Sulit membayangkan bagaimana seseorang begitu sering mengalami patah hati berkali-kali karena kehilangan bayi, namun di saat bersamaan masih menaruh harapan. Seorang instruktur fitness, Joany Catingco mengalaminya dan ingin membagikan kisahnya untuk menginspirasi orang lain.
“Saya menikah di usia 23 tahun,” ia memulai kisahnya sembari mengingat bahwa ketika itu ia tengah hamil empat bulan. “Kemudian, saya melahirkan di tahun yang sama ketika usia kandungan masih tujuh bulan.”
Joany menyambut anak pertamanya, Maria Francesca Louise di bulan Desember 2001 melalui operasi cesar.
“Semua terjadi begitu cepat. Kami sangat bahagia memiliki bayi, tapi setelah melahirkan, suami saya (Jhong) memberitahu bahwa dokter akan melakukan yang terbaik untuk menghidupkan kembali bayi saya,” ujarnya pada theAsianparent Filipina. “Saya sangat terkejut karena kami semua sehat dan saya selalu melakukan apa yang dokter katakan bahkan di saat hidup terasa sulit.”
Baca juga: Mencegah Stillbirth, Kematian Bayi di Dalam Kandungan
Kehilangan bayi: sebuah kabar buruk di hari Natal
Saat hari Natal, suami Joany menyampaikan berita sedih bahwa mereka telah kehilangan bayi perempuan pertama mereka. Menurut Joany, penyebab kematian anaknya pada awalnya diidentifikasi sebagai sepsis (komplikasi akibat infeksi bakteri).
Kecurigaan ini muncul sebelum akhirnya mereka menemukan sebuah penyakit langka yang disebut Autosomal Recessive Polycystic Disease (ARPKD). Penyakit inilah yang juga akhirnya membuat mereka kehilangan bayi-bayi mereka di tahun-tahun berikutnya.
“Rasanya begitu menyakitkan, bahkan saya jadi tidak tahan mendengar suara tangisan bayi,” ungkap Joany.
Dihadapkan pada pilihan yang sulit
Enam tahun kemudian, di tahun 2007, mereka menyambut putra mereka Sean Mathew. Menjelang kelahiran Sean, mereka telah mempersiapkan segalanya.
Mereka ingin memastikan bahwa kehamilan Joany sehat dan proses persalinannya mudah. Tetapi pada bulan ke-7 kehamilannya, dokter menyampaikan sesuatu.
“Saya benar-benar tidak tahu apa yang sedang terjadi,” ujarnya yang saat itu tidak ditemani suami karena Jhong sedang bekerja di luar negeri sebagai pelaut.
Dengan ditemani oleh ibu, ayah, dan saudara-saudara kandungnya, Joany menerima kabar tragis.
“Dokter seperti menjatuhkan bom dengan berita mengejutkan itu. Ia berkata pada saya dan orangtua saya bahwa saya harus memilih apakah mengakhiri kehamilan di usia kandungan 7 bulan atau menunggu hingga waktu kelahiran tetapi bayi saya tidak memiliki kesempatan bertahan hidup,” keluhnya, sambil mengingat betapa terkejutnya ia saat itu sambil berusaha menenangkan diri.
Reaksi pertama Joany adalah bahwa ia ingin tetap mempertahankan kehamilannya.
“Saat itu, satu-satunya hal yang dokter katakan adalah bahwa tidak ada yang dapat mereka perbuat. Tetapi mereka meyakinkan saya bahwa mereka akan melakukan apa pun yang mereka bisa untuk saya dan bayi saya.”
Sisa dua bulan kehamilan, Joany melakukan segala hal untuk meningkatkan kesempatan hidup bayinya. Ia menjalani perawatan untuk meningkatkan cairan ketubannya; sekaligus semakin menemukan kekuatan dalam imannya.
“Pada saat itu saya tahu bahwa saya dan bayi saya dapat melakukannya, setiap hari saya berbicara padanya ketika ia bergerak dalam rahim, memintanya untuk tetap bertahan bersama saya.”
Pukulan telak pasca operasi
Jhong terbang kembali ke rumah untuk mendampingi Joany operasi cesar.
