Kisah Ibu Hamil di Gaza yang Menyakitkan, Terpaksa Operasi Caesar Tanpa Bius

Stok obat bius yang terus menipis bahkan langka membuat ibu hamil di jalur Gaza harus merasakan melahirkan tanpa anestesi.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Konflik antara Israel dan Palestina masih terus berlangsung. Ribuan korban sipil terus berjatuhan, mayoritas perempuan dan anak. Selain itu, kisah ibu hamil di Gaza juga tak kalah memprhatinkan.

Setiap detik, ibu yang sedang hamil diliputi kecemasan akan nasib bayi mereka setelah lahir. Banyak ibu hamil yang juga kekurangan gizi, bahkan meninggal sebelum sang bayi lahir.

Kisah Ibu Hamil di Gaza Harus Operasi Tanpa Anestesi

Merunut data dari UN Population Fund (UNFPA), diperkirakan ada 50.000 ibu hamil yang ada di Gaza saat ini. Sebanyak 5.000 di antaranya diperkirakan melahirkan dalam kurun 1 bulan ini. 

Di minggu awal, rumah sakit di sana masih bisa beroperasi dengan baik dan memberikan pelayanan maksimal bagi ibu hamil. Mengingat korban yang berjatuhan dan rumah sakit dibombardir serangan, otomatis pasien tak bisa lagi dilayani dengan baik.

Terlebih, zionis juga memutus pasokan listrik dan menutup akses perbatasan sehingga bantuan tidak bisa masuk ke Gaza.  Akibatnya, rumah sakit di Gaza kehabisan obat-obatan, sumber listrik serta bahan bakar untuk menyalakan generator untuk kebutuhan rumah sakit.

Kengerian semaki nyata karena para dokter terpaksa melakukan prosedur bedah termasuk operasi caesar tanpa anestesi atau bius.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

“Kami telah melakukan operasi caesar pada wanita hamil yang terluka akibat serangan udara [Israel] tanpa anestesi, dan kami juga harus menangani kasus luka bakar parah tanpa anestesi,” ujar direktur Rumah Sakit Nasser di Jalur Gaza, Nahhed Abou Taima, seperti dikutip dari Financial Times, Selasa (31/10/2023).

Tujuannya, rumah sakit berusaha menghemat persediaan anestesi untuk kasus bedah kompleks yang bisa jadi dibutuhkan. Dokter Taima, yang merupakan ahli patologi telah memeriksa jenazah di kamar mayat Rumah Sakit Nasser, mengambil foto dan mencatat nama mereka serta tempat mereka meninggal.

Di komputernya, Taima menunjukkan sebuah program “martir”–istilah yang digunakan warga Palestina untuk menyebut kerabatnya yang meninggal.

“Ahli patologi forensik menulis laporan lengkap, menyegelnya dan mengirimkannya ke kantor manajemen pasien, yang bertanggung jawab memasukkan informasi ke dalam database yang terhubung dengan Kementerian Kesehatan,” ujarnya.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Dengan menggunakan informasi yang diberikan, karyawan kantor manajemen pasien mengisi file dengan rincian setiap “martir” sebelum menambahkan informasi tersebut ke database komputer.

“Orang yang meninggal karena sebab alami tidak dibawa ke kamar mayat untuk diperiksa oleh ahli patologi, kecuali kematiannya diduga mencurigakan,” kata Taima.

Rizk Abu Rok, seorang paramedis berusia 24 tahun di Bulan Sabit Merah Palestina mengaku bahwa mengangkut jenazah ibarat rutinitasnya setiap hari.

Artikel terkait: Anak Palestina Jadi Korban Perang, Menteri Pendidikan Gaza Akhiri Tahun Ajaran

Menggunakan Cuka untuk Mengobati Luka

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Lebih lanjut, dokter di Gaza juga harus memutar otak bagaimana cara mengobati luka tanpa cairan pembersih luka yang sudah langka.

Akhirnya, mereka menggunakan cuka untuk mensterilkan luka, demikian ujar seorang dokter di RS Shifa di Gaza bernama Ghassan Abu Sittah.

Prosedur ini juga dilakukan di operasi, termasuk operasi caesar.  Tak terbayang bagaimana sakitnya di saat luka sedang terbuka harus ditambah perihnya cuka yang menyiram luka.

“Mereka merasakan sakit yang luar biasa. Dan kalaupun mereka berhasil melewati operasi yang sangat menyiksa itu, mereka harus melewati proses penyembuhan tanpa pereda nyeri,” lanjut Hiba.

