“Bagaimana dan kapan waktu yang tepat memberikan pendidikan seksual untuk anak-anak dan remaja?” Pertanyaan ini belakang sering muncul karena ramainya perdebatan tentang kelompok lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) menimbulkan dilema bagi para orangtua.
Ada sebagian orangtua yang tidak anti LGBT. Dalam memberikan pendidikan seksual, mereka menilai hal ini natural sebagai bagian keragaman orientasi seksual manusia.
Sebagian lagi khawatir anak-anak mereka dekat dengan kelompok LGBT dengan berbagai alasan yang juga manusiawi.
Misalnya orangtua khawatir anak mereka tidak bisa meneruskan keturunan mereka secara alamiah jika tidak memiliki orientasi seksual heterogen. Dalam sudut pandang kesehatan, agama dan keyakinan pun muncul kontroversi.
Terlepas dari kontroversi-kontroversi tersebut, beberapa lembaga dunia, UNICEF, WHO dan UNAIDS memiliki panduan pendidikan seksual bagi orangtua dan pendidik.
Panduan pendidikan seksual ini bisa dijadikan acuan untuk menjelaskan berbagai fenomena seksualitas manusia, termasuk LGBT.
International Guidance Sexuality Education volume 2 membagi pendidikan seksual anak dalam empat level.
Menurut petunjuk ini, alih-alih membatasi anak dengan informasi mengenai seksualitas manusia termasuk mengenai LGBT, sebaiknya orangtua memberikan informasi yang utuh, jelas dan mudah dipahami pada anak-anak dan remaja.
Semakin banyak informasi yang diserap anak, akan membantunya menentukan sikap dan mengambil keputusan pada situasi tertentu.
Artikel terkait: Perlukah Pendidikan Seks Pada Anak?
Level I untuk anak usia 5-8 tahun
1. Mulai dengan hal dasar
Jelaskan pada anak fungsi dan peran keluarga serta masing-masing anggotanya. Keluarga inti terdiri dari ayah, ibu dan anak.
Ayah dan ibu berperan sebagai orangtua yang bertanggungjawab terhadap anak-anak. Setiap anggota keluarga harus saling menjaga satu sama lain.
Komunikasi yang baik antar anggota keluarga akan membangun hubungan yang sehat dalam keluarga.
Katakan pada anak Anda, “Adik bisa berbagi cerita apa saja dengan anggota keluarga, cerita sedih dan senang. Jika ada yang ingin adik tanyakan, tanyakan pada ibu, ayah atau kakak.”
2. Ajarkan anak untuk berteman dengan siapapun
Pertemanan berlandaskan pada rasa percaya, peduli, empati dan solidaritas. Teman bisa ditemukan di mana saja, seperti di lingkungan rumah, di sekolah, dan di tempat ibadah.
3. Cara mengekspresikan cinta dan kasih
Banyak cara mengekspresikan cinta. Cinta kepada anggota keluarga dan teman ditunjukkan dengan kata-kata dan perbuatan. Ajarkan anak untuk mengatakan salam dan berterimakasih.
Ungkapan “Aku sayang ibu,” atau ” Aku sayang ayah,” menunjukkan rasa cinta. Cinta pada saudara atau teman dapat dilakukan dengan saling berbagi dan saling menjaga.
4. Kenalkan anak dengan perbedaan
Setiap orang terlahir unik dan layak untuk dihargai. Perbedaan bisa terjadi karena bentuk fisik, kepercayaan, dan keadaan keluarga. Perbedaan, tak jadi halangan untuk berteman.
Kondisi kesehatan seseorang juga tak bisa jadi alasan untuk tidak berteman. Setiap orang memiliki hak yang sama untuk hidup dengan baik.
5. Kenalkan anak dengan arti pernikahan
Setiap orang bisa memilih pasangan untuk menikah atau dijodohkan. Lalu ceritakan bagaimana Anda, orangtuanya, bisa menikah.
Ini akan membangun pemahaman dasar bahwa anak lahir setelah ada hubungan pernikahan antara ibu dan ayah.