Beberapa jam setelah operasi, saat Joany sedang dalam pemulihan dari rasa sakit, dia mengalami pukulan lain. Petugas medis membawanya dengan kursi roda ke NICU (Neonatal Intensive Care Unit) untuk mengucapkan selamat tinggal pada bayi laki-lakinya yang sedang dalam kondisi kritis.
“Saya tidak bisa melupakan pemandangan itu. Ketika mereka membuka pintu, di sana saya melihat, anak saya tak bernyawa. Saya mengangkat anak saya, memeluknya sambil menangis. Saya tidak memikirkan bahwa saya baru saja dioperasi. Semua orang terdiam, termasuk perawat, dokter, orangtua, dan suami saya. Hanya isak tangis saya saja yang terdengar saat itu,” ujar Joany mengenang adegan menyedihkan itu.
“Saat itu yang bisa saya ingat adalah kami semua menangis. Saya harus melepaskan bayi saya karena ia mulai berubah jadi ungu. Saya bahkan tidak peduli lagi jika saya mati saat itu, kejadian itu begitu menyakitkan.”
Penyakit langka dan penularannya
“Setelah kejadian itu, saya harus kuat, dan melanjutkan hidup.” Joany menceritakan bagaimana dokter memutuskan untuk melakukan tes DNA pada anak mereka yang telah meninggal, juga pada Joany dan suaminya.
Melalui tes ini, mereka akhirnya mendiagnosis bayi mereka menderita Autosomal Recessive Polycystic Kidney Disease (ARPKD).
Penyakit langka yang menyerang ginjal dan hati ini terjadi pada 1 dari 55.000 kehamilan. Pada kasus Joany, bayi-bayinya tidak menunjukkan gejala hingga bulan ke-7 kehamilan, di mana kadar cairan ketubannya rendah.
Sederhananya, bayi-bayi mereka tidak dapat mengeluarkan atau memproses cairan yang seharusnya memberi mereka nutrisi karena ginjal yang belum berkembang sempurna.
“Mereka mengatakan bahwa saya dan suami adalah pembawa penyakit ini, meski kami tidak memiliki gejala dan meneruskannya pada bayi kami sehingga ginjal mereka tidak berkembang,” tutur Joany.
Beberapa tahun kemudian, Joany hamil lagi, namun ia kembali kehilangan bayi di usia kandungan 4 bulan.
Kabar sedih yang berulang
Tahun 2010, ia mendapati dirinya hamil ke-4 kalinya.
Kali ini, Joany memutuskan untuk pergi ke rumah sakit khusus, menyampaikan semuanya pada dokter, namun tetap yakin bahwa kehamilan yang kali ini akan berakhir bahagia.
Sayangnya, di usia kandungan tujuh bulan, ia mendapat kabar sedih yang sama. Joany melahirkan Zachary John pada bulan Oktober 2010, namun harus kehilangan bayi keempatnya setelah 24 jam.
Selain empat kali hamil, ia juga sempat menderita dua kali keguguran yang tak tercatat.
“Saya tidak pernah meminta apa pun. Saya hanya ingin anak saya hidup saat saya melahirkannya ke dunia ini untuk dibaptis dan menjadi seorang Kristen. Saya pikir saya sudah bisa menerima takdir saya, namun ketika peristiwa tersebut muncul, keadaan menjadi sulit, semua rasa sakit itu masih ada di sana, lagi dan lagi bahkan lebih buruk dari sebelumnya,” ungkap Joany yang putus asa dan menjadi emosional saat mengingat semuanya.
Tak pernah kehilangan harapan
Sayangnya, tidak ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit langka yang telah merenggut hak istimewa Joany dan Jhong menjadi orangtua. Melalui perjuangan sulit untuk dapat memiliki kehamilan yang sehat, Joany mengaku sempat menyalahkan dirinya sendiri.
“Saya merasa sangat bersalah dan menganggap kesalahan itu terjadi karena saya tidak mampu merawat bayi saya saat mereka masih di dalam tubuh,” ujar Joany yang masih terkejut ketika itu karena selalu menganggap dirinya dan suami adalah pribadi yang sehat.
“Suami saya selalu mendukung apa pun yang saya lakukan. Setelah semua cobaan ini, ia membiarkan saya melakukan apa saja yang saya inginkan,” ia memuji suami yang mendukungnya mengejar karier sebagai instruktur gym.
Meskipun ia kehilangan bayi enam kali, tetapi Joany masih memiliki harapan bahwa ia akan menjadi ibu suatu hari nanti. Di sisi lain, dia juga berusaha menerima bila hal tersebut tidak terjadi.
“Saya selalu ingin punya anak, tetapi jika Tuhan punya rencana yang lebih besar untuk saya, maka terjadilah. Saya tidak pernah kehilangan iman, dan saya percaya segala sesuatu terjadi karena sebuah alasan. Saya terbiasa merencakan masa depan saya, masa depan kami, tapi terkadang rencana saya bukanlah rencana Tuhan,” ujar Joany. “Mungkin membagikan kisah saya ini justru akan membuka peluang lain.”
Diri sendiri yang bisa menyembuhkan
Meski merasa bahwa pengalaman kehilangan bayi ini sungguh menyakitkan, Joany mencoba membantu mereka yang mengalami situasi yang mirip, dengan menggunakan media sosial.
“Setiap kali saya membaca kisah sedih atau kehilangan dari media sosial atau bertemu teman yang menderita karena kematian anaknya, saya selalu berkata bahwa mereka semua dapat mengobrol dengan saya jika mereka siap. Saya biasanya menceritakan kisah saya dan saya tahu dengan cara ini mereka merasa beban mereka lebih ringan,” kata Joany.
“Kehilangan bayi memang sangat meyakitkan karena Anda terus-menerus menyalahkan diri sendiri,” ujarnya yang sekarang memilih berpikir bahwa bayi-bayinya yang meninggal telah berada di surga, sehat dan dibebaskan dari penderitaan.
Ia percaya bahwa proses berduka selalu diawali dengan penolakan, sebelum akhirnya bisa menerima.
“Tidak ada orang yang dapat menyembuhkan saya selain diri saya sendiri. Saya terus menanamkan dalam pikiran.” Joany juga mendaftarkan dirinya pada kelas gym dan menghadiri latihan berkelompok, serta berkumpul dengan orang-orang bahagia.
Berbagi kisah membantu proses penyembuhan
Menceritakan kisah ini membuat Joany lebih lega. Ia mendapati bahwa sekali ia berani menceritakan kisahnya, entah pada orang yang sudah dikenal atau pada sembarang orang yang ia temui, luka hatinya semakin berkurang dan berkurang.
Setiap kali dia bercerita, intensitasnya dalam menangis pun makin berkurang. Dengan cara ini, ia merasa disembuhkan.
Namun, sembuh bukan berarti Joany tidak terpengaruh. Setiap tahun, ia mengingat tanggal lahir bayi-bayinya.
Bahkan saat Natal, ia akan selalu terkenang akan rasa kehilangan bayi pertamanya.
“Kehilangan seseorang seperti kehilangan separuh dirimu. Kita akan merasa patah hati dan tak pernah utuh lagi, tapi ingatlah bahwa ada orang di sekitar kita yang dengan tulus mendukung, mencintai, dan peduli denganmu.”
Joany berpesan bahwa proses menerima membutuhkan waktu. Dengan membagikan kisah kita pada orang lain yang senasib tak hanya membantu mereka, tetapi sekaligus menyembuhkan diri sendiri juga.
Cintai diri Anda, cintai orang-orang di sekitar Anda, cintai apa yang Anda lakukan, nikmati hidup. Menangislah jika memang perlu menangis.
Namun setelahnya, Anda harus bangkit dan menjadi seseorang yang lebih baik lagi. Jadilah inspirasi bagi orang lain.
Kita semua memiliki masalah. Kita semua menghadapi kesulitan yang berbeda, tapi siapa tahu Anda justru bisa membantu orang lain sembari menyembuhkan diri sendiri.
*artikel ini diterjemahkan dari versi bahasa Inggris yang ditulis Bianchi Mendozza untuk theAsianparent Filipina.
Baca juga:
Hirschsprung, Penyakit Langka yang Menyerang Pencernaan Bayi