Sebelum menggunakan sistem penanggalan yang sekarang (Kalender Masehi), Indonesia ternyata memiliki sistem penanggalan sendiri dulunya, yakni Kalender Jawa. Hingga kini masih banyak masyarakat Indonesia –khususnya orang Jawa- yang masih menggunakan sistem penanggalan ini. Berikut ini sejarah dari lahirnya Kalender Jawa 2022, hingga cara menghitung dan manfaatnya dalam kehidupan.
Kalender jawa 2022: Sejarah, Manfaat, dan Cara Menghitungnya
Sejarah Kalender Jawa
Sistem penanggalan kalender Jawa pertama kali digunakan Kesultanan Mataram di mana pencetusnya adalah Sultan Agung Hanyokrokusuma pada 1633 Masehi (1555 Saka). Sejak itu, sistem penanggalan ini berlaku di seluruh Pulau Jawa, kecuali Banten, Batavia, dan Banyuwangi.
Kalender Jawa memiliki dua siklus hari, yaitu ‘siklus mingguan’ yang terdiri dari 7 hari (Ahad sampai Sabtu), dan siklus ‘pekan pancawara’ yang terdiri dari 5 hari pasaran.
Sistem penanggalan Jawa mengadopsi dari 3 budaya, yaitu Islam, Hindu, dan Julian –berasal dari budaya Barat. Di tahun itu (1633 Masehi atau 1555 Saka atau 1043 H), Sultan Agung sedang berusaha menanamkan ajaran Islam di Pulau Jawa.
Salah satu cara yang dilakukannya adalah dengan mengganti penanggalan Saka (yang berbasis pada perputaran Matahari) dengan kalender Islam/Hijriyah/Kamariah (berbasis pada perputaran Bulan).
Tapi dalam perkembangannya, angka tahun pada kalender Saka tetap diteruskan, hanya saja penyebutannya yang diubah dari 1555 Saka menjadi tahun 1555 Jawa.
Setelah itu sang sultan membuat dekrit yang isinya memberlakukan kepada seluruh wilayah Kesultanan Mataram (agar seluruh Pulau Jawa dan Madura (kecuali Banten, Batavia, dan Banyuwangi) untuk menggunakan sistem kalender ini.
Pulau Bali dan Palembang yang budayanya juga terpengaruh budaya Jawa juga mengikuti sistem kalender tersebut.
Penamaan bulannya pun mengadaptasi dari Bahasa Arab (Kalender Hijriyah) dan Sansekerta (Kalender Jawa), dan ada juga yang menggunakan bahasa Jawa atau Melayu. Seperti Sura (bulan pertama), Sapar, Mulud (bulan Rabiulawal yang berkaitan dengan Maulid Nabi), Bakda Mulud, Jumadil Awal, Jumadil Akir, Rejeb, Ruwah (berkaitan dengan Nisfu Sya’ban), Pasa, Sawal, Sela, dan Besar.
Artikel terkait: Catat, ini kalender Libur Nasional 2020, rencanakan liburan keluarga, yuk!
Cara Menghitung Kalender Jawa
Pada Kalender Jawa rumusan perhitungannya menggunakan siklus siklus 8 tahun atau yang disebut windu. Di mana dalam 1 windu, pergantian tahun (tanggal 1 bulan Sura) jatuh di hari-hari tertentu dan membentuk pola yang berulang di windu berikutnya.
Di awal diterapkannya Kalender Jawa tahun 1555 Jawa, ditentukan tanggal 1 Sura tahun Alip (tahun pertama) jatuh hari Jumat Legi. Dan untuk menyesuaikan siklus bulan, setiap kurup (periode 120 tahun/15 windu) ada 1 hari yang dihilangkan agar tanggal 1 Sura tahun Alip jatuh di hari Selasa Pon atau disebut dengan kurup Alip Selasa Pon atau kurup Asapon.
Berikut ini nama-nama tahun dalam satu windu di kurup Asapon:
- Tahun Alip; tanggal 1 Sura jatuh pada hari Selasa Pon; terdiri dari 354 hari.
- Tahun Ehe; tanggal 1 Sura jatuh pada hari Sabtu Pahing; terdiri dari 355 hari.
- Lalu Tahun Jimawal; tanggal 1 Sura jatuh pada hari Kamis Pahing; terdiri dari 354 hari.
- Tahun Je; tanggal 1 Sura jatuh pada hari Senin Legi; terdiri dari 354 hari.
- Tahun Dal; tanggal 1 Sura jatuh pada hari Jumat Kliwon; terdiri dari 355 hari.
- Kemudian Tahun Be; tanggal 1 Sura jatuh pada hari Rabu Kliwon; terdiri dari 354 hari.
- Tahun Wawu; tanggal 1 Surah jatuh pada hari Ahad Wage; terdiri dari 354 hari.
- Tahun Jimakir; tanggal 1 Sura jatuh pada hari Kamis Pon; terdiri dari 355 hari.
Dalam 1 windu terdiri dari 2. 835 hari
Siklus Kurup
Di atas ada disebutkan istilah ‘kurup’. Sebenarnya apa itu ‘kurup’?
Ada 3 tahun kabisat pada 1 windu pada Kalender Jawa. Sementara dalam Kalender Hijriyah terdapat 11 tahun kabisat di setiap 30 tahun.
Dengan demikian, dalam kurun 120 tahun (15 windu), jumlah Tahun Jawa kabisat ada 45, sedangkan Tahun Hijriyah ada 44. Maka ada 1 hari di setiap 120 tahun yang harus dibuang, dengan demikian siklus 120 tahun itu disebut dengan istilah ‘kurup’.
Artikel terkait: Cek! Ini Makna Primbon Haid Berdasarkan Hari, Tanggal, Jam, Hingga Bulan
Pembagian Minggu atau Pekan
Di masa pra Islam orang Jawa mengenal pekan tidak hanya tujuh hari saja, tapi antara 2 hingga 10 hari. Nama-nama pekan atau minggu itu disebut dengan dwiwara, triwara, caturwara, pancawara, sadwara, saptawara, astawara, dan sangawara.
Hingga kini di pulau Bali dan Tengger, nama-nama pekan itu masih dipakai, sementara di tempat lainnya umumnya satu pekan hanya terdiri dari lima dan tujuh hari saja.
Nama pekan ini yang terdiri dari 7 hari itu disesuaikan dengan pergerakan bulan, melansir Wikipedia. Yakni:
- Radite atau Minggu, melambangkan meneng (diam)
- Soma atau Senin, melambangkan maju
- Anggara atau Selasa, melambangkan mundur
- Budha atau Rabu, melambangkan mangiwa (bergerak ke kiri)
- Respati atau Kamis, melambangkan manengen (bergerak ke kanan)
- Sukra atau Jumat, melambangkan munggah (naik ke atas)
- Tumpak atau Sabtu, melambangkan temurun (bergerak turun)
Sedangkan pekan yang terdiri dari 5 hari yang disebut pasar oleh orang Jawa, di mana nama-nama hari tersebut merupakan posisi sikap (patrap) dari bulan. Yaitu:
- Legi artinya ‘manis’ melambangkan mungkur (berbalik arah kebelakang)
- Pahing artinya ‘pahit’ melambangkan madep (menghadap)
- Pon ‘petak’ melambangkan sare (tidur)
- Wage artinya ‘cemeng’ melambangkan lenggah (duduk)
- Kliwon artinya ‘asih’ melambangkan jumeneng (berdiri)
Artikel terkait: Kalender Jawa Januari 2022 dan Hari Pasaran Wuku Bulan Jumadiawal-Jumadilakhir
Bedanya dengan Kalender Masehi dan Islam
Umumnya di Indonesia menggunakan penanggalan Masehi, yakni penanggalan yang kita kenal dengan nama hari Minggu hingga Sabtu dan bulan dari Januari hingga Desember. Hari-hari besar Nasional dan keagamaan mengikuti sistem penanggalan ini.
Namun ada beberapa peristiwa besar, seperti awal Ramadan, Idul Fitri dan hari besar Islam lainnya yang menyesuaikan dengan Kalender Islam atau Hijriah.
Penamaan bulan pada Penanggalan atau Kalender Islam atau Kalender Hijriyah meliputi Muharram, Safar, Rabiul Awal, Rabiul Akhir, Jumadilawal, Jumadilakhir, Rajab, Syakban, Ramadan, Syawal, Zulkaidah, dan Zulhijjah.
Dalam budaya lainnya, seperti Jawa misalnya, ada yang dikenal sebagai 30 pekan atau wuku –setelah 30 wuku berlalu maka akan muncul siklus baru lagi. Penanggalan ini biasanya digunakan oleh pemeluk kepercayaan Kejawenn dan agama Hindu.
Penamaan wuku tersebut disesuaikan dengan nama anak-anak Prabu Watugunung dan Sinta yang berjumlah 27 putra.
Di antaranya Medangkungan, Maktal, Wuje, Manahil, Prangbakat, Bolo, Wungu, Wayang, Kulawu, Dukut, Watugunung, Sinto, Landep, Wukir, Kurantil, Tolu, Gumbreng, Warigalit, Wariagung, Julungwangi, Sungsang, Galungan, Kuningan, Mangkir, Mondosio, Julungpujut, Pahang, Kuruwelut, Marekeh, dan Tambir.
Manfaat Kalender Jawa 2022
Kalender Jawa tidak sekadar penanda tanggal bagi orang Jawa. Umumnya tiap tanggal dan bulan dalam Kalender Jawa memiliki makna tersendiri bagi masyarakat Jawa.
Mereka menggunakan kalender untuk mencari wuku hari atau hari baik dalam melaksanakan acara, hari keberuntungan dalam memulai bisnis, mengetahui hari sial, hingga sebagai panduan dalam mengetahui sifat dan kepribadian seseorang.
Namun ini tidak berlaku bagi seluruh masyarakat Jawa, tergantung kepercayaannya masing-masing. Yang pasti, Kalender Jawa merupakan bagian dari warisan dan kekayaan budaya Indonesia. Bagaimana dengan Parents, apakah Parents juga menggunakan kalender Jawa dalam mencari hari baik?
Baca juga:
Pilihan nama anak dari nama bulan Hijriyah, bisa menjadi inspirasi Parents!
Masya Allah, Ramadan akan Terjadi Dua Kali dalam Setahun pada 2030!
Cara Menghitung Weton Jawa dan Maknanya bagi Kecocokan Suami Istri