“Apakah putri kecil yang pemalu itu adalah putrimu?”
Itulah komentar para ibu saat melihat putri kecilku yang bersembunyi bergelayutan dikakiku. Di detik yang sama pikiranku membayangkan kata-kata “pemalu” itu masuk ke dalam telinga anakku dan terus menghujam tertanam kuat dalam hatinya.
Segera aku eratkan peganganku padanya dan mengatakan “Oh, bukan. Dia tidak pemalu, hanya saja ia suka menghabiskan waktunya sendirian.”
Sepanjang hidup putriku, sudah berkali-kali aku mendengar ucapan sentimen yang mengatakan padaku, dan terutama putriku, bahwa ia terlahir dengan kepribadian yang negatif; pemalu.
Menyebut anak pemalu bisa jadi akan merusak kepribadiannya
Kalimat seperti,
“Duh, kapan si, putrimu mau keluar dari cangkangnya?”
“Kamu yakin dia siap masuk sekolah?”
Bahkan, guru TK yang sangat putriku sayangi, dan satu-satunya orang yang sudah aku beri penjelasan bahwa aku tidak masalah dengan kepribadian anakku; juga mengatakan,
“Wah, akhirnya putrimu mau keluar dari cangkangnya juga tahun ini. Dulu waktu pertama sekolah, mana mau ia bicara dengan yang lain. Tapi coba lihat ia sekarang, ia akan bicara pada semua orang di kelas.”
Ah..!
“Akhirnya putriku yang pemalu bisa bersosialisasi”
Meski aku sangat bersyukur bahwa putriku akhirnya tahu bagaimana cara bersosialisasi, suatu kondisi yang menuntut anakku untuk mengikuti aturan-aturan sosial tertentu; aku tetap saja harus sangat berhati-hati menghadapi kepribadiannya yang tertutup itu.
Sampai hari ini, sepulang dari TK atau bermain di rumah teman, ia akan segera menghilang di kamarnya. Asik dengan dunia imajinasinya, atau menggambar di buku jurnal pribadinya. Sesekali aku pernah aku mengintip ia sedang berbisik-bisik dengan boneka hewan kesayangannya.
Baca juga: Pentingnya Permainan Imajinasi Untuk Anak
Kadang-kadang, ia begitu masuk dan tenggelam di dunia imajinasinya itu hingga tak mendengarku bicara. Itulah mengapa aku tetap berhati-hati memberikan waktu sendiri untuknya, toh, aku tetap tahu di mana ia bisa mendapatkannya.
Saat aku membaca buku “Quiet”, tulisan dari Susan Cain, aku seperti mendapat pencerahan. Pertama kali dalam hidupku, aku menyadari betapa merusaknya sebutan atau label yang dulu juga pernah diarahkan kepadaku.
Aku ingat saat dulu sering ditegur dengan kalimat,”Hei, apa lidahmu diambil kucing, ya?” atau “Kenapa, si, kamu pendiam banget?”.Dan semua itu membuat aku semakin membeku, dengan rasa malu yang merambati pipiku.
Aku juga ingat saat dulu ikut dalam acara menginap di rumah teman. Sebagai orang yang sulit bergaul, aku menciut dalam kantong tidurku dan bertanya-tanya dalam hati; kenapa aku tidak bisa santai dan menikmati hidup, sekaliiii…. saja.
Seperti umumnya pemilik karakter introvert, aku belajar bagaimana beradaptasi dengan dunia yang telah dikuasai oleh para ekstrovert. Aku memaksa diriku menjadi seorang yang lebih ramah, gaul, dan sesekali, menjadi penggembira pesta.
Tapi semua itu tidaklah mudah bagiku. Ada harga yang harus ku bayar.
Jadi, aku ingin hal yang lebih baik untuk putriku.
Aku tak pernah mau ia berpikir bahwa ia tidak sempurna. Di mataku, diamnya adalah cara ia memperhatikan sekelilingnya; sebuah kreativitas yang lembut dan sering membuat mataku berkaca-kaca.
Aku sangat percaya, “pemalu” menjadi label negatif bukan karena “ada yang salah bila menjadi pemalu”, namun kebiasaan dan budaya kitalah yang telah membuat sifat pemalu menjadi buruk.
Jadi, bila kemudian aku mendengar ada yang mengatakan anakku pemalu, maka aku akan berkata,
“Dia bukan pemalu,” dan dengan halus mengoreksi, “Dia adalah putriku yang suka memikirkan segala sesuatu.”
“Ia bukan pemalu,” dan kemudian meluruskan, ”Dia hanya butuh waktu lebih banyak untuk mengenal teman-teman sekolahnya.”
“Ia bukan pendiam,” dan mengingatkan. “Putriku hanya lebih suka memendam segala sesuatunya sendirian.”
Baca juga: Agar Anak Pendiam Lebih Bersosialisasi
“Ia butuh waktu beradaptasi”
Aku benci sebutan-sebutan itu. Sebutan yang mengatakan bahwa ada yang salah dengan putriku; bahwa ia terlalu pemalu, pendiam, atau kurang ini dan itu.
Aku ingin berteriak pada mereka yang berani menyarankan bahwa dia butuh banyak hal untuk menutupi kekurangannya itu. Bagiku, dia adalah peneliti kecilku yang ceria.
Benar, dia butuh waktu untuk beradaptasi dengan suasana baru. Kau tahu, saat pertama bertemu, dia akan mengamatimu terlebih dulu sebelum kemudian menunjukkan padamu kelebihannya atau kelucuannya. Tapi yang terpenting adalah, tidak ada sedikitpun yang salah pada dirinya.
Aku berharap aku dapat menghentikan dunia dari melihat kekurangannya, tapi ternyata aku tidak mampu. Untuk beberapa alasan, dunia memang lebih menghargai mereka yang bersuara keras, tipe-tipe penggembira dalam pesta; mereka itulah para pencuri perhatian di manapun.
Tapi aku harus memastikan bahwa anakku melihat dia sebagai apa adanya ia.
Aku melihat keberaniannya, dalam caranya ia mengusai keadaan sebelum ia masuk ke dalamnya.
Juga melihat kebaikannya, saat ia meneteskan air mata karena melihat mataku mulai berkaca-kaca.
Aku melihat kesetiannya, dari sinar yang matanya menyemangati kami, keluarganya.
Aku melihat dedikasinya. Dedikasi untuk teman-teman yang telah ia percayai, teman-teman yang biasa bermain dengannya di pinggir lapangan.
Aku juga melihat keraguannya, ingin melakukan semua yang terbaik namun tidak yakin jika ia mampu.
Dan sungguh aku berharap semoga dunia bisa melihat anakku seperti aku melihatnya. —-
Seorang anak yang benar-benar sempurna!
Pelajaran yang kita bisa petik dari kisah Si Pemalu
Saya yakin, hampir sebagian besar dari kita, para orangtua, telah mengetahui, bahwa melabeli anak dengan sebutan tertentu, adalah hal yang buruk.
Sayangnya, tanpa disadari kita masih juga sering melakukannya, baik untuk anak kita juga anak-anak dari teman kita.
Hidup di lingkungan yang serba menghargai hasil, memang seringkali membuat kita sangat sulit untuk menghargai sebuah proses.
Namun, sulit tidak berarti tidak mungkin. Saat melihat anak kita atau mungkin anak kawan kita memiliki sifat yang kurang umum dalam pandangan sosial; mari kita coba untuk menarik nafas sejenak, sebelum kemudian memberikan komentar.
Apapun karakter anak, pemalu, introvert, ekstrovert, atau malah “si Gaul”, pastilah memiliki sisi lebih dan kurang. Jadi, mari kita lebih hargai anak-anak kita sebagai apa adanya mereka.
Semoga kita bisa mengambil hikmah dari curhatan Chaunie Brusie, ya, Parents.
Baca juga artikel menarik lainnya:
Hal – hal yang Dibutuhkan Anak Perempuan dari Ibunya
Menumbuhkan Rasa Percaya Diri Balita
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.