Terangkan pada anak bahwa pernikahan bisa berakhir dengan perceraian, dan perceraian akan mempengaruhi keluarga.
Informasikan juga bahwa pernikahan yang dipaksakan dan pernikahan yang melibatkan anak-anak itu ilegal.
Level II, anak usia 9-12 tahun
1. Peran dan tanggungjawab anggota keluarga
Di usia ini anak tak hanya tahu peran, namun juga tanggungjawab sebagai anggota keluarga, misalnya kakak dan adik juga bertanggungjawab saling menjaga selama bermain.
Jika ada hal yang membahayakan, kakak atau adik harus segera memberitahu ayah atau ibu.
2. Libatkan anak dalam mengambil keputusan
Komunikasi antar anggota keluarga penting dalam mengambil keputusan. Karena dalam level ini anak sudah dikenalkan dengan tanggungjawab, tak ada salahnya meminta pendapat mereka dalam musyawarah keluarga.
Misalnya saat orangtua berencana memisahkan kamar anak-anak. “Apakah kamar kakak dan abang sudah saatnya dipisahkan? Bagaimana menurut kalian?”
Anak akan merasa dihargai dan lebih percaya diri untuk mengungkapkan isi pikiran mereka.
3. Pertemanan yang sehat
Hubungan pertemanan bisa jadi sehat dan tidak sehat. Jika terjadi kekerasan seperti memukul, mencaci atau membully, artinya hubungan pertemanan tidak sehat.
Melecehkan, mengucilkan dan memukul itu melukai hati seseorang. “Setiap orang bertanggungjawab membela orang yang dilecehkan, dibully atau dikucilkan.
Jika adik atau kakak melihat ada teman yang dipukul atau diperas teman lain, segera beritahu ayah, ibu atau guru di di sekolah”.
4. Pernikahan, menjadi orangtua dan tanggungjawabnya
Ini adalah dasar pendidikan seksual untuk anak. Orang dewasa yang telah menikah menjadi orangtua karena kehamilan, adopsi atau cara lain untuk punya anak. Jelaskan lebih detil apa itu hamil dan mengapa orang mengadopsi anak.
Setiap orang berhak memutuskan untuk menjadi orangtua, termasuk mereka yang difabel atau sedang sakit.
Setelah menjadi orangtua, orang dewasa harus bertanggung jawab terhadap anak mereka, misalnya dengan memberi makan, pakaian, uang jajan dan kasih sayang.
Artikel terkait: Buku Pendidikan Seksual Bergambar di SD Ini Membuat Geger Orangtua
Level III, anak usia 12-15 tahun
Pada masa ini, mungkin anak Anda sudah mengalami masa pubertas. Mereka mulai mengerti artinya cinta, kerja sama, persamaan gender dan kepedulian pada keluarga dan teman.
Tak hanya keluarga, teman sebaya sangat berpengaruh pada anak di level ini. Pada level ini juga rentan mulai terjadi konflik antara anak dan orangtua karena emosi masa pubertas anak.
Hal yang perlu dijelaskan pada anak usia ini adalah:
1. Pertemanan bisa jadi memberi dampak positif dan negatif. Pertemanan yang terlalu dekat bisa berakhir dengan hubungan seksual.
Hubungan seksual yang terlalu dini berisiko pada kesehatan reproduksi karena hamil di usia muda dan berdampak negatif pada psikologis anak. Misalnya, jika hamil saat masa sekolah, anak-anak cenderung malu meneruskan sekolah.
2. Pelecehan dan kekerasan dalam pertemanan bisa terjadi karena perbedaan gender dan labelisasi. Setiap orang bertanggungjawab melawan kekerasan, bias dan intoleransi dalam hubungan pertemanan.
3. Pernikahan akan bahagia jika berdasarkan cinta, toleransi, menghargai dan tanggung jawab. Pernikahan yang terlalu cepat (di bawah 20 tahun) rentan mendapat pandangan negatif dan berisiko untuk kesehatan.
Pada poin ini orangtua bisa menjelaskan lebih detil soal anatomi tubuh dan organ reproduksi manusia. Hindari mengganti kata-kata yang dianggap tabu. Tetap gunakan kata vagina dan penis untuk menjelaskan alat vital manusia. Bagian ini juga bagian inti dalam pendidikan seksual untuk anak.
Jelaskan juga secara ringkas proses pembuahan yang bisa menyebabkan seseorang hamil. Terangkan tentang risiko kesehatan akibat hubungan seksual yang tidak sehat, misalnya karena terlalu dini.
Berganti-ganti pasangan bisa sebabkan penyakit kanker bahkan HIV/AIDS yang mematikan. Anda juga bisa menambahkan penjelasan sesuai peraturan agama dan kepercayaan yang Anda anut mengenai hal ini.
Level IV, anak usia 15-18 tahun ke atas
1. Peran keluarga bisa berubah ketika ada anggota keluarga yang hamil, menolak menikah atau menunjukkan orientasi seksual tertentu.
Di sini orangtua bisa menjelaskan apa itu LGBT dan bagaimana masyarakat memandang kelompok LGBT di negara ini.
Anak perlu tahu bahwa di negara lain ada negara yang memberikan hak penuh pada kelompok LGBT. Negara tertentu seperti Amerika Serikat membolehkan mereka menikah.
Ada juga negara yang dengan tegas memiliki undang-undang anti LGBT seperti Rusia. Jika Anda termasuk orangtua yang khawatir, jelaskan kekhawatiran Anda dan harapan Anda pada anak.
Hindari memberikan stigma, namun berikan alasan jelas mengapa Anda khawatir. Misalnya karena hal itu dilarang agama dan keyakinan keluarga Anda. Biarkan anak paham dan menyadari dengan bijak kekhawatiran Anda.
Dengan demikian anak akan bisa mengambil sikap sesuai kesadaran mereka, tanpa paksaan, jika menemukan fenomena ini dalam kehidupan mereka.
Ini akan membuat orangtua lebih tenang, bahkan jika anak Anda kelak berada jauh dari Anda.
Selain itu, hindari memberikan contoh yang mendiskriminasi, menyudutkan atau membenci kelompok tertentu karena perbedaan pandangan.
“Kita tidak boleh menyudutkan mereka, karena mereka juga manusia yang punya hak untuk hidup dengan baik”.
Hindari pula menakuti anak dengan momok apapun. Menakuti anak hanya akan mengerdilkan jiwanya. Atau malah memancing rasa ingin tahunya yang lebih besar dan kemungkinan anak akan mencari informasi sendiri.
Dukungan keluarga sangat penting dalam masa ini. Keluarga dapat bertahan jika saling mendukung satu sama lain.
2. Anak mulai mengerti aturan dan hukum terkait pelecehan dan kekerasan seksual.
Ada hukum bagi orang yang melakukan pelecehan, dan setiap orang harus bertanggungjawab atas pelecehan atau kekerasan yang dilakukan.
Pelaku kejahatan seksual tidak mengenal usia, jenis kelamin, dan orientasi seksual. Banyak organisasi dan institusi yang bisa membantu pendampingan bagi korban kekerasan seksual.
3. Pernikahan bisa jadi hal yang sangat berharga dan penuh tantangan
Pada poin ini anak harus mengerti tanggung jawabnya terhadap sikap yang diambil dan keputusannya terkait pernikahan.
Orangtua bisa menyarankan anak untuk menunda menikah dan berhubungan seksual minimal hingga usia 20 tahun.
Anak harus menolak kekerasan dalam hubungan pernikahan. Hubungan seksual yang sehat meliputi penggunaan pengaman dan alat kontrasepsi dengan baik dan benar.
Parents, semoga ulasan di atas dapat menjadi inspirasi Anda dalam memberikan pendidikan seksual pada anak-anak di rumah.
***
Referensi: youngpeopletoday.net
Baca juga: