"Awalnya senang, lama-lama jenuh" curhat seorang ayah yang harus WFH selama pandemi

Terlalu lama bekerja di rumah ternyata mampu menorehkan kegundahan untuk para suami atau ayah. Seperti kisah dari seorang ayah berikut ini.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Belakangan ini, masyarakat terpaksa mengubah sebagian rutinitasnya, seperti harus kerja dari rumah saat pandemi COVID-19. Memang, penyebaran virus korona yang begitu cepat membuat resah semua orang, apalagi kini kita 'terkurung' di rumah hingga waktu yang belum pasti.

Seorang kepala rumah tangga sekaligus ayah, juga tengah merasakan kondisi serupa. Ia membagikan kisahnya tentang bagaimana melalui hari demi hari kerja dari rumah saat pandemi COVID-19, ditambah ia juga harus membantu istri untuk mengurus anak.

Kerja dari rumah saat pandemi : the good, the bad, the ugly

Kisah ini berawal dari beberapa waktu lalu, ketika anak perempuan saya berusia tiga bulan. Perusahaan tempat saya bekerja selama empat tahun memutuskan untuk mengubah haluan bisnis dan memecat saya serta belasan rekan kerja. Waktu terus berjalan, anak saya pun sudah berusia enam bulan. Kala itu, kasus infeksi tak dikenal mulai merebak di satu negara bernama Tiongkok. Media internasional menyebutnya sebagai 'Pneumonia Wuhan'. Penyakit ini membuat napas penderitanya tersengal. Mereka berjuang habis-habisan untuk mendapatkan udara, layaknya orang tenggelam yang mulai kehabisan oksigen. Dua bulan kemudian, tepatnya pada pertengahan Maret. Anak saya yang baru bisa duduk dan merayap itu terkena Dengue Shock Syndrome (DSS), bahkan mengalami dehidrasi parah, sehingga harus segera dipasang infus. Sayangnya, cara biasa untuk memasukkan jarum sulit dieksekusi. Oleh karena itu, dia harus menjalani bedah minor, serta setelahnya mesti menginap di ruang PICU.

Diam-diam, COVID-19 menembus masuk ke Indonesia

Ketika dia dirawat, penyakit menular asal Cina yang merusak paru-paru dan bikin repot sistem pelayanan kesehatan di ratusan negara diumumkan sudah sampai di Indonesia. Berminggu-minggu sebelumnya, Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan COVID-19, begitu penyakit ini disebut, sebagai pandemi. Kala itu, Gubernur DKI Jakarta belum membuat status tanggap darurat. Pemerintah pusat juga baru saja menggaungkan kampanye bekerja dari rumah. Pada Januari hingga Februari, Jakarta masih terasa normal. Namun, setelah pemerintah pusat dan daerah melempar woro-woro, keseriusan mulai terlihat di berbagai tempat, termasuk rumah sakit tempat anak saya diopname. Aturan ketat diterapkan di sana. Seperti, jam besuk tak lagi berlaku (bahkan untuk keluarga sekalipun), semua pengunjung wajib ukur suhu badan dan cuci tangan, dan setiap orang harus pakai masker. Pandemi ini juga membuat kelangkaan alat kesehatan yang berdampak munculnya gosip dari ruang perawat bahwa jatahnya mulai dikurangi. Sesekali beberapa pegawai rumah sakit menunjukkan raut wajah cemas.

Pandemi COVID-19 mulai menghantui masyarakat

Kabar buruk pergi tak secepat ia tiba, begitu pula dengan COVID-19. Pandemi ini bikin perang mandek, negara-negara maju pontang-panting, serta membalik rutinitas dunia dalam hitungan bulan. Pusat agama-agama samawi menutup pintu bagi peziarah, universitas mengosongkan kelas-kelas, museum tutup. Di sisi lain, bersamaan dengan itu, orang-orang memulai norma baru, seperti rajin cuci tangan dengan sabun, jaga jarak dengan orang lain, dan memakai masker. Akan tetapi, kemungkinan karantina wilayah di Indonesia waktu itu belum ramai dibicarakan. Kini, kala pikiran itu melintas dan pelaksanaannya bisa makan waktu bulanan, hal-hal mencemaskan mulai terbayang. "Di sisi ekonomi, untuk orang seperti saya, yang bersandar pada pekerjaan lepas, atau bahkan orang lain yang mengandalkan pemasukan harian atau mingguan, bayangan bakal tersedot lebih jauh ke lubang ketidakpastian kian jelas terpampang. Tetapi, bukan efek ekonomi saja yang bikin berdebar," gumamku dalam hati.

Kerja dari rumah saat pandemi : Dari menikmati hingga berganti rasa jenuh

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Dalam lingkup kecil, karantina—yang bikin para pekerja kantoran untuk kerja dari rumah (KDR) atau work from home (WF)—seperti bukan tanpa masalah, sebagaimana hal baru lainnya. Sehari dua hari, perasaan girang karena selalu berada di tengah keluarga, apalagi bersama anak tercinta, memenuhi dada. Lalu, pada hari kelima, kesenangan itu mulai digerogoti rasa jenuh. Hari kedelapan, Parents mungkin mulai berani bilang,  "Di rumah aja ternyata bikin gue gila". Pengalaman saya selama beberapa bulan belakangan bekerja dari rumah sebagai penulis dan penerjemah lepas menjadi ukuran terdekat. Itu pun belum kepada titik terekstrem, belum kepada titik ketika aktivitas di luar rumah tidak lagi direkomendasikan pihak berwenang. Sebelum periode COVID-19, dalam sepekan ada saja hari-hari yang memang saya sediakan untuk beraktivitas di luar rumah. Masih bebas bertemu dengan rekan seproyek, atau calon klien, atau teman-teman dekat. Sepulang dari kumpul-kumpul, kadang ada rasa sesal juga kalau jajan kebanyakan. Tapi, toh tak setiap hari. C’est la vie.   Cerita jelas berbeda ketika hari-hari bekerja dihabiskan sepenuhnya di rumah. Beberapa kali terjadi bahwa meski perencanaan dibuat begitu rapi untuk menyelesaikan tugas, ada hal-hal yang bikin pekerjaan itu seperti menguap begitu saja. Ada saja satu hari yang disiapkan untuk menyelesaikan tulisan atau terjemahan, tapi hari itu seperti tak pernah mampir. Isi kepala memang berisik dengan pelbagai urusan kerja. Namun kenyataannya, telinga menangkap banyak suara yang berhubungan dengan urusan 'domestik'. Sungguh, dua hal itu nggak nyambung. "Gue meski kerja dari rumah, tapi tetap pakai baju yang layak gue pakai ke kantor," ujar seorang teman kepada saya, beberapa waktu lalu. Lantas, saya langsung mencobanya, tapi itu hanya sekali. Sebab, janggal rasanya memakai kemeja dan celana jin saat tiba waktu mengganti popok bocah. Rasanya seperti mengambil gula pasir dengan garpu. Bisa dilakukan, tapi tidak pas.

Pada akhirnya, masyarakat diminta untuk #dirumahaja dan itu membuat saya repot

Perkara makin pelik karena tuntutan di tengah pandemi ini adalah perubahan total dalam banyak kebiasaan yang kita lakukan. Bukan hanya urusan mencari duit, tapi juga rumitnya prosedur yang mesti ditaati untuk memaksimalkan antisipasi diri dan keluarga dari kemungkinan tertular. Contoh mudahnya, ketika belanja kebutuhan pokok ke pasar atau supermarket, saya mesti memikirkan runtutan pergi hingga pulang agar efektif dan aman. Maklum saja, di rumah ada orangtua yang masuk kategori berisiko jika tertular. Saya dan istri juga sudah di paruh akhir usia 30-an. Kewaspadaan itu terwujud sejak parkir kendaraan hingga proses mengeluarkan belanjaan di rumah. Ada beberapa pedoman yang saya pegang saat berbelanja. Di antaranya, saya selalu berangkat sendiri, selalu berkomitmen dengan barang yang akan dibeli, tanpa banyak pegang dan sentuh. Selalu menjaga jarak dengan pembeli lain dan pegawai/penjual. Saat di rumah, saya selalu langsung mencuci kemasan barang, semua pakaian dan alas kaki yang saya pakai, dan mandi tanpa ba-bi-bu. Repot, memang. Namun, rasanya, di tengah wabah lebih baik begitu.

Kerja dari rumah selama pandemi membuat keluarga sering sulit membedakan kapan saya bertugas sebagai suami/anak dan kapan sebagai pencari nafkah

Saat beririsan dengan urusan rumah tangga, perkara yang barusan dibicarakan di muka bisa lebih ruwet. Sebab, sekarang persinggungan dengan anak/istri/orangtua berlangsung terus-menerus. Secara psikologis, mereka semakin sulit memberi garis pemisah bahwa saya sedang berfungsi sebagai suami/anak atau pencari nafkah. Wajah saya selalu hadir di situ. Tiap kali mereka butuh bantuan dan melihat wajah itu, tak ada kata ‘tidak’ atau ‘nanti’. Celakanya, tidak pernah ada yang tahu kapan tepatnya pandemi ini berakhir. Artinya, tiap-tiap mereka yang bekerja dari rumah —apalagi mengurus anak atau orangtua— harus bisa menyiapkan kemungkinan terburuk, yakni burnout.

Artikel terkait: Cemas berlebih akibat pandemi Covid-19? Kendalikan dengan 6 cara ini

Pentingnya bersiasat agar tidak burnout akibat segala polemik yang timbul selama #dirumahaja

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Dengan tiadanya dunia luar sebagai jeda dari kehidupan di rumah, siasat untuk menghindarkan diri dari kondisi burnout —yakni stres berkepanjangan akibat kelelahan fisik, mental, dan emosional— menjadi penting. Karena itu tadi, 'tak satu pun orang di bumi tahu persis kapan wabah ini bakal selesai'. Sejauh ini, saya tak mengalaminya, karena masih bisa membicarakan ihwal pembagian ruang dan peran dengan istri. Serta punya slot waktu dan tenaga untuk mengurus orangtua, sembari mencari-cari cara untuk menghibur diri.   Untungnya, perihal bocah, dia agak teratur. Maksudnya, ritme sehari-harinya bisa ditakar. Dia bangun jam sekian, makan jam sekian, mandi jam sekian, tidur siang/malam jam sekian, main jam sekian. Mungkin ibunya punya sumbangan pada ritme itu. Pasalnya, sejak si bocah lahir, dia sudah dibiasakan terjadwal.

Saya juga diuntungkan dengan kemudahannya bermain. Saya biasa pakai apapun yang ditemukan di rumah untuk membuatnya bergerak. Anak itu akur saja kalau disodori peralatan dapur, taplak meja, gayung, dan sebagainya, asal bisa diraba, dipegang, atau digigit, dia bisa terima. Dia hanya beberapa kali saja nonton YouTube, itu pun saya yang kasih dan selalu video yang sama, yakni dancing fruits alias buah-buahan berdansa. Biasanya terjadi kalau saya sedang kena tenggat kerja, dan istri saya berkeras menitipkan anak itu ke saya karena dia mesti melakukan sesuatu.

Masalah muncul jika pekerjaan yang saya selesaikan memiliki tingkat kesulitan tinggi dan memerlukan konsentrasi mahadalam. Di tengah fokus, tiba-tiba mesti dipotong urusan rumah. Itu melelahkan.

Berpindah-pindah fokus bikin pikiran jadi lebih cepat capek. Kalau kondisinya begitu, anak jadi cuma terurus setengah-setengah, dan biasanya dia tahu kalau bapaknya tak berkomitmen penuh. Protes lewat tangisan dan teriakan bakal mengalir lebih deras. Jika sudah begitu, saya mengaktifkan fitur 'edan' dalam diri saya. Saya mengajaknya berjoget, memainkan karakter-karakter semprul, hingga saya berlagak seperti cacing kepanasan. Tidak apa-apa saya lakukan itu semua, begitu juga jika dia tak tertawa setelah saya melakukan itu semua. Setidaknya, dia berhenti menembakkan protes. Di luar itu, pertengkaran dengan istri hampir selalu terjadi untuk menyeimbangkan perkara rumah – pekerjaan. Saya kira itu baik, daripada terjadi perang dingin. Gerundelan muncul di sana-sini, tapi setidaknya urusan-urusan tidak berhenti. Roda rumah tangga berputar. Semua tertangani, meski tak selalu memuaskan, dan tak semua orang senang. C’est la vie.

***

Itulah kisah seorang ayah. Dari kisahnya, semoga ada secercah hal positif yang bisa Parents petik, khususnya di masa pandemi saat ini.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Baca juga :

id.theasianparent.com/kerja-dari-rumah-membuat-anda-jenuh-anda-salah-strategi

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan