarga. Menyetrika dilakukan pada akhir pekan. Kalau Sabtu harus lembur, biasanya dilakukan pada hari Minggu.
Kadang si Sulung membantu menyetrika dan mencuci bajunya sendiri. Berkumpul bersama keluarganya atau family time biasanya Sabtu sore dan Minggu. Bagi mbak Pipit, alasan utamanya bekerja adalah membantu perekonomian keluarga.
Sebelum menjadi karyawan BUMN, suaminya memulai usaha ternak ayam. Karena pendapatan yang tidak stabil, akhirnya mbak Pipit melamar pekerjaan sebagai buruh pabrik dan bertahan sampai sekarang. Usaha ternak ayamnya juga masih dilakukan.
Kisah Ibu Bekerja: Mbak Nana dan Suaminya yang Menjadi Bapak Rumah Tangga
Beda lagi dengan kisah mbak Nana (34 tahun) yang bekerja sebagai karyawan swasta di daerah Sleman. Anaknya dua dan bungsunya baru berumur dua tahun.
Dia berkeluh kesah karena PPKM darurat kemarin ia diliburkan selama kurang lebih dua pekan oleh kantornya dan akhirnya hanya mendapat gaji setengah dari biasanya. Meski sedih dan kecewa, mbak Nana berusaha tetap semangat bekerja.
Mbak Nana tinggal di rumah sendiri, masih dekat dengan rumah orang tuanya. Sejak awal, mbak Nana dan suami berprinsip akan mengasuh anaknya sendiri tanpa bantuan rewang atau yang lain. Kompromi karena mbak Nana ingin bekerja di luar rumah, suami pun akhirnya mengalah untuk mengasuh anak di rumah di sela-sela kesibukannya bekerja freelance. Anak pertama dan bungsu diasuh oleh suaminya selama mbak Nana bekerja di luar rumah.
“Kalau pekerjaan domestik, kami lakukan bersama. Pokoknya kerja sama saja.”
Sebelum berangkat bekerja, kadang mbak Nana membantu mencuci baju atau mencuci piring, menanak nasi dan memasak ala kadarnya. Urusan membuat cemilan dan bersih-bersih rumah biasanya suaminya yang melakukan.
Menurut pengakuan mbak Nana, suaminya sekarang jadi jago masak karena lebih sering masak dibanding mbak Nana. Memori hapenya penuh dengan screenshot-an resep masakan. Anak-anaknya juga cocok dengan masakan ayahnya. Kalau Sabtu-Minggu, biasanya memasak bersama di rumah.
Kalau tidak ya pergi ke tempat Mertua atau jalan-jalan. Tetapi karena pandemi, aktivitas akhir pekan pun sekarang hanya di rumah saja.
Urusan sekolah dari rumah anak sulungnya, mbak Nana minta tolong ke suami. Kalau kebetulan pas membutuhkan kelas virtual, termasuk tugas yang ditulis atau harus membuat audio/ video, suami juga yang membantu. Kalau dibutuhkan harus ke sekolah, suami mbak Nana juga yang pergi.
Saat ditanya bagaimana suka duka suami jadi bapak rumah tangga, “Kadang saya kasihan sama suami sih, mbak.”
Mbak Nana bercerita kalau suami mbak Nana kadang risih juga di-kepo oleh Emak-emak yang sama-sama antre beli sayur di warung jam setengah 6 pagi.
“Istrinya ke mana, Pak, kok, dirimu terus yang setiap hari belanja? Dijawab saja waktu itu sama suami katanya istri saya sudah berangkat kerja pagi-pagi sekali. Padahal, ya, saya masih di rumah.”
Pemandangan Bapak-bapak belanja sayur memang masih jarang di desa. Bapak rumah tangga seperti suami mbak Nana juga masih belum lazim di Indonesia karena imej laki-laki bekerja di luar rumah, bukan mengurus anak dan melakukan pekerjaan domestik.
Padahal menerima peran sebagai bapak rumah tangga tentunya bukan hal yang mudah bagi laki-laki. Stigma miring dari masyarakat tentu akan selalu diterima, termasuk kadang diremehkan dan dianggap “tidak laki”, tidak maskulin.
Mbak Nana mengaku cukup kesulitan saat anak pertamanya dulu masih kecil. Ibunya sering ditanya tetangga tentang pekerjaan suami mbak Nana karena cuma di rumah saja. Tetapi, seiring berjalannya waktu, mbak Nana cuek dan santai saja dengan omongan tetangga. Terlebih orang tua juga sangat mendukung hal ini.
Sebenarnya mbak Nana dan suami memutuskan untuk mengasuh sendiri anaknya karena orang tua mbak Nana juga tidak mau dititipi cucunya. “Kata Ibu saya, ‘Kalau punya anak, ya diasuh sendiri’. Tapi memang perkataan terseebut benar, kok. Sudah bukan waktunya lagi orang tua kita mengasuh anak.”
Selain itu, kebetulan Bapak Ibunya mbak Nana memang bekerja dan memiliki kesibukan sendiri. Kalau hanya sejam dua jam dititipi anak, tentu mereka mau, tetapi kalau menjadi pengasuh pokok cucunya mereka menolak keras. Sementara, rumah mertuanya juga jauh.
Lagipula bukankah Kakek Nenek juga berhak mendapatkan waktu sendiri untuk menikmati masa tua mereka?
“Saya masih pengin kerja, sayang ilmu kuliah saya tidak terpakai kalau hanya di rumah mengurus anak dan rumah. Saya tidak betahan orangnya. Melakukan pekerjaan rumah tangga itu bikin capek dan memakan waktu lama tapi kaya tidak terlihat hasilnya. Saya merasa beruntung sih, punya suami yang pengertian dan mendukung saya sepenuhnya.”
Rumah yang sudah dibersihkan, kotor dan berantakan lagi. Mbak Nana juga mengaku sering ngomel ke anak-anaknya kalau lebih banyak bandel dan berantemnya. Menurut mbak Nana, pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak itu jauh lebih melelahkan dibanding bekerja di luar rumah. Bekerja bisa membuat dirinya percaya diri dengan kemampuannya dan merasa dibutuhkan oleh orang banyak.
Kisah Ibu Bekerja Lainnya, Mbak Dini dan Rewang Momong
Lain mbak Pipit, lain mbak Nana, adalah mbak Dini yang memiliki kisah ibu bekerja yang tak kalah menarik.
Mbak Dini (29 tahun) bekerja sebagai ASN di daerah Sleman. Sejak bercerai, mbak Dini dan anaknya tinggal bersama orang tua mbak Dini.
Sebagai pensiunan ASN dan POLRI, bisa dibilang keluarga mbak Dini ini berkecukupan. Saat bekerja, anaknya diasuh oleh rewang momong yang didatangkan ke rumah. Pagi hari sekitar jam 9 si rewang datang dan pulang setelah mbak Dini pulang bekerja. Orang tua mbak Dini hanya menemani saja, sedangkan momong anak secara pokok dilakukan oleh si rewang momong.
“Sebenarnya Bapak Ibu menawarkan diri untuk mengasuh cucunya, mbak, tapi saya yang kasihan, kan sudah tua juga.”
Sebelum berangkat kerja, biasanya mbak Dini memasak untuk makan anaknya. Untuk pekerjaan rumah tangga, dilakukan sebisanya. Setelah pulang kerja, dilanjutkan mencuci baju dan pekerjaan rumah tangga lainnya. Menyetrika biasanya dilakukan mbak Dini pada akhir pekan.
Mbak Dini juga bercerita seandainya pandemi berakhir, ia ingin sekali menyekolahkan anaknya di PAUD dekat rumahnya agar stimulasi anaknya bisa maksimal. Ia dulu sempat berencana menitipkan anaknya ke day care tetapi hal tersebut disayangkan dan dilarang oleh orang tuanya.
Menurut gosip yang didengar mbak Dini, banyak day care yang tidak bertanggung jawab karena menyuntikkan obat tidur agar anak didiknya tertidur pada siang hari. Padahal saat kecil, mbak Dini sendiri dan adiknya dititipkan di day care karena orang tuanya bekerja dari pagi sampai sore.
Meski begitu, mbak Dini akhirnya memilih mendatangkan rewang momong yang bisa diawasi orang tuanya. Memang tidak bisa dipungkiri, ya, persoalan mencari day care atau yang bisa mengasuh anak masih adi bagian kisah ibu bekerja. Bahkan bisa dibilang bagian dari tantangan kisah ibu bekerja.
Sebenarnya selain tipe momong yang dilakukan Kakek Nenek, rewang momong, atau oleh suaminya sendiri, ada juga tipe dititipkan di day care. Keraguan seperti yang dirasakan mbak Dini tentunya bukan tanpa alasan. Di medsos sendiri dulu sempat viral video anak yang disiksa oleh gurunya sendiri. Desas-desus seperti memberikan obat tidur CTM ke anak juga pernah saya dengar.
Akan tetapi, banyak juga ibu pekerja yang mampu secara finansial untuk menitipkan anaknya di day care. Mereka berharap pemerintah bisa lebih ketat lagi menyeleksi day care yang kredibel. Biar seperti di negara-negara maju, bisa menitipkan anak sejak cuti melahirkan ibunya selesai.
Ada juga harapan perusahaan menyediakan day care untuk anak-anak pekerja wanitanya. Kan bisa dianggap sebagai wujud kepedulian perusahaan terhadap pekerjanya. Selama ibunya bekerja, anak bisa dititipkan ke day care. Ibunya tidak perlu khawatir karena bisa ikut mengawasi saat jam istirahat.
Berangkat dan pulang bisa bareng ibunya sekaligus. Entah kapan ya kalau di Indonesia, tapi dengar-dengar di negara maju sudah mulai ada day care dari perusahaan ini. Keren, ya! Ah, semoga saja dalam waktu dekat banyak perusahaan yang memikirkan hal ini.
Memberikan dukungan dengan memberikan fasilatas day care untuk karyawan peremuan. Dengan demikian, kisah ibu bekerja tentu saja terasa lebih memudahkan dan nyaman.
Kehidupan karier dan kepengasuhan anak bisa berjalan seimbang adalah harapan semua ibu pekerja. Percayalah, kenikmatan seorang perempuan yang bekerja, meniti karier, dan bisa bersosialisasi baik dengan teman-teman di tempat kerja itu tak luput dari peran serta banyak orang yang mendukungnya.
Harus diakui, tanpa support system ini tak akan mungkin seorang ibu bisa bekerja dengan fokus dan tenang. Jadi bagaimana dengan kisah ibu bekerja? Apa yang dirasakan paling menantang dan dukungan apa yang paling dibutuhkan?
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.