Yang tak kalah miris, ibu hamil yang baru saja melahirkan juga harus segera keluar dari rumah sakit.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

“Aku harus keluar rumah sakit 3 jam setelah melahirkan karena harus bergantian tempat dengan ibu hamil lainnya dan dengan orang-orang yang terluka,” ujar seorang ibu di Gaza.

Seorang ibu hamil lain bahkan harus melahirkan diantara orang-orang yang sedang terluka karena hantaman bom. Bahkan para korban tersebut pun harus dibaringkan di lantai lantaran rumah sakit yang sudah sangat penuh.

“Banyak yang mengalami keguguran dan banyak ibu yang meninggal dunia bersama bayinya yang belum lahir. Sejak awal serangan, kami telah melihat wanita hamil diliputi rasa pusing, kekurangan nutrisi, kelelahan, stres, pendarahan, dan sakit kepala serta nyeri punggung yang tak ada habisnya,” tambah Haneen salah seorang bidan di Gaza.

Artikel terkait: Fans KPop Galang Dana untuk Palestina, Kumpulkan Dana hingga Milyaran Rupiah

Bayi Prematur Lahir dari Ibu yang Sekarat

Di sudut unit perawatan intensif neonatal Rumah Sakit al-Shifa, Gaza, sebuah inkubator menjadi rumah bagi seorang bayi prematur yang baru saja lahir. Sebuah label plastik merah muda melingkar di pergelangan kakinya bertuliskan “Putra Maryam al-Harsh”.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Dr Nasser Bulbul, yang memimpin unit neonatal di rumah sakit tersebut, menunjuk bayi berusia 10 hari itu sebagai bukti “ketahanan di tengah agresi brutal Israel”.

“Rumah Sakit Kamal Adwan di Gaza utara menelepon kami tentang seorang ibu hamil yang mengalami luka parah akibat serangan udara yang menghantam rumahnya, merenggut nyawa seluruh keluarga, termasuk suaminya. Sebanyak 10 nyawa hilang dalam sekejap,” jelasnya lagi.

Dokter memutuskan melakukan operasi caesar darurat pada ibu yang sedang hamil 32 minggu itu. Dari rahim sang ibu, bayi laki-laki mungil tersebut lahir dengan selamat meski detak jantungnya sangat lemah.

Untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut, bayi itu kemudian dibawa ke Rumah Sakit al-Shifa. Di sana, dia ditempatkan dalam perawatan intensif dan diberi bantuan ventilasi mekanis bersama 54 bayi prematur lainnya yang juga berjuang untuk hidup.

Dr Bulbul menyatakan, “Kondisinya telah membaik. Ventilasi mekanis telah kami lepas setelah enam hari. Namun, tiga hari setelah itu, kami menemukan dia mengalami iskemia serebral, sebuah kondisi yang disebabkan oleh gangguan aliran darah ke otak.”

Dr Bulbul menyampaikan bahwa bayi tersebut tidak lagi memiliki keluarga, tapi ia dan tim perawat telah memastikan dia mendapatkan perhatian dan kasih sayang. Bagi mereka, bayi ini menjadi lambang ketahanan dan harapan di tengah kehancuran.

“Saat saya melihatnya, saya merasa sangat sedih dan terluka. Namun, keberadaannya memberikan semangat bagi kami semua. Dia menjadi simbol harapan bahwa kita bisa melewati masa-masa sulit ini. Dia mengingatkan kita untuk tetap sabar meskipun dihadapkan pada realitas yang sangat tragis.”

Dengan keadaan infrastruktur medis yang sudah di ujung tanduk, masa depan 130 bayi prematur yang saat ini dirawat di tujuh ICU neonatal di wilayah tersebut menjadi sangat tidak pasti. 

“Saat listrik padam dan tidak ada bahan bakar untuk menjalankan mesin ventilasi mekanis, hidup bayi-bayi ini terancam. Mereka mungkin hanya punya lima menit,” kata Dr Bulbul. Dari 10 ventilator yang tersedia, hanya tiga di antaranya yang berfungsi dengan baik.

Parents, kita doakan bersama konflik ini lekas berakhir ya.

Baca juga: 

Galang Dana hingga Turun ke Jalan, ini 7 Artis Indonesia yang Dukung Palestina

Doa Artis untuk Palestina, Sampai Ada yang Tolak Tawaran Kerja

Berani Kecam Israel, Ini 5 Artis Hollywood yang Dukung Palestina