Kampung Naga merupakan kampung adat yang cukup terkenal di Jawa Barat. Kampung ini terletak tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan daerah Garut dengan Tasikmalaya. Yuk, ketahui fakta-fakta seputar Kampung Naga Tasikmalaya berikut ini, Parents!
Fakta-Fakta Seputar Kampung Naga Tasikmalaya
1. Kampung Naga Berada di Suatu Lembah yang Subur
Dilansir dari Perpustakaan BPNB Jawa Barat, Kampung Naga ini berada di suatu lembah subur yang dilalui oleh sungai Ciwulan yang bermata air di Gunung Cikuray daerah Garut.
Dilansir dari Kompas, karena terletak di lembah, kampung ini lantas diberi nama Kampung Naga. Kata Naga sendiri berasal dari penggalan kata dalam bahasa Sunda, Nagawir yang artinya kampung di bawah tebing terjal.
Secara administratif, Kampung Naga sendiri berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya.
Kampung ini berjarak sekitar sekitar 30 kilometer dari pusat kota Tasikmalaya dan 106 kilometer dari kota Bandung.
Karena berada di lembah, pengunjung harus menuruni 300-400 anak tangga dengan kemiringan 45 derajat untuk mencapai Kampung Naga ini.
Uniknya, setiap kali menghitung anak tangga menuju ke Kampung Naga, setiap orang akan mengungkapkan hasil yang berbeda-beda. Sebagian mengungkapkan bahwa anak tangga tersebut berjumlah kurang dari 350, dan sebagian lagi mengungkapkan lebih dari 350.
Artikel terkait: Liburan Tidak Harus Pergi ke Luar Kota, Ini Tips Staycation Bersama Si Kecil
2. Penduduk Kampung Naga Masih Memegang Teguh Adat Istiadat
Mayoritas penduduk Kampung Naga adalah penganut agama Islam. mereka juga masih memegang teguh adat istiadat yang berasal dari nenek moyang mereka secara turun temurun.
Karena area Kampung Naga terbatas dan tidak memungkinkan penduduk untuk mendirikan rumah baru, maka banyak penduduk asli Kampung Naga yang bertempat tinggal di luar Kampung Naga maupun Desa Neglasari. Bahkan ada yang bertempat tinggal di Kota Garut, Tasikmalaya, Bandung dan Cirebon.
Meskipun tidak semua orang tinggal di Kampung Naga, mereka masih taat menjalankan adat istiadat warisan nenek moyang yang berpusat di dalam Kampung Naga.
Misalnya, saat diselenggarakan upacara adat Sa-Naga yang dipusatkan di Kampung Naga, para penduduk dan keturunan akan datang ke Kampung Naga untuk melaksanakannya bersama-sama.
Nenek moyang orang Kampung Naga (Sa-Naga) yang menurunkan adat istiadat Naga adalah Embah Dalem Eyang Singaparna. Makamnya terletak di wilayah Hutan sebelah barat Kampung Naga.
Makam Embah Dalem Singaparna dianggap sebagai makam keramat yang selalu diziarahi pada saat akan diadakannya acara atau upacara adat. Tidak hanya diziarahi oleh penduduk Kampung, orang-orang keturunan yang termasuk ke dalam adat Sa-Naga juga ikut berziarah.
Dalam perilaku kehidupan sehari-hari pun, penduduk dan keturunan Kampung Naga selalu menaati ketentuan yang telah digariskan leluhur. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dianggap sebagai pelanggaran adat yang dapat membahayakan si pelanggar dan juga seluruh penduduk dan keturunan Kampung Naga.
Artikel terkait: 5 Cara Agar Liburan Anak Lebih Menyenangkan
3. Kampung Naga Memiliki Bangunan dengan Arsitektur Unik dan Indah
Tidak hanya adatnya yang menarik, arsitektur bangunan di Kampung Naga juga sangat menarik.
Arsitektur rumah di Kampung Naga cenderung berbeda dari rumah pada umumnya. Mulai dari letak, bentuk, arah rumah dan bahan-bahan pembuat rumah.
Rumah-rumah di Kampung Naga juga tabu (pamali) untuk dicat berwarna-warni. Alhasil, desain rumah di Kampung Naga terlihat cukup seragam.
Rumah di Kampung Naga merupakan rumah panggung kayu berpondasi batu, dengan dinding anyaman bambu diwarnai dengan kapur putih. Atap rumah di Kampung Naga berbentuk segitiga yang terbuat dari ijuk hitam yang memanjang dari arah barat ke timur.
Terdapat sekitar 110 unit rumah di Kampung Naga. Bangunan-bangunan rumah tersebut berdiri di atas lahan seluas total 1,5 hektar.
Mengenai pola kampungnya, Kampung Naga berpola mengelompok dengan tanah kosong di bagian tengah dan terdapat kolam yang berada di sebelah muka kampung.
Meskipun arsitektur rumah di Kampung Naga cukup berbeda, namun pola perkampungan ini cukup mirip dengan pola perkampungan masyarakat Sunda pada umumnya.
Adanya balong (kolam), leuit, pancuran, bale musyawarah atau bale patemon, pancuran, saung lisung, rumah kuncen (kepala adat), masjid, lapangan atau alun-alun, rumah suci tempat menyimpan benda-benda pusaka, merupakan pola perkampungan khas masyarakat Sunda.
4. Penduduk Kampung Naga Selalu Menghormati Alam Sekitar
Masyarakat Kampung Naga Desa Neglasari merupakan salah satu contoh komunitas yang berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan alam dengan tetap mentaati aturan warisan nenek moyangnya.
Aturan-aturan tersebut juga berfungsi sebagai kontrol yang dapat mencegah eksploitasi alam secara berlebihan. Masyarakat hingga kini masih menjalankan pantangan atau ketentuan hukum tidak tertulis yang diwariskan oleh nenek moyang mereka.
Mereka percaya bila pantangan tersebut dilanggar, maka dapat menimbulkan malapetaka atau kerugian bagi hidup mereka. Pantangan yang ada di kampung Naga sendiri biasanya meliputi tata cara membangun rumah, mulai dari bentuk, posisi, arah, pakaian upacara, kesenian, dan masih banyak lagi.
5. Tidak Ada Listrik
Hal lain yang juga mencolok adalah tidak adanya aliran listrik di kampung ini. Suasana malam yang remang-remang menjadi hal yang biasa di sini. Kondisi kampung tanpa penerangan listrik memang menjadi pilihan masyarakat setempat.
Tidak hanya listrik, masyarakat juga enggan menggunakan tabung gas LPG sebagai sarana untuk memasak. Alasannya karena hal itu bisa berakibat buruk pada lingkungan. Terlebih rumah warga terbuat dari bahan-bahan yang mudah terbakar.
Menjaga tradisi para leluhurnya agar tidak luntur merupakan hal yang menjadi prinsip mereka untuk tidak memasang listrik. Sebagai gantinya, pencahayaan didapat dari api damar dan obor.
6. Tidak Menerima Kesenian dari Luar
Untuk urusan kesenian, masyarakat Kampung Naga pantang mengadakan pertunjukan di luar dari kesenian yang ada di Kampung Naga. Beberapa kesenian tersebut antara lain wayang golek, dangdut, pencak silat, dan kesenian yang menggunakan waditra goong.
Sementara untuk jenis kesenian yang biasa ditampilkan di kampung Naga antara lain Terbang Gembrung, Terbang Sejak dan Angklung. Biasanya kesenian Terbang Gambrung ditampilkan pada saat hari besar Islam seperti Idul Fitri, Idul Adha, bulan Ramadhan, dan Maulud Nabi.
Sementara Terbang Sejak biasa dilakukan kapan saja tanpa menunggu waktu khusus. Angklung sendiri sering ditampilkan dalam setiap pagelaran adat di kampung tersebut seperti ritual khusus, hajatan, nikahan, atau sunatan.
Itulah informasi mengenai fakta-fakta Kampung Naga. Semoga informasinya bermanfaat!
***
Baca juga:
Pastikan anak tetap sehat dan aktif setiap saat dengan 4 cara ini